Keesokan harinya dimulai dengan lomba badminton bersamaan voli dan terakhir adalah sepak bola. Karena peminat sedikit, voli dan badminton dapat berbagi gedung. Jam 10 pagi lebih awal, sudah terlihat pemenangnya. Para pemain bukan pemain profesional jadi poin mudah didapat.
Sedangkan bola, olahraga primadona. Waktu yang menentukan kemenangan bukan skor poin yang menentukan.
Tim Nahar berhasil sampai babak final. Kesempatan mendapat mendali juara satu semakin tinggi. Tujuan utama Nahar memberikan medali akan terwujud.
Rian berada di dalam kelas. Ia meringkuk, tubuh membungkuk, kepala sembunyi di lipatan tangan, di atas meja. Perutnya sakit, Rian datang bulan. Badannya berkeringat, titik-titik keringat terlihat jelas di keningnya. Ia ingin pulang, tapi tidak diperbolehkan oleh satpam sekolah. Harus jam 12 siang baru boleh.
Sudah dari jam 9 Rian meringkuk kesakitan. Teman-temannya lalu lalang sibuk dengan dunia sendiri.
“Rian, kamu kenapa?” tanya Aisyah, dari sekian orang.
“Lagi haid, kram perutku,” lirih Rian.
“Ke UKS yu,” ajak Aisyah.
“Tadi udah, tapi pintunya ke kunci,”
“Kalo gitu, makan?”
“Gak dulu, nanti muntah-muntah, udah gapapa Aisyah. Bentar lagi aku pulang. Dah biasa sakit kram kek gini,” ujar Rian.
“Yaudah, kalo perlu apa-apa, WA, aku nonton ke lapangan dulu.”
“Iya,” Rian melambaikan tangan ke Aisyah.
Aisyah pun pergi. Tak lama kemudian seseorang duduk di sebelah Rian.
“Rian, kamu kenapa?” tanya Victor.
“Lagi dapet, perutku kram,” jawab Rian kesekian kalinya.
“Udah minta jemput?” tanya Victor.
“Tadi aku keluar, dicegat pak satpam, disuruh pulang jam 12.”
‘Padahal si Nahar lagi on fire,’ batin Victor.
Dia mencari Rian untuk diajak nonton pertandingan Nahar yang sebentar lagi mulai. Niatnya duduk di depan supaya sahabatnya makin semangat main bola. Sayangnya Rian sakit.
Victor bisa melihat titik-titik keringat di pelipis Rian. Rambut Rian yang terliat lepek, effek panas dingin.
“Kamu kuat jalan gak, aku anter pulang aja. Gak tega aku liat kamu kek gini, sakit banget pasti,” tawar Victor cemas.
“Apa boleh, ini belum jam 12?” tanya Rian lirih.
“Gampang, aku punya trik, ayo pulang,” Victor sigap berdiri membantu Rian bangun.
Jalan Rian agak membungkuk. Dia memegangi perutnya yang perih. Victor pun meminjami Rian jaketnya yang oversize. Membantu mem-zip sampai atas, memasangkan kerudung alias hoodie supaya kepala Rian tidak terkena angin.
Victor membawa tas Rian. Mereka berjalan sampai ke parkir motor. Victor memasukan tas Rian ke dalam jok motor. Muat karena tidak ada isinya. Victor pun menyalakan motor lalu Rian duduk di bangku bonceng.
“Rumahmu yang sebelah mananya supermarket?” tanya Victor sebelum jalan.
“Sebelahnya kan ada gang, nanti kamu masuk terus lurus, perumahanku yang sebelah kanan. Kalo dah sampai di sana, aku aba-aba,” ujar Rian lemas.
“Okay,” Victor mulai mengemudi motornya. Sementara Neina dan Aisyah sibuk menyemangati Nahar.
Perjalanan sekolah ke rumah Rian memakan waktu 15 menit. Apalagi di jam segini, jalanan masih aman sepi lancar.
Sesampai di daerah supermartket Rian menarik pelan baju Victor. Victor agak menoleh ke belakang.
“Iya, Rian?” tanya Victor, dia peka dengan sinyal yang diberikan oleh Rian.
“Berhenti ke supermarket dulu, beli pembalut,”
“Oh, iya, okay, okay.” Victor membelokan motornya ke supermarket.