PENCURI WAKTU

Kangguru
Chapter #1

Kenangan di atas awan

Udara di Puncak Gunung Gede mengukir jejak dingin yang tajam di kulit, menusuk hingga ke tulang, tapi kehangatan dalam diri Rian lebih kuat dari suhu di bawah nol sekalipun. Malam itu, ribuan bintang menaburi langit bak permata yang ditaburkan di permadani beludru hitam pekat, dan di antara mereka, bulan sabit tipis menyungging senyum, seolah ikut merestui. Rian mengecek suhu di handphone-nya: minus satu derajat Celcius. Layar ponselnya menunjukkan indikator baterai penuh, dan sinyal jaringan seluler masih terpampang jelas, meskipun barnya hanya dua saja. Dia tersenyum tipis, merasa sedikit lega. Aroma pinus yang kuat, bercampur dengan bau tanah lembap yang khas pegunungan, mengisi paru-parunya.

Di sampingnya, Maya terkikik geli, napasnya mengepul putih di udara dingin. Mata gadis itu berbinar menangkap keindahan panorama malam, memantulkan cahaya bintang. Rambutnya yang sedikit berantakan karena sleeping bag terlihat begitu alami di bawah sinar rembulan. Dito, pacar Maya, yang sedang sibuk memotret milky way dengan kamera DSLR-nya, sesekali melirik Maya dengan senyum kecil, seolah turut senang melihat kegembiraan kekasihnya.

"Gila, dinginnya nusuk tulang, Yan!" keluh Maya, menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang mulai memerah. Dito yang mendengar itu, langsung menarik tangan Maya, menggosok-gosoknya di antara kedua telapak tangannya. "Gue mulai kangen selimut tebal sama cokelat panas bikinan Nyokap yang manisnya pas. Pasti Nyokap udah nyiapin sepanci besar di rumah!"

Rian tertawa renyah, suaranya sedikit serak karena udara kering. "Beginilah enaknya, May. Nikmati aja. Kapan lagi kita bisa lihat langit sejelas ini tanpa polusi Jakarta yang bikin mata pedih?" Dia membetulkan posisi jaket tebalnya, menarik ritsleting hingga menutupi leher. Pikirannya sejenak melayang pada Aisha, tunangannya. Aisha, yang sudah menemani Rian sejak mereka SMP, adalah dunianya. Mereka telah melewati suka duka bersama, dan impian untuk membangun keluarga kecil sudah menjadi cetak biru di hati Rian. Malam ini, dia tahu, Aisha pasti sedang pulas di kasurnya yang empuk di Jakarta, masih dalam masa pemulihan dari tipes yang tiba-tiba menyerang seminggu sebelum pendakian.

Awalnya, Aisha juga seharusnya ikut dalam pendakian ini. Dia, Maya, dan Sita sudah merencanakan petualangan ini berbulan-bulan lamanya. Mereka bertiga memang sahabat baik, sering menghabiskan waktu bersama, jadi ide untuk mendaki gunung Gede bersama adalah impian lama mereka. Sedangkan Dito, adalah yang paling antusias dengan gagasan Rian melamar Aisha di puncak Gunung Gede, di bawah taburan bintang, sebagai momen tak terlupakan. Tapi takdir berkata lain. Aisha sakit. Rian pun terpaksa harus mengubah rencananya. Dia melamar Aisha melalui sambungan telepon yang putus-putus, dengan suara yang bergetar penuh harap. Gadis itu menjawab "Iya" tanpa ragu, dengan suara yang juga bergetar, penuh kebahagiaan. Sebuah janji yang kini terasa mengikatnya erat, janji tentang rumah, tentang anak-anak, tentang masa depan yang akan mereka bangun bersama. Impian tentang cincin kawin yang akan melingkar di jari manis Aisha, dan tawa anak-anak yang akan memenuhi rumah kecil mereka, terasa begitu nyata, begitu dekat.

"Lo ngelamunin tunangan lo, ya?" goda Dito, suaranya tiba-tiba muncul dari balik punggung Rian, membuat Rian sedikit terlonjak. Sesekali terdengar gerutuan pelan dari bibirnya, mengeluh tentang setting kamera yang tidak pas, cahaya bulan yang terlalu terang, atau awan tipis yang mengganggu komposisi. "Lihatlah senyumnya, May! Udah kayak orang mau nikah besok pagi aja!"

Maya tergelak. "Dasar bucin! Tapi baguslah, Yan. Lo kan yang paling lama ngejomblo di antara kita."

"Paling lama menyimpan rasa,"

"Menyimpan rasa yang tak pasti karena bermental tape." Gelak tawa pecah.

Rian hanya tersenyum tipis, tak memedulikan godaan mereka. "Makanya, To, buruan nikahin Maya biar tahu rasanya," balas Rian, melemparkan kerikil kecil ke arah Dito yang langsung menghindar. "Jangan cuma ngurusin kamera doang!"

Lihat selengkapnya