PENCABUT MATA

Wafa Nabila
Chapter #4

KEDIAMAN GILIAN DIGSON

Pada minggu kedua setelah kejadian mengerikan. Aku diam memperhatikan puluhan gambar yang kuperoleh dari hasil potret Richard, sore ini dia memberikan kepadaku. Kuanalisis ekspresi wajah kesakitan mereka, ada yang Richard perbesar gambarnya, dijadikan sebagai contoh anatomi, aku pun berlagak sok sebagai dokter spesialis tubuh, tak lupa kucoret apa-apa yang terlihat aneh. 

Kutulis secara ringkas di dalam post-it sampai kulingkari pula seorang laki-laki pendek di antara orang-orang yang sedang bergerumbul. Wajahnya samar seperti efek dari kamera Richard.

“Kau merasa jika laki-laki ini ada di antara mereka, Richy? Yang agak cebol pendek, berkulit cokelat, hidung bengkok ke kiri, mata bulatnya bewarna hitam, jasnya pun tak terlihat, terbayang-bayang, seperti hanya dia yang bergerak, yang lainnya diam saja. Dia hanya terlihat sampai dada.”

Kulihat dari foto milik Richard, mereka beragam-ragam, tentu orang Meksiko berkulit hitam itulah yang paling menonjol di antara mereka kulit putih. Aku mengamati wajah tirusnya yang terlihat lelah. 

Kaca matanya hampir melorot saking mengantuknya, tapi tetap saja orang Meksiko itu menatap anjing kesayangannya yang tertidur lelap di tanah tanpa harus membenarkan letak kaca matanya. Tetapi yang sedang kubicarakan tadi bukanlah tentang orang Meksiko itu.

Richard menengok hasil potretnya dan memiringkan kepalanya sedikit. Tengah menilai, menyipit. Setelah beberapa detik menghasilkan sunyi. Dia menggeleng.

“Ini, dia tak ada di sana, realitanya kosong. Tak ada manusia. Aku masih ingat kejadiannya. Di antara pemilik anjing tidak ada laki-laki aneh itu di sana, sungguh. Kenapa aku tak menyadarinya, ya?”

“Kau tak menyimak dan meneliti gambarmu sendiri dengan teliti. Menurutmu, apa mungkin pelakunya adalah seseorang yang tinggal di Langham? Atau dari daerah kita ini yang terpencil.”

“Atau bisa jadi gelandangan pasar kota sebrang.”

Aku diam terpekur setelah Richard berkata seperti itu, dia berpikir tentang gelandangan, entah dari mana pemikiran brilian itu muncul, padahal aku sendiri tidak tahu. Kita hanya berlaga menjadi detektif saja. Tiba-tiba Richard berdiri, dan menepuk bahuku.

“Ayo! Ikut aku,” katanya menarik lenganku.

“Ke mana?”

“Ke tempat Gillian, mungkin kita akan mendapat seperempat hak, selebihnya sia-sia. Kau siap-siaplah dulu. Bilang pada Luna, kita akan ke kota sebrang.” Aku tercenganga.

“Tapi, aku ingin menemui Meddie di asrama. Sudah empat minggu kurang tiga hari, Meddieku tak ditengok.” 

Aku dan Richard berhenti berdebat, kami termenung, sebelum akhirnya aku pasrah. Melarikan diri ke dalam, berbicara pada Luna. Membawa topi dan menemui Richard. Untuk kali ini, aku ikut Richard. Anakku pasti bisa baik-baik saja tanpa melihatku. Namun aku rindu anakku.

Percakapan kami ini berlangsung di ruang kerjaku yang kecil, dari jendela besar terlihat tamanku yang cantik, berkat Luna dan anakku Meddie jika sedang berkunjung ke rumah.

Akhirnya kami, aku dan Richard, berjalan kaki sejauh lebih kurang satu kilometer. Melintasi beberapa para pekerja kontraktor yang akan dibuat tempat pemukiman, belum jelas akan dijadikan apa. Kami juga melewati jembatan cekung dan tanah lapang terbuka.

Sampai kami menaiki kuda milik Jake tetanggaku yang ternyata juga ingin ke kota. Kami menumpang, di gerobak yang terbuka belakanganya. Richard merebahkan kepalanya di antara rumput-rumput yang akan dipakai untuk sapi-sapi makan, kami tak lagi merasa lelah untuk melintasi ke kota sebrang. 

Jalan setapak ini membawa kami menembus rumah-rumah berlahan terbuka. Dari pasar yang ramai Richard langsung duduk tegap dan menilik atau mungkin meneliti satu persatu mereka para gelandangan. Kami pun sampai di rumah cokelat berenda merah muda itu, rumahnya sedang, setengah kaca di depan. Kami sampai di kediaman Gillian Digson, si pembuat sepatu.

Pemandu kami akhirnya berhenti di dekat kediaman Gillian, dan menurunkan kami sambil kami berterima kasih. Akhirnya kami sampai. Kami masuk ke dalam rumah Gillian yang disambut oleh istrinya, Imelda.

“Addie, Addie Lewis, penerjemah lepas,” kataku saat kami berjabat tangan. Gillian keluar dari dalam dan melihat kami yang sedang berada di ruang tamu. Kami duduk di ruang tamu bersama. Richard tanpa ingin basa-basi lagi, ia mengeluarkan foto yang tadi.

“Apa kau pernah melihat laki-laki aneh ini di daerah pasar? Kupikir dia gelandangan di sini.”

“Tidak, aku tidak bisa mengatakan itu. Tapi aku hanya pernah melihat sekilas wajahnya, di balik jas kegombrongan.”

Lihat selengkapnya