Penangkal

Dewi Mulkhaida Ningsih
Chapter #2

Chapter 1: Jejak di Atas Bunga Lily

Malam itu tidak suram.

Cahaya purnama menggantung megah di langit, dikelilingi bintang-bintang yang berkelip manja seperti tak ada yang salah dengan dunia. Angin bertiup lembut, membawa aroma kota yang baru saja diguyur gerimis. Tidak ada yang menandakan bahwa tragedi akan merobek malam dengan kekejian yang sunyi.

Namun sesaat kemudian, sebuah tubuh lelaki melayang jatuh dari rooftop lantai 27 apartemen Peak Tower. Detik-detik itu seperti dilipat dalam diam, sebelum tubuh itu menghantam mobil sedan hitam di bawahnya dengan dentuman keras yang menggetarkan nyali.

Kaca pecah. Jeritan meledak. Darah mengalir dari kepala dan mulut lelaki itu, mewarnai logam mobil dengan merah yang mencolok di bawah cahaya bulan. Wajahnya tenang, bahkan nyaris tersenyum, dan di tangan kanannya, menggenggam erat sesuatu yang membuat petugas keamanan apartemen terpaku: setangkai bunga Lily putih.

Bunga itu masih segar. Seperti baru dipetik dari taman yang suci.


---

Detektif Beni datang satu jam kemudian, berjalan menembus garis polisi dengan mantel panjang dan tatapan tajam yang menyapu tempat kejadian perkara. Ia sudah hafal pola ini,korban keempat dalam empat bulan, semuanya dengan cara yang sama: bunuh diri dari ketinggian, wajah damai, tangan kanan menggenggam bunga Lily.

Terlalu teatrikal. Terlalu rapi. Terlalu... disengaja.

"Nama korban, Arif Wicaksonoa. 34 tahun. Seorang Arsitek, duda ditinggal anak istri yang tewas akibat kecelakaan dua tahun yang lalu, tinggal sendirian di lantai 20," lapor petugas forensik.

Beni mengangguk, menunduk untuk melihat wajah korban dari dekat. "Lily lagi," gumamnya pelan.

Ia menatap kelopak bunga itu, putihnya menyala lembut dalam temaram lampu jalan. Tercium samar aroma manis dari kelopaknya, nyaris tak nyata. Namun justru itu yang membuat Beni bergidik.

"Luka di tubuh?" tanyanya cepat.

"Retak parah di tulang rusuk dan tengkorak, luka utama karena benturan. Tidak ada tanda-tanda perlawanan atau bekas ikatan. Tidak ditemukan alkohol atau zat kimia mencolok dalam radius kamar korban. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Di laptop korban, ada histori aktivitas konsultasi daring dengan akun anonim. Nama penggunanya hanya 'S.' Tak ada wajah. Hanya suara. Suara yang sama seperti korban-korban sebelumnya."

Beni menghela napas. Suara yang mendayu, menenangkan, seperti puisi yang dituturkan dalam tidur.

"Aku ingin rekamannya dan buka transkrip pesan terakhir."

Petugas mengangguk, menyerahkan salinan. Pesan terakhir di jendela obrolan digital berbunyi:

"Kau telah kembali pada yang kau cintai. Dan mereka telah menunggumu. Terima kasih telah percaya padaku."

Beni mengepalkan tangan.

"Dia bermain dengan kata-kata. Dia tidak membunuh mereka dengan senjata, tapi dengan keyakinan. Dan dia tahu... manusia lebih mudah jatuh jika diberi harapan."

Langit masih terang. Tapi bagi Detektif Beni, malam itu menjadi lebih gelap dari sebelumnya.

Di bawah cahaya bulan yang redup, Beni memeriksa lokasi kejadian dengan seksama. Angin malam berhembus lembut, tapi hawa yang menggigit membawa sesuatu yang lebih dingin, lebih menakutkan. Pikirannya terus berputar, menghubungkan setiap petunjuk yang ditemukan di tempat kejadian. Setelah menyelidiki tubuh korban lebih lanjut, dia mengalihkan perhatian ke sekeliling.

