POTONGAN 3
Kisah Yang Sama, Di Waktu Berbeda
Beberapa bulan kemudian, kemunculan Julius menjadi awal cerita yang lain. Flashback ketika duduk di bangku SMP, aku punya seorang sahabat bernama Julius, dia selalu muncul di perpustakaan sekedar mengganggu aku yg lebih hobi membaca dan jarang jajan ketika jam istirahat. Kelas kami bersebelahan, kami sering ngobrol lewat jendela kelas. Selalu jadi temen ngobrol yg asyik. Kami putus komunikasi begitu aku pindah sekolah, kala itu kenaikan kelas 3 SMP. Tapi entah bagaimana, setelah lulus SMA, Julius mendapatkan nomer ponsel ku.
“Ana, kapan pulang kampung, gue kangen” ucapnya di telepon. Aku menganggap itu adalah rasa rindu sebagai sahabat, tapi sepertinya aku salah mengartikan maksud Julius yang sebenarnya.
“Belum tau nih, biasanya bapak-ibu yang ke Jogja”
“An, lu udah punya pacar ya di sana, makanya gak pernah pulang kampung” tanyanya.
“Hahaha.. Gak, gue gak punya pacar. Lagian kampung gue kan justru di Jogja, pulang ke rumah orang tua kali ya maksudnya”
“Oh, jadi lu jomblo ya”
“Kenapa emang, mau ngetawain gue ya” ujarku.
“Tau gak sih kalau gue suka sama lu dari SMP” aku terkejut mendengar ucapan Julius.
Bukannya tidak sayang, justru karena rasa sayang sebagai sahabat membuatku merasa persahabatan ini terlalu berharga, aku khawatir jika akhirnya kami pacaran dan kemudian putus karena satu dan lain hal, persahabatan ini mungkin akan ikut hancur. Pelan-pelan kujelaskan pada Julius agar tak menyakiti perasaannya, termasuk soal prinsipku mencintai sekali seumur hidup, jujur sejak dulu, aku belum pernah sekalipun pacaran, aku ingin orang yang menjadi pacar pertamaku adalah orang yang terakhir mendampingi ku selamanya.
“Maaf ya, gue gak bermaksud menyakiti, gue berusaha jujur sama perasaan gue, lagipula kita udah 5 tahunan gak ketemu, lu yakin gue masih sama seperti dulu?” ucapku hati-hati agar Julius tidak merasa sakit hati.
Bulan berganti, Julius tidak pernah menyerah, belasan kali dia mempertanyakan perasaan ku, sayangnya jawabanku tetap sama, bagiku persahabatan kami sebaiknya tetaplah dijaga selamanya, aku keras kepala, berpendirian teguh pada apa yang kuyakini benar, dan mungkin juga ego ku ini tidak memedulikan perasaan orang lain. Julius yang tak kenal lelah berusaha meyakinkanku, pada akhirnya mencapai titik jenuh, dia mundur perlahan setelah 2 tahun kemudian, bahkan perlahan menghilang.
“An, lu serius gak ada perasaan apapun ke gue?” sekali lagi dia memastikan perasaan ku, dan jawabanku tetap sama.
“Iya, maaf ya Jul, buat gue, lu sahabat yang baik, sangat baik malah, tapi sejak dulu sampai hari ini gue hanya bisa mengganggap lu sahabat, gak lebih.” Julius sepertinya mulai tidak mampu lagi bertahan dalam persahabatan kami. Perasaannya sangat terluka karena ego ku, dia menyerah dengan keadaan, karena tetap bersahabat dengan ku sama artinya menyakiti diri sendiri sebab yang diharapkan Julius bukanlah hubungan sebatas teman saja. Julius memutus komunikasi, tidak pernah menghubungi aku seperti sebelumnya hingga akhirnya aku kehilangan ponsel karena terhipnotis orang asing di kampus. Bersamaan dengan Julius yang turut menghilang dari kehidupanku. Aku begitu sedih dan terluka, aku kehilangan seorang sahabat karena cinta.
