Pada minggu selanjutnya, aku mendapatkan telegram singkat tentang hasil pencapaiannya dari buku-buku kesehatan atau buku penyakit yang dibaca. Ia juga berjanji akan mengirimkan pos tentang jurnal yang dibuatnya. Dan pada pukul lima sore aku mendapatkan pos darinya tentang hasil riset apa-apa yang sudah dicapai. Mulai penyakit mata, iritasi, miningitis, atau semacam sakit pada kornea.
Kubaca perlahan-lahan, kemudian menulis beberapa kata di jurnal harianku. Tanggal delapan belas Mei, Richard membuat penelitian. Aku berjalan ke jendela, kulihat langit gelap dengan taburan bintang di langit, ada Cygnus di sana untuk memanjakan mataku.
Pada siang berikutnya, ia datang ke rumah dengan mata menghitam. Bulatan mata panda yang sangat jelas. Mungkin malam ini ia tidak bisa tidur karena pengaruh deadline tugasnya tanggal dua puluh dua, tiga hari lagi. Aku terkekeh melihatnya.
“Kopi?” Kutawarkan lelaki itu agar tidak mengantuk saat sore ia bekerja, namun apa daya gelengan mautnya tercipta. Aku tak bisa apa-apa.
“Banyak kafein. Aku sudah meminumnya lima gelas. Ditambah Marry memberikanku dalam bentuk cinta katanya.”
Aku tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita manisnya. Marry wanita Kashmeer itu, datang menyimpan suka. Aku mengangguk-angguk, kubalikan kertas koran harian dan membaca sebagian bukti yang telah beredar. Anjing-anjing yang mati itu memang sudah selesai kasusnya, tetapi beritanya masih terdengar sampai hari ini. Gila saja kalau tiba-tiba kasusnya langsung meredup.
“Dia begitu mendambakanmu, Richard,” balasku.
“Aku tak peduli. Dia hanya manusia manja. Kalau dia anjing yang mati itu, mungkin akan kudekati. Karena hanya anjing. Aku kebanjiran uang,” katanya sambil bersedekap, matanya tertutup. Nah, ini. Maksudku, Richard bukan bocah yang suka menjalin hubungan asmara. Pikirannya tertuju dalam bentuk tunai.
“Berita itu masih hangat sampai sekarang. Padahal, baru beberapa hari lalu kecelakaan beruntun di tengah kota. Tetapi anjing tetap menjadi santapan utama di kabar berita, menakjubkan.” Aku menutup koran dan memandangnya sebentar, menyesap kopi buatan Luna. Manis, kupinta pakai gula.
“Kupikir kejadian ini hanya sebentar. Tak akan unggul mencuri perhatian. Tapi tau-tau, bosku meminta kasus itu didongkrak terus menerus. Percaya atau tidak kami kebanjiran uang dua kali lipat.”
“Berarti kau harus berterima kasih pada pembunuhnya,” jawabku. Dia menggeleng setelah kurespon.
“Gila! Bagaimanapun juga, mereka bernyawa Addie. Aku juga tahu kalau kasus itu terus menerus diangkat, pasti akan menimbulkan bencana bagi pecinta hewan dan orang-orang akan menilai jika kantorku tidak prikehewanan.” Aku meliriknya sembari menyeringai. Padahal, aku tak berniat menyinggung itu. Tapi, pikiran Richard sudah jauh melampaui apa yang akan berdampak padanya atau pada kantor tempat ia bekerja.
“Pun, itu bukan pembunuhan, Addie. Aku tidak bisa mengatakan kalau itu pembunuhan. Karena kalau pembunuhan rasanya aneh.”
Aku mengangguk-angguk. Setuju sekali. Sejak kasus penculikan tahun lalu naik dan merebak seperti bom waktu, menakut-nakuti anak kecil yang sering sendirian itu seperti kasus sepele.
Tapi, tidak se-sepele itu karena mengakibatkan kematian dan penghilangan organ dalam untuk dijual ke pasar gelap. Kasus itu saja masih mengawang-awang. Organisasi rahasia, orang iseng atau kaum elit. Tentu belum diketemukan.
Ada dua, enam bulan lalu tertangkap dan sayangnya sebelum diinterogasi, mereka mendadak bunuh diri meminum racun. Klise, kan. Seolah semuanya telah direncanakan sangat matang sekali.