“Kamu susah sekali dibilangin, Papah mau kamu kuliah di kedokteran UI, Papah tidak mau tahu apapun alasannya,” ucap Papahku penuh dengan penekanan dan bentakan. Rasanya sangat lelah pulang sekolah sudah dimaki-maki tanpa diberikan kesempatan untuk mandi ataupun makan dulu
“Tapi Pah, Aku tetap mau kuliah di jurusan sastra bukan di kedokteran,” tolakku.
“Kamu kalau dikasih tahu jawab ter...”
PLAK!! Sebuah tamparan keras dari Papah yang tidak sengaja terkena pipi Mamah yang melindungiku dari tamparan tersebut.
“Awww,” ringis Mamahku sambil memegang pipinya.
“ Mamah,” ucapku kaget yang langsung mengusap pipi Mamah yang terkena tamparan.
“Rasakan itu,” Papah pun langsung pergi meninggalkan Aku dan Mamah, tanpa merasa bersalah sedikit pun.
“Makanya kalau dibilangin sama orang tua tuh nurut, jangan ngebantah terus,” omel Abangku kepadaku, yang langsung menuntun Mamah untuk duduk di sofa. Aku melihat dia dengan tatapan benci ke arahku.
Aku pun mengambil air dingin untuk mengompres lebam di pipi Mamah.
“Lo yang kompresin Mamah, Gue mau ke kamar dulu,” ucap Abangku yang langsung pergi meninggalkan Aku dan Mamah.
Dengan sigap dan telaten aku mengompres lebam Mamah secara perlahan.
“Aww,” ringis Mamah.
“Maaf Mah, sakit ya?” tanyaku. Mamah hanya menggeleng. “Maafin Aku ya Mah, gara-gara Aku Mamah jadi kena tampar Papah,” ucapku dari lubuk hati yang paling dalam karena merasa bersalah sekali.
“Enggak apa-apa Nak, ini kewajiban seorang ibu melindungi anaknya, karena Mamah tidak mau kamu kenapa-kenapa,” jelas Mamah.