***
Seperti biasa, setiap hari seusai jam kuliah, aku dan sahabat-sahabatku tidak langsung pulang, nongkrong di selasar aula FMIPA adalah agenda rutin untuk sekedar melepas penat setelah mata kuliah sulit atau menanti jadwal kuliah berikutnya yang padat merayap. Berbagi cerita bahkan membicarakan hal-hal random adalah hal yang paling menyenangkan, aku merasa kehidupan kampus ini jadi lebih hidup karena kehadiran mereka yang meramaikan hari-hariku yang sepi sendiri ketika ada di kost.
Sejak pertama kali kenal mereka di tahun pertama kuliah, hingga tahun berganti, 2 tahun kemudian, ke-5 sahabatku kini sudah berganti pasangan dari kisah lama mereka sewaktu SMA, dari saat mereka tidak punya pacar hingga punya pacar baru, dan aku tetap tidak punya pasangan, selalu merepotkan mereka dari Senin sampai dengan Jum’at karena tidak punya pacar. Sampai-sampai malam Minggu pun mengkhawatirkan aku.
“An, ntar malam kamu kemana?” Pertanyaan Kala ini sebenarnya jebakan, antara perhatian atau mau menertawakan.
“Biasa, di kost aja” jawabku santai. Terang saja mereka berlima terbahak-bahak.
“Eh, kita daftarin aja Ana ikut ajang pencarian jodoh yang di TV” celetuk Ardan asal. Aku melutot tidak setuju, tapi sahabatku yang lain menyambut hangat, lagi-lagi aku kalah telak karena tidak ada yang memihakku. Reva bergegas mencari tahu prosedur pendaftaran via online.
“Eh.. Jangan macam-macam ya kalian! Aku gak mau dijodoh-jodohin gitu, kayak gak bisa nyari sendiri aja!”
“Lha nyatanya kamu masih sendiri, kapan nyarinya?” Sahut Tora membuat semua sahabatku mengangguk setuju. Ya oke, 5 lawan 1 pasti aku kalah suara lah. Aku hanya bisa mencebikkan bibir, mereka berlima sibuk mengisi biodataku, beberapa kali aku mencoba mengintip tapi mereka kompak menutupi pandangan ku.
“Daftarin aja, aku gak akan mau datang” jawabku ketus.
“Wah, ini aku gak tau, alamat rumah Ana apa ya?” Reva melirik dan sahabatku yang lain hanya menggeleng.
“Hahaha.. Aku gak akan mau kasih tau” ejekku.
“Pinjam KTP mu dong” bujuk Vera.
“Ndak mau..” Aku tertawa penuh kemenangan.
“Yah, ndak jadi seru deh” Ardan mencebik kesal.
“Udah ah, kita ngobrol yang lain aja, daripada kalian pusing mikirin kapan aku punya pacar" ujarku mengalihkan.
“Masalahnya kamu menjomblo berabad-abad” sahut Kala diikuti gelak tawa Ardan, Vera, Reva, dan Tora.
“Asem.. Lebay banget, ndak segitu lamanya yo”
“Lha wong 20 tahun lebih jomblo kok” sahut Ardan terkekeh.
“Ya ndak usah dihitung dari bayi juga kali” aku menggerutu kesal. Sementara mereka terus menertawakan aku. Anehnya aku tidak pernah tersinggung, bagiku itu adalah ungkapan sayang mereka, tentu saja karena mereka peduli, hanya saja kadang caranya yang menyebalkan.
***
“An, gue ke kost lu ya” aku membaca pesan singkat dari Theo.
“Ngapain lu ke kost gue” tanyaku penasaran.
“Temenin gue dinner” balasnya.
“Hah, lu gak ada temen lain buat malam Mingguan selain gue apa, makan siang di kampus sama gue, makan malam juga harus gue temenin?”
“Gue mau ngobrol, yang hobinya ngobrol kan lu doang. Hahaha..”