Yung Jasman mendekat, matanya tajam menelisik setiap sudut dengan penuh perhatian. Ada yang aneh, katanya, sambil menunjuk ke arah tanah. Di dekat tempat tubuh pria itu jatuh, ada beberapa jejak sepatu yang tampaknya masih baru, meskipun hujan telah berhenti beberapa jam yang lalu.

Beni menundukkan kepala, mencoba untuk fokus. Jejak-jejak itu terlihat samar, tapi ada sesuatu yang mengganggu. Mereka tidak teratur, berputar-putar seperti seseorang yang berjalan dalam kebingungan. Jejak sepatu itu memimpin mereka menuju sisi gedung yang lebih gelap, jauh dari area yang biasanya dilewati orang.

"Jejak sepatu ini... mereka tidak langsung menuju ke tepi atap. Seolah-olah pelaku menghindari jejak mereka," kata Beni, matanya menajam saat meneliti lebih jauh.

Renata, yang baru saja selesai memeriksa tubuh korban, mendekat dengan wajah serius. "Mungkin itu petunjuk dari pelaku yang berusaha tidak meninggalkan jejak. Tapi kita harus hati-hati. Sepertinya pelaku ini sudah terlatih untuk menghilangkan setiap jejak."

Beni mengangguk. "Benar. Dan jika ini adalah pola yang sama di setiap kejadian, maka ini bukan hanya tentang bunuh diri yang disamarkan. Pelaku tahu cara mengatur semuanya agar terlihat seperti pilihan yang bebas. Kita tidak bisa meremehkan ini."

Adam, yang lebih muda dan sedikit lebih impulsif, tampaknya sudah tak sabar. "Tapi kita harus menemukan lebih banyak bukti. Apa yang menghubungkan korban satu dengan lainnya, selain bunga Lily itu? Mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang lebih konkrit."

Beni melirik ke sekeliling, matanya tertuju pada sebuah objek kecil yang tergeletak di samping jejak-jejak sepatu itu. Dia membungkuk, hati-hati mengangkatnya. Itu adalah potongan kertas kecil, hampir terkubur oleh debu dan kotoran. Ia membuka kertas itu, membaca tulisan tangan yang tergesa-gesa:

"Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang akan pernah tahu. Aku hanya... mengikuti petunjuknya."

“Ini… ini catatan yang ditinggalkan korban atau pelaku?” tanya Renata dengan raut wajah penasaran.

Beni menatap kertas itu lebih lama. “Aku rasa ini lebih dari sekadar pesan terakhir. Mungkin ini adalah kata-kata yang sengaja ditinggalkan untuk kita. Seolah korban ingin kita tahu bahwa mereka tidak memilih kematian ini sendiri.”

Yung berjalan mendekat, wajahnya serius. “Tapi kata-kata ini juga bisa jadi jebakan. Apa yang dimaksud dengan ‘petunjuk’? Petunjuk dari siapa?”

Beni merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Jika benar ini adalah bagian dari rencana yang lebih besar, mereka harus hati-hati. “Pelaku ingin kita tahu bahwa mereka hanya menjalankan sesuatu yang lebih besar daripada mereka. Mungkin mereka hanya mengikuti ‘perintah’ atau keyakinan yang ada di dalam diri mereka,” jawab Beni sambil memandang sekeliling.

“Namun satu hal yang jelas,” kata Yung, “pelaku ini cerdik, mereka meninggalkan sedikit sekali petunjuk yang bisa kita ikuti, dan bahkan saat mereka meninggalkan sesuatu, itu seperti untuk mengelabui kita, agar kita masuk dalam permainan mereka.”

