Sibuk dengan gadget masing-masing. Itu lah yang sedang Hany dan Arka lakukan setelah mereka sampai di sebuah cafe. Mengabaikan dua minuman yang telah dipesan, mereka lebih fokus pada media sosial yang sedang dibuka.
"Ilham tadi ngelamar lo atau apa sih?" Arka mengernyit melihat satu per satu komentar di postingan yang membahas kejadian di jam istirahat antara Ilham dan Hany. Semuanya membicarakan tentang ucapan Ilham yang sudah seperti sebuah lamaran.
Hany yang juga sedang melihat postingan yang sama berdecak sebal, "Ngelamar apanya? Dia tadi sangat menegaskan nggak bisa jadi suami gue tahu."
"Karena nggak dapat restu?"
Netra Hany melirik Arka sejenak sebelum kembali melihat layar ponsel lagi. Dia masih heran dengan postingan ini dan beberapa komentar yang diberikan. Padahal kejadian itu terjadi di mushola, tapi kenapa orang-orang yang seharusnya niat beribadah malah mencuri dengar obrolannya dengan Ilham? "Begitulah."
"Bukannya masih bisa backstreet?"
Hany menghela napas, cowok seperti Arka mana mungkin dapat mengerti tentang hubungannya dengan Ilham, "Hubungan backstreet dilakukan oleh orang yang cuma ingin main-main aja. Dan gue selalu serius jika udah memikirkan tentang Ilham. Jika sampai melakukan hubungan backstreet sekalipun, akhirnya kami justru bakal memutuskan untuk kawin lari. Gue nggak mau jadi anak durhaka cuma gara-gara cowok doang."
Dengan cepat pandangan Arka beralih ke Hany yang duduk di hadapannya, terkejut, "Jika lo akhirnya bisa bersama Ilham, nggak masalah kan?"
"Tetap jadi masalah. Walau seandainya kami direstuin untuk menikah, Ilham tetap nggak disukai ortu gue. Lebih baik juga menganggap kami mustahil untuk bisa bersama."
Arka menaruh ponsel di atas meja kemudian menopang dagunya untuk menatap Hany dengan lebih teliti, "Lo serius bangat mikirin hubungan dengan Ilham. Apa nggak kejauhan berpikir sampai ingin nikah? Lo emang mau langsung nikah setelah lulus?"
Hany menggeleng, "Nikah muda tuh bisa menyebabkan kesalahpahaman. Dan karena Ilham nggak dapat restu, gue sering membayangkan berbagai macam kemungkinan. Tapi nggak ada satu pun yang happy ending."
"Emang kenapa yakin bangat Ilham nggak bakal dapat restu dari ortu lo?"
Mengingat kembali semua kenangan buruk yang terjadi di masa lalu membuat Hany menghela napas. Bagaimana tidak yakin? Dulu saja Hany sampai dilarang untuk mendekati Ilham, sekarang pasti jauh lebih buruk dibanding dulu, "Lo nggak perlu tahu alasannya. Sekarang biarkan gue gantian yang tanya, apa alasan yang lo katakan sampai bisa meyakinkan pacar agar nggak merasa cemburu lagi?"
"Hah?"