POTONGAN 2
Evolusi Gajah
Sebagai seorang dengan kepribadian dominan sanguinis, aku sama sekali tidak kesulitan untuk berteman dengan siapa saja. Di tahun pertama kuliah, aku bersahabat karib dengan 5 orang teman sekelasku, mereka adalah maba yang berasal dari kota Jogja, hanya ada satu yang berasal dari luar Kota Jogja. Adalah Revalina (Reva), Vera, Ardan, dan Sekala (Kala) yang merupakan warga asli Kota Jogja, sedangkan Tora berasal dari sebuah kota di Jawa Tengah. Awalnya kami mulai dekat adalah sejak kunjungan industri yang pertama ke pabrik milik salah satu dosen Kimia Industri. Kami seperti enam sekawan yang selalu bersama kemanapun kami pergi, bahkan dalam kelas pun kami selalu duduk berdampingan dalam satu deret yang sama, ketika membagi kelompok secara mandiri pun kami selalu ada dalam kelompok yang sama. Suatu kali ketika kami akan kerja kelompok di kampus untuk tugas presentasi.
“Kalian dimana, aku udah di selasar” bunyi pesan dari Ardan di grup, diantara kami berenam, Ardan yang paling tepat waktu, bahkan kalau kami janjian kerja kelompok pukul 10.00 WIB, dia akan standby minimal 15 menit sebelum waktu yang dijanjikan.
“Oke, bentar aku otw (on the way) nih” balas Reva. Nah, yang ini paling hobi bilang otw nyatanya masih di rumah, bahkan mungkin baru mau buka pagar rumah.
“Sik (red: sebentar) yo, aku lagi siap-siap” timpal Vera. Aku yakin maksudnya siap-siap mandi, Vera paling susah bangun pagi karena kebiasaan tidur tengah malam mengerjakan segala hal yang berkaitan dengan bisnisnya, jiwanya enterpreneur sejati.
“Aku baru selesai sarapan, langsung meluncur” balas Tora. Ini pasti lagi nemenin pacarnya sarapan dulu, agak bucin kadang.
“Aku berangkat sekarang” Kala membalas. Biasanya kalau dia bilang berangkat, berarti dalam 10 menit sudah sampai kampus, soalnya dia suka berkhayal jadi Valentino Rossi, mengendarai motornya bisa ngebut macam pembalap.
“Aku nunggu dijemput Kala yo, Dan” balasku disertai emoticon tertawa. Diantara kami berenam, hanya aku yang tidak punya kendaraan, jadi sehari-hari mengandalkan sahabat-sahabatku. Biar Kala sering mengejekku ‘benalu’, aku tidak peduli selama tetap diantar-jemput.
“Huuu.. Lama, aku udah tepat waktu nih” protes Ardan.
Tidak lama, kami akhirnya sampai di selasar kampus, Ardan sudah menyilangkan kakinya diatas bangku. Begitu dia mengangkat kepala, kami segera tersenyum lebar melihat wajahnya yang cemberut.
“Kok bisa nyampe barengan?” tanya Ardan.
“Ketemu di parkiran” ujar Kala.
“Mana Vera” tanya Ardan lagi.
“Rumah nya kan jauh, belum nyampe lah” jawab Reva. Ardan mencebikkan bibir.
“Maaf, maaf.. Aku terlambat ya” Vera terengah-engah setengah berlari dari arah parkiran. Tentu saja yang paling kesal adalah Ardan. Meski begitu, kerja kelumpok tetap berjalan lancar walaupun Ardan sedikit ngambek karena menunggu lama. Hal ini selalu terjadi berulang kali mengingat hanya Ardan yang paling tepat waktu ketika janji bertemu dan Vera selalu jadi yang paling akhir tiba.
Kami berenam aktif tergabung dalam organisasi Keluarga Mahasiswa Kimia (KMK), walaupun berbeda-beda departemen aku sendiri menjadi bagian dari Departemen Jurnalistik tempat yang sangat aku sukai, tugasku mengulik berita terbaru seputar kampus dan FMIPA, membuat mading, bahkan mewawancarai dosen, ketua jurusan hingga dekan FMIPA. Dari kami berenam hanya aku yang jomblu dan kelima sahabatku ini tidak pernah putus asa menjodohkan aku dengan siapa saja yang mereka kenal, teman main, teman SMA, bahkan teman yang beda jurusan, beda fakultas, semua mereka jodohkan buat aku.
***
“An, temenin aku nonton yuk” bujuk Reva.
“Hah, siang-siang gini pengen nonton? Gak makan siang aja po?” Kebetulan siang ini jadwal kuliah sudah usai.
“Habis nonton ntar baru makan siang, aku udah lama ndak ke bioskop” Reva terus merajuk, memohon agar aku temani nonton di bioskop. Reva gadis Jogja tulen super kemayu dan tentu saja fasih dalam berbahasa Jawa, sedangkan aku, meskipun garis keturunan bapak asli Jogja, aku tidak pandai bahasa Jawa yang halus (krama inggil), tetapi cukup paham bahasa Jawa sehari-hari yang digunakan dalam pergaulan teman sebaya.
“Oke..Oke, yuk” aku akhirnya menyanggupi permintaan Reva.
Begitu tiba di Bioskop XXI, Jalan Solu, Reva menunjukkan gelagat yang tidak biasa.
“Nyari siapa sih? Udah dapet tiket nonton nya kan, masuk aja yuk” Reva tetap gelisah sepertinya tidak menghiraukan ucapanku. Reva tampak celingukan tidak tenang, seperti mencari seseorang, bahkan sesekali melirik ponsel nya.
“Ntar juga kamu ngerti” sembari tersenyum nakal penuh misteri.
“Reva.. Rev..” seorang lelaki yang tidak ku kenal melambaikan tangan ke arah Reva.
“Oh, ini maksud omongan mu toh” bisikku pada Reva sesaat sebelum lelaki tersebut menghampiri kami berdua.
“Hehehe… Itu konco (red: teman) SMA ku, orang nya baik banget luh” bahkan Reva masih sempat membujukku sebelum temannya mendekat.