Beni menatap jejak sepatu yang masih samar terlihat di tanah. Langkah demi langkah, pelaku sepertinya sengaja mengarahkannya ke tempat yang gelap dan sunyi, seolah ingin menghilangkan dirinya di antara bayang-bayang. Ini lebih dari sekadar pembunuhan. Ini adalah manipulasi psikologis yang mengarah pada ritual yang tak terlihat, dan kini mereka baru saja menginjak permukaan dari sesuatu yang lebih gelap.

“Mari kita lanjutkan pencarian kita,” kata Beni, dengan suara yang tegas namun penuh perhitungan. “Pelaku ini terlatih, dan kita harus lebih cerdas dari mereka.”

---

Setelah memeriksa lebih banyak lagi jejak dan bukti-bukti di lokasi kejadian, mereka melanjutkan ke gedung sebelah, tempat di mana rekaman kamera pengawas terakhir kali merekam pergerakan korban. Namun, meskipun ada banyak rekaman, semua tampak buram dan samar. Tak ada petunjuk yang cukup jelas.

Tapi ada satu hal yang terus mengganggu pikiran Beni. Meskipun dia sudah melihat rekaman lainnya dan mendengar pendapat timnya, ada satu kesimpulan yang belum bisa ia raih: Apa sebenarnya yang terjadi dalam pikiran korban? Apa yang membuat mereka begitu tenang dan damai saat mati, seolah sudah ada yang mempersiapkan mereka untuk sesuatu yang lebih besar?

Beni tahu, mereka baru saja menemukan sedikit ujung dari benang merah yang menghubungkan semua kejadian ini. Tapi banyak tanda tanya yang masih menggantung, dan dia tahu, bahwa waktu semakin menipis.

Seperti yang dikatakan Yung, ini bukan sekadar pembunuhan biasa. Ini adalah sesuatu yang lebih rumit dan gelap. Namun, Beni tak akan berhenti sampai ia menemukan siapa yang berada di balik semua ini

---------

Dia melihat korbannya selanjutnya ; Arif Wicaksono (34 tahun) status duda, kehilangan istri dan anak dalam kecelakaan 2 tahun lalu. Tidak bekerja tetap. Mengalami insomnia berat dan rasa bersalah yang kronis.

Ruang Chat ; Konsultasi Daring “Keseimbangan Jiwa”

Layar laptop menyala redup. Di pojok kanan bawah, ikon koneksi stabil. Arif duduk mematung di depan meja, tubuh kurusnya tersandarkan lemah pada kursi. Wajahnya pucat, mata cekung dengan lingkaran gelap seperti arang pekat.

S [Online]:

Arif, apakah kau masih terjaga?

Arif(online)

Ya. Seperti biasa. Sulit tidur. Suara tangis mereka masih ada di kamar tidur saya. Bau rambut anak saya pun kadang seperti muncul dari kasur.

S:

Kau telah bertahan terlalu lama untuk luka yang tak bisa disembuhkan. Tidak semua luka ditakdirkan untuk sembuh. Beberapa hanya perlu diterima… dan dilepaskan.

Arif:

Saya ingin tidur. Tapi saya takut.

Saya ingin mati. Tapi saya takut juga.

S:

Maka jangan anggap ini sebagai kematian. Tapi perjalanan ke sisi yang lebih tenang. Kau tak sendiri. Aku bersamamu malam ini, seperti malam-malam sebelumnya.

Arif terdiam. Di dekatnya, setangkai bunga Lily yang baru ia beli dari kios pinggir jalan, seperti yang diminta oleh “S”. Entah kenapa, tangannya menggigil saat menyentuh kelopaknya. Ia merasa seperti sedang menyentuh tubuh istrinya yang telah terkubur dingin.

S:

Arif, mari kita bernapas bersama. Tarik napas... bayangkan napasmu seperti asap... keluar dari tubuhmu... dan pergi ke langit.

Lihat selengkapnya