Neina memasuki ruangan osis. Satu-satunya organisasi yang mempunyai ruangaan resmi hanyalah OSIS. Tempat cukup sakral bagi anggota, tidak ada yang boleh masuk kecuali anggota dan orang yang berkepentingan.
Maka dari itu Neina terkejut mendapati Nahar duduk di dalam. Nahar bermain aplikasi permainan di ponselnya. Ia menyadari kedatangan Neina saat Neina meletakan buku catatan kecilnya di atas layar ponselnya.
Namanya cewek mana tau game online tidak ada tombol pause. Nahar heboh sendiri dengan tindakan Neina, ia mengangkat ponsel ke atas. mengeluarkan pekikan suara seolah-olah dia seorang gadis perawan yang terjepit pintu, “Sembrono, gimana kalau aku kalah, bossnya hampir mati tau, kya~~!”
Neina duduk di sebelah Nahar. Mengabaikan keluhan Nahar yang bagaikan keluhan anak kecil. Pengaturan kepala Neina sama dengan orang tua, bahwa permainan di ponsel hanyalah untuk anak kecil.
“Apa sih, udah gede juga main game,”
Nahar tersinggung. Alisnya mengkerut. Ia secepat mungkin menyelesaikan permainannya. Dalam hati menggerutu, menahan perkataan yang akan ia debatkan dengan cara bersabar.
Permainannya selesai. Nahar menaruh ponselnya di saku seragamnya. Memutar posisi duduknya menghadap Neina.
“Main game, maksudnya? Main main? Game game?”
Neina membalas tatapan Nahar, “Bermain permainan,” koreksi Neina, “itukan permainan anak kecil,” alibinya.
“Game ini yang buat anak gede, dan nggak semua game buat anak kecil. Iya kali anak kecil pake duit buat top up, beli item di-game,” jelasnya.
“Ini nih yang bikin rupiah turun, pemainnya umpak-umpakan, barbar, kalau top up. Nggak mikir kalau duit rupiah mereka lari ke bank Negara pembuat game terus dituker mata uang mereka. Ya, semakin banyak rupiah yang ditukar ke dollar, berarti semakin turun nilai jual rupiah.” Kotbahnya.
“Lagian saya mainnya nggak pernah top up, tapi otak anda pinter sekali tentang ekonomi,” candan Nahar. Neina mencubit lengan Nahar, Nahar bergeliat kegelian.
“Hih, ngapain kamu di sini?” omelnya.
Nahar bersedekap lalu menunjuk-nunjuk telunjuknya di depan muka Neina, “Apa hak anda menanyakan hal itu kepada saya?”
Neina menangkap teunjuk Nahar. Kemudian dengan paksa menarik telunjuk tangan Nahar ke dalam mulutnya. Gigi seri Neina menggigit telunjuk Nahar, tak begitu keras tapi cukup membuat Nahar tersentak dari tempat duduknya.
Nahar histeris, “Awww awww,” Nahar berhasil menarik telunjuknya keluar, “harus suntik vaksin, nih!” protes Nahar.
“Keluar sana, nanti kak Yanuar marah,” omel Neina membawa nama ketua OSIS.
“Nggak mau,” goda Nahar.
Kepala Neina meletup-letup rasanya, “Nggak ada kerjaan juga kamu di sini,”
“Ada, aku jadi dekorasi,” godanya lagi.
“Dekorasi, apa,” kesal Neina yang alisnya mulai mengernyit kesal.
“Jadi patung,” jawab Nahar berlahak tegak seperti patung. Neina semakin kalut, Nahar kegirangan melihatnya, entah mengapa Nahar suka sekali memancing amarah Neina.
Gerombolan anggota OSIS berdatangan. Mereka mengabaikan kehadiran Nahar, kecuali Neina. Yanuar, sang ketua OSIS telah memasuki ruangan bersama Laily sang sekertaris. Laily terkenal senior yang beringas. Suaranya melantang, dan dia paling sering membentak adek kelas waktu masa orientasi.
Matanya yang setajam golok dalam sekali lirikan dapat mendekteksi kehadiran Nahar. Orang asing sekaligus penyusup bagi Laily, ia tak suka dengan kehadiran Nahar. Tatapan itu dapat Neina tangkap. Neina ketakutan, takut Laily memarahi dirinya karena menyelundupkan orang asing—Nahar ke forum penting.
“Lu, keluar,” tunjuk Laily dingin pada Nahar, “disini tempat anak OSIS ngumpul. Ada rapat penting.” Usir Laily nada tenang.
Jantung Neina berdetak. Ia kira tadi Laily menunjuknya, memarahi dirinya atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Seperti bakat Laily, membuat orang innocent merasa bersalah. Aura intimidasi Laily begitu pekat, maka dari itu posisi orang yang awalnya benar bisa jadi salah oleh mulutnya yang pintar berdebat.
Dan sebelum Nahar menjawab, Yanuar memotongnya, “Gue yang nyuruh dia masuk,”
Alis Laily terangkat begitu juga Neina. Terangkatnya alis mereka sebagai isyarat pertanyaan mengapa, selain itu juga menandakan keheranan. Yanuar tanpa menunggu kalimat, menebak isyarat tersebut menjawab dengan santai seraya menaruh laptop-nya di meja.
“Gue nebeng sama dia, kasian nunggu di luar dingin, ujan deres,” jelasnya seraya mencari kabel USB LCD, “itung-itung jadi dekorasi dia.” Ucapnya yang menemukan kabel lalu menyambungnya di laptop.
Nahar menoleh ke Neina yang kebetul menatapnya, “Kan,” ucap Nahar kepada Neina bahwa dirinya memang jadi dekorasi.