Penaklukan Konstantinopel oleh Mehmed II

Ariel Athahudan Pratama
Chapter #3

Bab 2: Jantung yang Terkepung

Di Konstantinopel, suasana tegang terasa mencekam, seperti udara sebelum badai besar. Jalan-jalan yang dulunya ramai kini sepi, kecuali derap kaki para prajurit dan bisikan doa dari gereja-gereja. Kaisar Konstantinus XI, seorang pria gagah berani dengan wajah lelah dan garis-garis kerutan yang dalam, memimpin kota yang sedang sekarat. Kekaisaran Byzantium, yang pernah membentang dari Italia hingga Timur Tengah, kini menyusut menjadi hanya kota itu sendiri dan beberapa wilayah kecil di sekitarnya. Populasinya menurun drastis, banyak bangunan megah yang runtuh atau terbengkalai, pertahanan mereka rapuh, dan harapan akan bantuan dari Barat semakin tipis.⁴

"Kami akan bertahan," Konstantinus berujar dengan suara parau kepada para jenderalnya dalam sebuah pertemuan di Istana Blachernae, istana kekaisaran di sudut barat laut kota. "Tembok-tembok ini telah melindungi kita selama ribuan tahun, dari Goth, Hun, Persia, Arab, dan bahkan Bangsa Latin. Dan dengan iman kita kepada Tuhan, kita akan bertahan lagi."

Namun, di dalam hatinya yang paling dalam, ia tahu bahwa ini adalah pertarungan terakhir, sebuah pertaruhan hidup atau mati. Kota itu kekurangan makanan untuk pengepungan yang panjang, amunisi yang memadai, dan yang terpenting, pasukan. Jumlah pasukannya, termasuk tentara bayaran, mungkin hanya mencapai 7.000-8.000 orang, sementara laporan intelijen menyebutkan pasukan Utsmaniyah mencapai 80.000 hingga 100.000 orang atau lebih.

Konstantinus telah mengirim utusan ke seluruh Eropa, memohon bantuan dari Paus Nicholas V, dari Republik Venesia dan Genoa yang kaya raya, dari Kerajaan Hongaria yang kuat. Beberapa bantuan kecil memang tiba: sekitar 700 tentara bayaran Genoa yang dipimpin oleh Giovanni Giustiniani Longo, seorang komandan yang sangat cakap dan berpengalaman dalam pengepungan kota. Kedatangan Giustiniani, dengan pasukannya yang disiplin, memberikan sedikit harapan dan suntikan moral bagi para pembela. Beberapa kapal Venesia juga tiba, membawa pasokan dan beberapa prajurit. Namun, itu semua tidak cukup untuk menghadapi gelombang besar pasukan Utsmaniyah yang sedang mendekat.

Ketegangan di kota juga diperparah oleh perselisihan agama yang mendalam. Sebagian besar rakyat Ortodoks menolak bantuan dari Katolik Roma karena takut akan "penyatuan gereja" yang akan mengikis identitas keagamaan mereka dan menempatkan mereka di bawah dominasi Paus. Slogan "Lebih baik sorban daripada topi kardinal!" sering terdengar di jalanan. Konstantinus berusaha keras untuk menyatukan semua faksi, mendesak mereka untuk mengesampingkan perbedaan demi kelangsungan hidup kota, namun rasa frustrasi, keputusasaan, dan perpecahan mulai menyebar di antara penduduk.⁵

Pada akhir Maret 1453, mata-mata yang berhasil menyelinap kembali dari wilayah Utsmaniyah membawa kabar yang menakutkan: pasukan Utsmaniyah yang tak terhitung jumlahnya telah mulai bergerak. Mereka membawa mesin-mesin perang yang mengerikan, termasuk meriam-meriam raksasa yang belum pernah terlihat sebelumnya. Konstantinopel, mutiara timur yang perkasa, akan menghadapi ujian terberatnya, mungkin yang terakhir.

Lihat selengkapnya