Di minggu berikutnya tepat tanggal sepuluh, Richard datang tergesa-gesa. Wajahnya pucat pasi dan ia menggeleng-geleng kepala, sebentar-sebentar berbisik dan berkata: aku mulai tidak waras.
Kurasa benar, kasus dan tugasnya menjadikan lelaki itu tidak waras. Mungkin saja ia depresi. Kuperintahkan ia duduk di dekatku. Aku berteriak ke Luna memintanya membuatkan kopi untuk Richard. Richard menepuk bahuku, dia menggeleng dan menekan bahuku sambil berbisik.
“Air teh.”
Aku membulatkan mulutku dan kemudian berteriak kembali kepada Luna bahwa Richard meminta teh, bukan kopi. Kupandang wajahnya yang muram tertimpa cahaya matahari pagi, ia kumal seperti belum mandi.
Kutanya padanya, “ada apa?”
“Iblis.” Dia berkata dengan gemetar.
“Iblis apanya?” Kutanya lagi yang kebingungan.
Ia baru menjelaskan kejadiannya. “Tadi malam aku bertemu setan. Dia kurus, kerempeng, matanya bolong seperti anjing-anjing itu. Lalu tiba-tiba saja dia menghilang seperti tawon, dan aku bingung. Bagaimana bisa?”
“Seperti apa kronologisnya?”
“Jadi begini: pada malam itu, aku sendirian memandangi foto-foto korban yang mati mengenaskan karena kasus waktu itu mulai banyak di daerah pedesaan hampir ke gunung. Kemudian aku merasa bahwa di rumah itu, aku tidak sendirian....
.... Di heningnya malam terdengar anjing menyalak, maksudku suara orang yang menggeram mirip anjing terdengar di depan rumahku. Ia tak punya bayangan seakan mirip hantu yang bergentayang. Ah! Aku ingat. Mata kirinya bolong sedang mengetuk kaca jendelaku.”
Aku mengangguk-angguk ketika dia berbicara panjang lebar, aku berdiri dari tempat dan mengambil tape rekorder serta buku jurnal, kurekam semua ucapan kronologis milik Richard di tape rekorder dan juga kutulis rinciannya. Kemudian aku kembali melihat kedua kelopak mata Richard yang tampak tidak sehat, dia seperti akan terkena sakit.
“Terima kasih,” ucap Richard di sela-sela ia berbicara. Luna membawakannya segelas teh. Richard menyeruputnya saat panas. Lalu Luna pergi meninggalkan kami yang mulai serius dalam perbincangan.
“Sebelum kejadian manusia berperilaku mirip anjing itu datang, aku sedang termenung menautkan kejadian demi kejadian yang korban alami sebelum mati. Tiba-tiba saja, aku mendengar suara seorang laki-laki menggeram dari luar rumah. Suaranya mirip lolongan anjing yang berduka cita. Seketika aku menghentikan tanganku yang sedang memilah foto…
… terdiam sebentar sampai aku melirik ke asal suara, mengalihkan perhatian ke pintu utama yang tertutup rapat. Kudengar lagi suara geraman atau suara orang terengah-engah yang habis berlarian. Suaranya samar dan begitu dalam, seperti suara kakek-kakek sekarat di atas ranjang rumah sakit.”
Richard terdiam sebentar untuk menjeda kalimatnya, dia menyibuki pikirannya dengan menatap langit-langit. Nyalang. Menjelaskannya dari ulang, ia masih gemetaran.
Gelas tehnya yang ia akan taruh ke meja bergetar saking tak dapat menahan ketakutannya. Buliran keringat menetes-netes dari pelipis alisnya. Ia berbicara lagi.
“Ada manusia, pikirku ketika aku beranjak berdiri. Aku berjalan perlahan ke pintu utama, melongok dan menyipitkan kedua mata yang ternyata tidak ada siapa-siapa di luar sana. Namun begitu aku berbalik meninggalkan pintu, suara geraman itu datang lagi seperti suara orang yang sedang mendengkur. Jalanku terhenti. Aku menoleh berbalik dan melongok ke jendela samping pintu.”
“Suara geraman maupun orang asing itu sama sekali tidak ada di sana. Heran aku bertanya dalam hati. Bagaimanapun kondisi seperti ini membuatku takut juga, walau aku seorang laki-laki tulen. Aku tetap manusia biasa yang memiliki segudang dosa,” sambatnya.
“Coba kau bayangkan Addie! Di tengah keheningan pukul satu dini hari seperti apa yang kurasakan, kau sendiri yang mendengar suara aneh itu. Atau suara orang terkikik geli. Pasti dipikiranmu ada beberapa pertanyaan, siapa orang itu? Dari mana ia berasal, bagaimana rupanya, dan kau harus pastikan jika itu adalah suara tetanggamu sendiri Addie atau suara orang yang melewati rumahmu. Karena pada saat itu kau hanyalah sendirian. Bila memang tidak berisiko, abaikan saja suara mereka. Bila berisiko, aku pun tidak tahu. Karena aku belum menemukan cara jalan keluarnya.”
Ia menunduk, menghela napas kasar sambil mengurut pelipis alisnya lelah. Gerakannya seperti tawanan yang akan ditawan kembali suatu saat.
“Di waktu itu, aku menutup kembali gorden yang sempat kubuka, dan aku masih tetap berdiri di depan jendela menunggu suara apa yang kudengar sejak itu. Saat aku merasakan suaranya datang lagi, kubuka lebar-lebar gorden dan betapa terkejutnya aku melihat seorang laki-laki dengan mata kirinya bolong sedang membenturkan kepalanya berkali-kali pada jendela rumahku. Sampai darah mengucur keluar dari lubang mata kirinya.”
Ia memegang kedua bahuku dan menggoyangkan tubuhku ke depan-belakang.
“Wajahnya menyeramkan, Addie Lewis! Pinga aku dibuatnya. Gorden yang tadi kubuka belum sempat kututup, lelaki itu juga masih terlihat di jendela. Aku tidak panik, tidak gentar, aku hanya masih terkejut dengan kejadian yang datang tiba-tiba di depan mataku. Depan mataku ingat ....