Langit malam tak pernah menyimpan rahasia. Ia hanya mencerminkannya melalui bintang yang mati jutaan tahun lalu, melalui angin yang membawa bisik luka dari jendela ke jendela. Di balik layar kaca dan detak halus koneksi internet, seseorang sedang menanam benih kematian dengan suara yang begitu lembut, seolah cinta adalah jalan menuju akhir yang manis.
"Apa kau merasa sendirian, Tuan Ananta?"
Suara itu teduh, mengalun seperti lullaby. Hangat. Menerima. Namun dingin di ujungnya seperti tangan kekasih yang memeluk untuk terakhir kali.
Ananta menarik napas panjang. Kamera laptopnya menyala samar di sudut kamarnya yang lembab dan penuh tumpukan buku-buku filsafat. "Aku... hanya lelah. Dunia terasa terlalu ramai, tapi aku seperti tak ada di dalamnya."
Layar menampilkan wajah seorang konselor virtual. Tak ada yang aneh senyum tipis, mata ramah, pakaian sederhana. Tapi sesuatu dalam tatapannya menusuk, menggali bagian paling rapuh dalam jiwa.