Flashback
Bayu dan Kevin duduk di selasar mereka hampir tepar diterik panas matahari. Jarak satu meter ada Rian yang merenggangkan kakinya. Ia juga memilih berteduh daripada pingsan.
Masa orientasi hari ini permainan olahraga yang dimulai apel pagi dengn baju olahraga. Setelah itu bermain sesuai cabang yang dipilih.
Rian yang belum sarapan tau diri. Tanpa menunggu pingsan, Rian menjadi relawan yang berteduh, mukanya pun tanpa dibuat-buat sudah pucat. Disusul Kevin yang memapah Bayu ke selasar.
“Panas banget gila,” dumel pelan Kevin.
Bayu mengipas lehernya dengan topi. Tiba-tiba PMR, kakak kelas, datang memberi mereka minuman dan roti selai.
“Pusing banget perutku,” ujar Bayu.
“Kepala, kepala,” sahut Kevin.
“Iya, itu, kepala maksudku,” timpal Bayu.
Rian yang mendengarnya pun tak bisa tinggal diam, “Aku mintain obat ke senior,” suara lemah Rian yang cemas tapi dari wajahnya tidak terlihat.
“Gak usah, ngerepotin nanti,” ujar Bayu.
“Makin ngerepotin kalo sakit gak sembuh,” balas Rian.
Rian mengangkat tangannya kepada senior PMR sembari memanggil, “kak, kak, tolong,” panggil Rian.
Si senior berjalan menghampiri Rian, “Ya, dek kenapa?” tanya si senior.
“Temenku kepalanya pusing kak, ada obat pusing kepala buat dia nggak, kak?” Rian menunjuk Bayu.
Si senior itu terkekeh geli melihat seorang cowok besar seperti Bayu sakit pusing dan minta obat. Rian kebingungan kenapa hal seperti ini lucu. Bayu pun terlihat malu karena ditertawakan, merasa manusia paling lemah.
“Ealah, kirain apaan, wkwkwkw,” kekeh si senior.
“Gak kak, aku gapapa,” ujar Bayu yang terlihat malu banget.
“Lha iya, badan gede segitu masa kalah sama pusing, palingan laper belum makan,” celetuk si senior.
Rian melirik Bayu yang kurang nyaman. Tatapan Rian beralih ke seniornya yang memandang lucu Bayu. Rian merasa kasian dengan Bayu yang menjadi laki-laki, yang tidak bisa mengeluh sakit, sekali kesakitan langsung mendapat hujatan.
“Sakit kepala gak mandang jenis kelamin kak, semua orang bisa sakit. Boleh dapet obat kan kak?” ujar Rian menatap sedih seniornya.
Si senior pun jadi merasa tidak enak. Ia melihat seksama gelagat Bayu yang malu karena ketawanya.
“Boleh, sebentar aku bawain,” ujar senior agak menyesal.
“Teh anget juga kak biar gak kaget perut dia,” ujar Rian. Seperti menyuruh tapi setelah ia lihat Rian yang memakai tampang melas dan kasian, si senior pun mengabulkan permintaan Rian.
“Oke,” ujarnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Serasa jadi pembatu yang disuruh-suruh tapi emang salah satu tugas PMR melayani siswa yang sakit. Hanya saja, Rian ini sedang memberinya pelajaran tipis-tipis.
“Teh angetnya 3 kak,” celetuk Kevin. Si senior membalikan badan lalu menatap Kevin yang menyengir menyebalkan.
“Aku bantu kak,” Rian beranjak menatap tulus senior.
“Gak usah, gak usah, duduk aja ntar pingsan buat jalan,” ujar senior.
“Makasih kak,” ucap Rian.
Si senior mengancungkan jempol lalu pergi mengambil obat dan membuat teh hangat.
Rian menatap lapangan sedangkan Bayu menatap Rian. Rian menolehkan wajahnya ke arah bayu, ia dapat merasakan intensitas dari Bayu.
Rian melihat ke belakangnya lalu menengok kanan kiri. Kembali menatap Bayu sambil menunjuk dirinya sendiri.
“Kamu lihat aku?”
“Iya, kamu manusia kan bisa dilihat,” celetuk Bayu.
“Kenapa?” tanya Rian polos.
“Gak kenapa-napa,” Bayu geleng-geleng.
Bayu julurin tangannya, “Bayu,”
Rian tersenyum sumringah. Matanya berbinar-binar, ia sangat senang ada orang yang mengajaknya berkenalan duluan. Bayu yang merasakan tatapan Rian, melihat senyuman Rian, jantungnya serasa ditendang kuda liar.
Saat jemari Rian menjabat tangannya. Waktu berjalan melambat, rasanya manis dan penuh warna pink-ungu. Tangan Rian lemah mengenggam tangan Bayu, ringan, kecil, dingin.
Seperti melihat tokoh komik Jepang yang keluar dari buku.