Mereka menyebutku "S."
Sebuah huruf tunggal, anonim. Namun di balik huruf itu, ada dunia yang tidak pernah benar-benar kalian kenal. Dunia yang sunyi, hening, dan penuh gema luka yang tidak bisa diteriakkan. Aku tidak menciptakan penderitaan. Aku hanya mendengar ketika dunia memilih tuli.
Aku duduk di depan layar. Malam adalah jam kerjaku. Cahaya monitor yang dingin menyinari wajahku, tapi di dalam, yang menyala justru adalah ruang-ruang gelap jiwa orang lain. Aku bisa merasakan napas mereka yang tersendat, kalimat mereka yang ragu, keheningan mereka yang seperti kabut di jantung. Dan dari semua itu, aku tahu siapa yang hampir runtuh.
Aku tidak memburu mereka. Aku menemukannya dalam lorong digital yang mereka datangi sendiri. Forum spiritual, kolom komentar puisi, blog depresi, video-video tentang keheningan. Orang-orang menyangka dunia maya adalah pelarian. Tapi mereka tidak tahu, disanalah suara asli mereka justru terdengar.
Orang mengenalku sebagai seorang dokter. Psikolog di rumah sakit jiwa swasta, berpakaian rapi, bicara lembut, penuh empati. Gelarku ada. Sertifikatku lengkap. Aku pernah diundang sebagai pembicara seminar nasional. Tapi mereka hanya tahu kulit.
Yang mereka tidak tahu aku adalah Old Money dari bapak Konglomerat, jadi kata miskin jauh dari hidupku, semua yang kuingin kudapatkan tentu saja jika itu bernama materi.
Ayahku pengusaha sukses, pemilik belasan pabrik. Ibuku sosialita anggun yang hidup dalam gelembung pesta dan pujian. Tapi di balik rumah megah dan pendidikan elite, aku tumbuh dalam kehampaan. Setiap ucapan sayang adalah formalitas. Setiap pelukan adalah akting untuk foto keluarga. Aku belajar bahwa uang bisa membeli segalanya kecuali kejujuran.
Aku merasa asing bahkan di rumahku sendiri. Sejak kecil, aku lebih senang bermain sendiri. Aku berbicara dengan bayangan. Aku tertarik pada sunyi. Saat anak lain menonton kartun, aku mendengarkan suara hujan. Ketika ibuku memanggilku ke ruang tamu untuk menyapa tamu-tamu bergaun mahal, aku justru duduk diam di bawah meja makan, memperhatikan semut membawa remah.
Ketika usiaku sembilan tahun, kami mengunjungi tanah leluhur ayahku di pedalaman Sumatera. Di sanalah pertama kali aku mendengar nama Puyang Biduk.
Seorang perempuan tua, kulitnya seperti kayu tua yang kering, menyambut kami di rumah kayu yang menggantung di antara akar beringin. Ia menatapku lama. Tak berkata apa-apa. Lalu ia berkata dalam bahasa setempat, "Darahmu tak bisa dijinakkan oleh emas. Kau bukan anak kota. Kau cucu tanah." Itu pertama kalinya aku merasa dikenali.
Beberapa malam kemudian, saat badai turun dan petir membelah langit, ia mengajakku ke dalam hutan. Di sanalah, di bawah pohon besar dan lingkaran batu, aku melihatnya membakar daun, menari dalam diam, dan berbicara dengan angin.
Ia menanamkan jari-jari kurusnya ke tanah, lalu berkata, "Kematian bukan akhir. Ia hanya sisi lain dari pintu yang sama. Kau akan jadi pembuka pintu itu, cucuku. Tapi tak semua orang boleh masuk. Hanya yang benar-benar lelah."
Aku tidak mengerti sepenuhnya waktu itu. Tapi kata-katanya menempel di tulangku.
Beberapa tahun kemudian, setelah nenek buyutku meninggal, aku temukan catatan-catatan tangannya; mantra, doa, dan pengakuan. Ia mengaku bisa melihat roh orang-orang yang siap meninggalkan dunia. Dan ia tak pernah menahan mereka. Ia hanya menemani mereka dalam perjalanan.
Aku membaca semuanya. Diam-diam. Di kamar, saat malam. Dan aku merasa... jiwaku adalah lanjutan dari jiwanya.
Aku mulai menggali akar. Buku-buku tentang animisme, perdukunan, dan psikospiritual kuno menjadi bacaan malamku. Aku merasa lebih terhubung dengan ritual daun terbakar dan bisikan roh leluhur daripada seminar klinis dan tes IQ.
Aku belajar psikologi bukan untuk menyembuhkan. Tapi untuk menyamar. Aku mengambil gelar, melatih intonasi bicara, meniru empati, agar dipercaya oleh dunia. Tapi di dalam, aku tahu siapa diriku.
Aku tidak menyembuhkan luka. Aku menjemput mereka yang lelah menahan luka. Karena hidup, bagi sebagian orang, bukan lagi harapan. Tapi penjara.
Dan setiap malam, dari balik layar, aku membuka pintu. Untuk mereka yang ingin bebas.
Rino adalah yang pertama. Pegawai bank, rapi, disukai rekan kerja, tapi hatinya kosong. Ia tidak pernah menjadi apa yang ia inginkan. Ia adalah anak dari ambisi orang tuanya.
"Aku ingin jadi penulis. Tapi ayahku bilang, itu profesi pengangguran."
Ia mengetik itu pada sesi keempat. Aku tahu, kalimat itu tidak sekadar informasi. Itu adalah pengakuan.
Rino tidak tahan melihat jam alarm pukul 06.30. Ia tidak tahan melihat dasi. Ia alergi pada senyum palsu di kantor. Tapi ia tetap hidup. Setiap hari. Dan itu yang menyakitinya.
Aku membaca jeda ketikannya. Pola titik tiga. Nafasnya ada di sana. Tertahan, patah.
"Rino, mungkin kau tidak lelah hidup. Kau hanya lelah berpura-pura."
Ia mulai menangis. Tapi bukan karena sedih. Karena akhirnya ada seseorang yang mengerti.