Kafe ini adalah kafe kesukaannya semenjak Zoya ditingkat perkuliahan. Di sini ia bisa mencurahkan perasaannya walau hanya dalam tulisan. Setelah memesan, Zoya selalu memilih duduk di sudut kiri kafe sehingga ia bisa melihat ramainya jalan dari kaca. Buku, bulpen sudah siap di atas meja kayu kafe ini. Suasana vintage sangat membantu untuk menghela nafas panjang. Begitu pun perabotan kayu di sekeliling sangat mampu menenangkan pikiran. Sesekali ia menengok kaca di samping kirinya. Bunyi lalu lalang kendaraan menjadi pelengkap semua ini.
"Ini Kak, milk coffee sesuai pesanan."
"Makasih." Pelayan kafe itu mengangguk sopan lalu beranjak meninggalkan Zoya.
Jam siang memang menjadi waktu terbaik untuk mengunjungi kafe ini. Terlebih bagi Zoya, seseorang yang enggan dalam keramaian. Meski di depan teman-temannya ia dikenal ceria, humble dan sangat bersosialisasi tapi kenyataan adalah jika ia sendirian. Sepi dalam bincang pelan di sekitar, hening diikuti alunan lagu, dan hangat meski pendingin ruangan mendesir kuat.
Zoya menggenggam buku note kecil dengan sampul coklat itu lalu membuka lembar awal. Ada sketsa gitar yang ia gambar sendiri dan kutipan di bawahnya.
"Petikanmu waktu lalu selalu terngiang dan menjelaskan bahwa kamu yang mengawali nada kisah kita."
#penyeduhfajar
Tagar itu menjadi khasnya ketika menulis sesuatu. Penyeduh diambil dari terjemahan namanya, Takhmir sedangkan fajar hanya sebuah alasan klise, ia sangat bersyukur ketika bisa membuka mata di pagi hari dan disambut oleh suasana fajar yang sejuk. Zoya tertawa, selain alasan itu, ia memiliki alasan lain. Ketika ia menatap lekat sketsa gitarnya, sebuah kilasan akan menjawab alasan lain yang ia maksud.
Hari itu di kelas sebelas IPA satu, Zoya tengah duduk bersandar di sudut mini kelas yang memang dibuat untuk bersantai. Musik dari potret mengalun lembut di telinganya. Sedangkan semua temannya serius menonton film. Ya, seperti hari-hari lain ketika jam kosong, kelas khusus dengan fasilitas jauh lebih lengkap dari kelas-kelas yang lain ini memilih membebaskan pikiran akan tugas yang menumpuk dengan menonton film.
Zoya mengusap pipinya yang basah karena air mata. Semua ini sangat mampu diingatnya kalau Zoya tengah merindu. Merindu pada kedua orang tuanya yang sudah tidur di bawah sana. Ia menghela nafas. Sudah satu tahun lebih, Zoya hanya hidup untuk dirinya sendiri, berjuang sendiri, tertawa dan bahkan menangis sendiri.
Tapi tidak apa, setiap insan memiliki garis hidupnya masing-masing. Dan jika ia memiliki garis hidup seperti ini, Zoya tidak bisa berbuat yang lain. Mungkin hanya senyuman yang mampu ia tunjukkan.
"Nih."
Tiba-tiba seorang lelaki mengulurkan sapu tangan dongker, dengan terkejut Zoya meraih sapu tangan itu. Menatap salah satu temannya itu yang dengan santai bersandar di sampingnya dan menjulurkan kaki sambil bersedekap tangan. Arul, lelaki itu serius menonton film, tapi kenapa harus di belakang sini?
"Itu film ilmiah, ngapain pakai acara nangis segala. Cengeng banget sih." Arul berucap tapi tidak memandang Zoya. Zoya hanya diam, ia meraih sekotak kopi susu kesukaannya, yang tidak pernah lupa ia bawa ke sekolah. Lalu Zoya menyeruput sedikit.