“Maksudnya gue banyak omong gitu kan, ngeselin lu!" Bukannya membalas pesanku, Theo malah menelepon.
“Gue di depan” ucapnya tanpa basa-basi, spontan aku menutup telepon dan buru-buru turun dari lantai 2. Sesampainya di luar gerbang kost, aku celingukan tetapi tidak melihat keberadaan Theo. Segera aku menghubungi nya.
“Heh bocah rese, dimana lu, katanya udah di depan” tanyaku marah.
“Lah, gue belum selesai ngomong tadi, tapi lu keburu tutup telepon, padahal maksudnya masih di depan kost gue, baru mau ngeluarin motor. Hahaha.. Pengen banget gue cepet dateng ya” ujarnya tanpa rasa bersalah.
“Bukan gitu! Pengen gue gebukin ya? Dasar wong edan” aku menutup telepon mendengar Theo terkekeh karena berhasil mengerjai ku.
“An, gue beneran udah sampai depan kost lu. Hehehe” isi pesan Theo beberapa saat kemudian.
“Bodo amat, tunggu aja disitu sampai jamuran” balasku kesal.
“Marah mulu ah, gue gak gitu lagi deh, buruan keluar” aku keluar dengan wajah sebal bersiap marah, tapi tidak bisa marah karena Theo cengengesan.
“Capek tau bolak-balik naik turun tangga” protes ku.
“Hahaha.. Iya maaf, kan salah lu juga langsung matiin telepon sebelum gue selesai ngomong” lagi-lagi Theo membela diri.
“Ih, iya gue emang salah karena gampang percaya aja sama omongan lu, udah buruan mau makan dimana keburu kemalaman ntar”
***
“Udah sana pulang” ujarku setibanya di kost.
“Jahat banget lah, gue diusir” Theo protes tidak mau pergi.
“Lah kan tadi lu minta temenin makan, sekarang udah makan, mau apalagi” jawabku.
“Mau ngobrol, kan tadi bentar doang ngobrolnya”
“Hahaha.. Oh iya, mau ngobrolin apa lagi” tanyaku.
“Ya apa aja, emang harus ada topik nya ya” tanya Theo.
“Gak juga, tapi kan yang pengen ngobrol bukan gue, jadi lu yang mulai cerita duluan lah”
“Gue bingung, mantan deketin gue lagi, pengen balikan kayaknya” ujar Theo tiba-tiba.
“Hahaha.. Kepedean lu, barangkali lu yang pengen balikan, sok ngaku lagi deket sama Lidya pula” aku mengungkit kembali percakapan kami di kampus sore itu.
“Sembarangan, gue mah orangnya move on, ogah balikan sama mantan, kalau soal Lidya masih penjajakan”
“Belagu” celetuk ku spontan menanggapi ucapan Theo.
“Lu sendiri gimana, gak bisa move on dari kejombloan” Theo terbahak-bahak melihat air mukaku yang berubah muram.
“Apa sih, kok malah bawa-bawa jomblo, itu pilihan hidup gue, suka-suka gue lah” jawabku ketus.
“Dasar galak, masih laper apa gimana sih? gak pengen cari pengalaman gitu?"
“Emang perlu? gue mau pacaran kalau udah ketemu orang yang tepat” jawab ku mantap.
“Belum tentu sekali pacaran berhasil, buktinya gue, temen-temen lu, pacaran sekali terus putus, iya kan” ujar Theo memunculkan fakta-fakta.
“Iya tapi kan gue bisa belajar dari pengalaman orang lain, dari pengalaman temen-temen gue” balasku lagi.
“Dasar keras kepala, beda tau kalau lu ngalamin sendiri, mending lu jadian sama gue aja” celetuk Theo.
“Hahaha.. Ngaco aja lu, masa jadian sama temen sendiri” jawabku.
“Lah emang kenapa, hitung-hitung cari pengalaman” ujarnya.
“Kalau gue gak cinta” tanyaku lagi.