Penawar Masalah

Nurita
Chapter #9

Dugaan

Kafe yang tadinya sedikit lengang sekarang bertambah sunyi, denting pelayan membersihkan cangkir dan barang pecah lainnya kini melingkupi Zoya dalam sebuah perasaan yang tidak dapat ditangkap nalar. Sederhana, tidak rumit, hanya air mata yang dapat menggambarkan sedikit perasaannya itu.

Kilas balik Arul yang mengajaknya berbicara, walau satu kalimat ajakan, membuat Zoya bahagia karena sudah hampir satu minggu cowok itu tidak bercakap dengannya, tidak meresponnya, dan bahkan dingin terhadapnya. Namun Zoya juga bimbang, ia bingung dengan pikirannya yang selalu memanjang, ia resah dengan pendengarannya yang tidak pernah lelah untuk menangkap suara indah Arul. Satu rasa yang paling dominan, rasa akan takut ditinggalkan.

Rasa akan takut kehilangan akan hadir jika kalian sudah mengerti bagaimana prinsip kehilangan. Seperti Zoya, ia sudah kehilangan dua kali dan rasa takut itu semakin menggebu. Apalagi ia seolah sudah memiliki Arul meski bukan dalam konteks sebuah hubungan. Zoya memiliki Arul disampingnya, mendengar keluh senangnya, bercerita masing-masing tentang kehidupan, itu sudah cukup.

Namun di lembar selanjutnya rasa memiliki yang ia rasakan sirna. Tidak ada potret, hanya selembar kertas putih dengan corak hitam ditengahnya, gambar itu ia buat dengan cat air. Zoya mengingat itu, ia dirundung air mata, diaduk acak oleh perasaan, seperti sekarang hari ini ketika ia mengilas balik lagi.

"Saat itu sekitarku menanyakan perasaan yang belum bisa aku jabarkan. Jika mereka melihat aku baik-baik saja, berarti senyumanku berhasil membelenggu lingkar suram perasaanku saat itu."

#penyeduhfajar

"Sana Zoy, udah ditungguin Arul di depan kelas."

Zoya meremas jemarinya, sesekali bingung dengan tatanan rambut yang sebenarnya sangat baik-baik saja. "Gue kok gugup gini ya?"

"Aduh tolong deh, guru killer aja asal loe luluhin. Nah ini cuma teman loe sendiri?"

Zoya melirik Faby, ia sungguh terlihat cemas. "Logika gue bilang kalau dia cuma sekadar duduk depan aja dan itu nggak ada yang salah."

Sedangkan Faby sudah membuka pintu kelas sambil berusaha menarik Zoya agar keluar. "Berhenti pakai logika loe yang jenius ini." Faby menuding kepala Zoya tanpa menyentuh kemudian ia berdiri di belakang Zoya. "Pakai hati loe, karena itu tipikal cewek yang sesungguhnya." Zoya terdorong ke depan oleh Faby yang mendorong punggungnya.

"Biarin gue nafas dulu Fab." Zoya tetap berusaha mengendalikan kegugupan dan kekhawatirannya. "Oke, apa pun yang terjadi, loe yang gue salahin."

Faby tergelak tawa kala telunjuk dan tatapan temannya itu sama kejam kepada dirinya. Namun ia tersenyum ketika Zoya melangkah keluar kelas.

Zoya adalah seseorang yang selalu menunjukkan kalau dia berpikir idealis padahal ia tetaplah sosok rapuh yang hatinya egois pada keadaan. Arul memang sosok baru di kehidupan Zoya. Baru beberapa bulan, masih hitungan jari, Zoya mengenal cowok itu. Tapi pasalnya Arul jugalah yang menjadi sosok lelaki pertama yang berani meloncat ke dalam zona nyamannya.

Lalu apa peran Arul saat sudah memasuki zona nyaman Zoya?

Setelah satu langkah di depan pintu, Arul duduk bersandar di bangku depan kelas sambil memandangi pohon yang menjulang hingga lantai dua sekolah. Zoya melihat itu, keterdiaman Arul dengan segala ketenangannya. Tidak ada satu pun yang berubah karena semenjak ia kenal cowok itu, Zoya menyimpulkan kalau sosok Arul adalah orang yang paling nggak mau ribet, orang yang berprinsip, dan sosok sederhana yang tidak terlalu suka perubahan yang signifikan.

Lihat selengkapnya