Victor dan Neina berada di bioskop. Baju mereka masih seragam sekolah. Mereka memilih menonton setelah pulang sekolah daripada bolak-balik.
Neina menunggu Victor di tempat duduk, ia sedang membeli tiket. Dikepala Neina tersisa pikirannya waktu berdebat dengan Nahar, masih terasa sampai sekarang. Entah mengapa Neina terganggu.
Victor membawa box popcorn dan 2 minum. Dengan hati-hati Victor meletakan di meja, Neina masih melamun, tatapannya kosong pikirannya masih tertinggal di sekolahan.
“Akh?!” kaget Neina saat Victor menempelkan minuman dingin di pipi Neina.
“Wkwkwkw,” tawa jahil Victor.
Tangan Neina meraih minuman itu lalu ia minum.
“Masih mikirin tadi ya?” tebak Victor. Neina membalas dengan anggukan.
“Dah, jan kamu pikirin lagi, kita lagi kencan juga, harus happy,” tegur Victor lemah lembut.
Senyuman Victor bak pangeran di-manhwa. Setiap orang akan meleyot melihat penampakan Victor yang terseyum tipis, suara cowok gentle yang super lembut.
“Hahhhh,” Neina menghela napas, “maaf ya, aku masih keganggu perkara Nahar tadi. Aku gak habis pikir dia bisa se-insecure itu, padahal dilihat dari sisi manapun dia itu punya kelebihan minta ampun. Kenapa pesimis gitu, toh kalo ditolak, masih bisa temenankan.” ungkap Neina pada Victor.
“Si Na’er itu orangnya polos, dia takut kalo habis nembak si Rian, terus ditolak, takut dijauhi sama Rian atau sebaliknya si Na’er yang ngejauhin Rian. Apa kamu gak pernah ngalamin itu?”
Dengan muka tanpa dosa, “Nggak, aku tau aku cantik, aku percaya diri banget. Aku belum Pernah suka duluan sama orang, ya kayak kita, aku jatuh hatinya waktu sudah pacaran,” jawab Neina bangga.
Victor mengacak poni Neina dengan gemas, “Orang kek Nahar gak bakal related sama cara simple kita, Neina,”
“Semuanya enakkan dibawa simple kan,” bela Neina.
Victor beranjak dari bangku, “Yuk, masuk, dah mulai filmnya wkwkw,” kekeh Victor.
Neina berdiri langsung Victor merangkul bahu Neina. Mereka berjalan menuju ruangan. Setelah mereka duduk, Victor yang memandang tatapan kosong Neina pun tergerak.
Victor mengirim pesan kepada Nahar, ‘Sayangku, minta maaf sama nona muda sekarang ya,’
Tak lama kemudian ponsel Neina berbunyi, ia melihat nama Nahar. Neina membukanya.
“Nona muda, maapin Na’er ya, walaupun Na’er gak salah banget. Jan marah ya, aku atut,’ pesan Nahar membuat Neina tersenyum. Tautan di kening Neina menghilang.
Neina mengirim stiker emosi barbar-an. Sedangkan Nahar membalas, ‘Hisk, sedih,’
Neina terkekeh geli dengan tingkah Nahar. Imut, kocak, lucu, menurut Neina sosok Nahar. Akhirnya mood Neina kembali normal hanya dengan sesimple itu. Victor yang sempat melirik Neina terkekeh, ikut lega melihat dua orang yang dia sayangi telah akur dengan cepat.
*
Sementara itu Nahar sibuk mencari jaketnya. Malam ini ia berencana pergi nongkrong dengan teman sekolahnya yang sesame jomblo.
Ia sudah membongkar lemarinya. Mengulik seluruh sudut di kamarnya namun jaket yang harus ia pakai tidak ketemu.
Nahar mengacak rambutnya dengan kasar karena frustasi. Ia menghela napas, pilihan selanjutnya bertanya kepada cenayang rumah, ibu.
“Buk, jaket ku mana?” tanya Nahar yang masih mencari di rak lemarinya.
“Jaket yang mana?” tanya si ibu yang sedang duduk di sofa sambil mainan ponsel, tanpa menonton sinetron di TV.
“Jaket item putih kesukaanku itu lho, kemarin ibu masukin ke mana habis ibu cuci?” Nahar duduk di tepi ranjang memandangi lemarinya dengan putus asa.
“Ya, ibu masukin ke lemari lha,” sahut ibu jengkel.
“Mana gak ada, aku udah keluarin semua baju yang ada di lemari, gak ada,” suara Nahar mulai meninggi.
Sang ibu beranjak dari sofa, “Ck, hahhh, awas aja kalo ibu nemu jaket kamu,” ia masuk ke kamar Nahar.
“Silahkan, coba mana,” tantang Nahar yang percaya diri.