Ding… Ding… Dong…
Bel sekolah berbunyi tanda istirahat dimulai, riana duduk sendirian dibangkunya karena fitri hari ini tidak datang ke sekolah, sementara lia dan firly lagi sibuk ngerjain tugas sekolah yang belum sempat mereka selesain di rumah.
Riana merasa bete, dia pun memilih tidur dengan menggeletakkan kepalanya di meja. Matanya pun terpejam mengabaikan suara riuh kelasnya. riana mengingat saat ia tertawa karena tingkahnya fitri dan bercanda saat kumpul bersaman teman-temannya entah ketika dikelas atau dikantin selama enam bulan lebih sudah riana bersekolah.
Beberapa menit kemudian…
Riana terbagun, menegakkan kepalanya dengan wajah lesuh dia memandangi yang dihadapannya, lalu dia menengok ke belakang melihat kelompok kecil siswa siswi yang satunya lagi bercandah heboh yang kelompok lainnya sedang berbicara serius. Kemudian riana berbalik kedepan lagi. Namun disela-sela kejenuhan riana yang dialaminya, tanpa riana sadari ada seorang siswi yang memperhatikan gerak gerik riana.
Kemudian riana beranjak dari tempat duduknya lalu keluar kelas, siswi yang memperhatikan riana beranjak mengikuti riana. Beberapa saat kemudian riana sampai di kantin kemudian memesan semangkuk bakso lalu riana duduk sendiri menyantap bakso yang dia pesan. Tidak lama kemudian siswi yang mengikuti riana menghampiri riana dengan semangkuk bakso ditangannya.
“Hai… boleh aku duduk disini?” tanyanya.
“Boleh…”
“Kok sendirian aja, biasanya sama fitri!”
“Fitri lagi sakit. Lalu lia dan firly lagi ngerjain tugas”
“Oh…”
Sejenak riana berfikir. “Kamu yang duduk di belakang kan, deretan bangku ke tiga, kan?” tebak riana.
“Iya. Kok mau tahu?” Penasaran siswa itu. “Kamu perhatiin aku juga?”
“Soalnya setiap masuk kelas aku selalu lihat kamu dan lainnya juga sih, makanya aku ingat”
“Oh gitu… Tapi kamu tahu ndak namaku?”
“Tidak sih!”
“Aku Abigail, panggilah aja abi. Dan kamu pasti riana. Iya kan?”
“Iya… ” terkejut riana. Sejenak riana terdiam memikirkan bagaimana bisa abi tahu namanya, apakah abi memperhatikan dirinya, tapi riana langsung menganggap mungkin itu kebetulan saja.
“Oh… iya kenapa kamu kok jarang ke belakang, di depan terus. Sekali-kali main juga ke bangku belakang. Fitri, lia dan firly aja kadang main ke bangku belakang”
“Iya sih kadang aku liat fitri, lia atau firly kadang mereka main ke belakang."
"Nah... kamu saja tahu "
"So-soal itu. Soal-nya aku sedikit ta-takut”
Seketika aby tersedak, Riana pun agak panik. Melihat air minumnya, riana lalu menarwarkannya pada aby. Aby pun sejenak menarik napas setelah minum air.
.“Apa yang kamu takutkan riana?” Bingung aby tak karuan.
Riana pun bingung harus menjawab apa, dia tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
“Aku dan lainnya anak-anak baik-baik kok! Ndak usah takut.” lanjut aby mencoba meyakinkan riana. “Kau tahu saya dan risna. Risna itu... perempuan yang rambutnya sebahu yang rambutnya selalu dia urai, Tahu?”
“Iya aku tahu….”
“Nah… itu namanya risna. Terus dina, yang berhijab lalu orangnya agak modis gitu. Tahu?”
“Iya…”
“Asal kamu tahu kami itu sering membicarakanmu. Kami heran. Kok kamu betah banget duduk di depan, padahal fitri, firly dan lia kadang main ke belakang, kami pun kira mungkin kamu sombong kali yah "
“Ti-tidak kok! Cuma aku tidak tahu harus ba-gaimana.”
“Yah bergaul aja. Atau gini aja. Gimana kamu ikut sama aku dan lainnya sepulang sekolah, soalnya kami mau jalan, mau kan?”
“Eeehhh…”
“Ayok sudah… ikut aja. Ndak lama kok, palingan sore kita udah pulangan”
“Ta-tapi…. ”
“Ndak Apa-Apa! Yang jelas harus IKUT!” Paksa aby. “Okey?”
Riana pun hanya bisa mengangguk. Terlintas dibenaknya apakah dia akan baik-baik saja. Ini seperti dia bagaikan orang baru lagi dalam suatu kelompok. Sulit bagi riana untuk kembali beradaptasi, ditambah di harus meminta ijin dulu ke orang tuanya. Riana berfikir harus mencari alasan agar bisa diijinkan oleh orang tuanya.
***
Dind… Ding… Dong…
Yeh… Pulang…