PENCURI WAKTU

Kangguru
Chapter #2

Rute yang berubah

Pukul sebelas siang, dengan perut kenyang dan hati gembira yang baru saja terisi penuh oleh pemandangan puncak yang memukau, Rian dan teman-temannya memutuskan untuk memulai perjalanan turun dari Puncak Gunung Gede. Cahaya matahari yang cerah menyelimuti puncak, membuatnya tampak seperti permadani hijau zamrud yang berpadu sempurna dengan birunya langit di atas. "Selamat tinggal Gunung Gede! Kita pasti bakal balik lagi suatu hari nanti!" seru Sita, melambaikan tangan ke arah puncak, semangatnya masih membara seolah puncak itu adalah sahabat lama yang enggan ia tinggalkan. Suaranya bergema samar, terbawa angin yang mulai sedikit berembus.

"Hati-hati langkahnya, jangan sampai ada yang ketinggalan! Inget, pulang masih jauh dan medan di bawah lebih licin!" seru Dito, yang memimpin di depan. Sebagai yang paling berpengalaman di antara mereka, Dito selalu memeriksa jalur dengan seksama, matanya awas mengamati setiap batu dan akar. Dia sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan Maya dan Sita tidak kesusahan, sesekali memberi isyarat tangan agar mereka lebih berhati-hati. Maya, yang berjalan persis di belakang Dito, sesekali meraih tangan pacarnya itu setiap kali menemukan pijakan yang agak sulit, berbagi senyum kecil yang penuh kasih sayang. Kehangatan dari genggaman tangan Dito seolah menjadi penyemangat tersendiri baginya.

Rian berjalan di tengah, kakinya terasa ringan meskipun ia tahu sisa perjalanan masih panjang. Pikirannya masih melayang pada rencana pulang, membayangkan nikmatnya menyantap makanan enak di rumah, dan yang terpenting, segera menemui Aisha. Senyum tipis terukir di bibirnya membayangkan pertemuan mereka. Perjalanan ini terasa seperti penantian panjang menuju kebahagiaan sejati. Di benaknya, ia sudah menyusun rencana sederhana. Langsung membeli bunga favorit Aisha, lalu bergegas ke rumahnya. Ia ingin memeluk tunangannya erat, mencium keningnya, dan menceritakan setiap detail petualangan di puncak, dari bintang-bintang hingga matahari terbit yang spektakuler.

Jalur menurun terasa lebih menantang daripada saat naik, dengan medan yang mulai menunjukkan keramahannya yang semu. Tanahnya licin akibat embun pagi yang belum sepenuhnya menguap, dan beberapa bagian cukup curam sehingga mereka harus berpegangan pada akar-akar pohon yang menonjol. Pepohonan pinus menjulang tinggi di kedua sisi jalur, akarnya mencengkeram tanah dengan kuat, membentuk pijakan alami sekaligus jebakan yang harus diwaspadai jika salah langkah. Suara-suara alam mulai kembali hidup seiring dengan matahari yang semakin tinggi, burung-burung berkicau riang, dan desir angin di antara dedaunan menciptakan melodi hutan yang menenangkan.

Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Sekitar satu jam perjalanan turun, kabut mulai turun perlahan dari puncak, menyelimuti pepohonan pinus dan bebatuan besar yang diselimuti lumut tebal. Pemandangan yang tadinya cerah kini berubah menjadi melankolis namun tetap indah, menciptakan ilusi negeri dongeng yang diselimuti misteri. Mereka bercanda, melemparkan guyonan receh khas pendaki yang mulai kehabisan energi, mencoba menepis rasa lelah yang menusuk dan juga sedikit rasa dingin yang mulai menyelimuti.

Saat melintasi sebuah area yang dikenal sebagai Simpang Gumuruh, di antara pepohonan yang rimbun dan bebatuan besar yang diselimuti lumut tebal, Rian merasakan sesuatu yang aneh. Bukan dingin yang biasa ia rasakan, bukan pula lelah yang menusuk otot. Tapi semacam getaran halus di udara, seperti dengungan frekuensi rendah yang tak bisa didengar telinga manusia biasa, namun terasa kuat dan langsung menusuk ke rongga dadanya. Sensasi itu membuat bulu kuduknya meremang dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rasanya seperti tanah di bawah mereka beresonansi, seperti ada gema dari sebuah gempa yang samar, sebuah getaran bawah tanah yang tidak terlihat namun bisa ia rasakan dengan sangat jelas. Namun anehnya, tidak ada suara guncangan atau retakan tanah yang biasanya menyertai gempa. Semua teman-temannya tampak tidak merasakannya, mereka terus melangkah dan bercanda.

Rian berhenti melangkah, matanya menyapu sekeliling. Pepohonan di sekitar mereka tampak... terlalu hijau. Warnanya begitu pekat, begitu hidup, seolah-olah tumbuh dengan kecepatan yang tak wajar, atau baru saja disirami hujan lebat selama berhari-hari. Bahkan suara serangga dan burung terasa sedikit berbeda, lebih sunyi dari seharusnya, namun anehnya lebih jelas, seperti audio track yang diputar di dalam kepala Rian yang hanya dia saja yang bisa mendengarnya. Ia bisa mendengar gesekan kecil di antara dedaunan, derik jangkrik yang jauh, bahkan suara aliran air yang sangat pelan dari sungai di kejauhan. Setiap detail suara terasa diperbesar, menciptakan sensasi surreal yang tidak nyaman.

"Eh, lo pada denger itu?" bisik Rian, suaranya sedikit tercekat di tenggorokan. Ia mencoba menghentikan langkah teman-temannya.

Dito mengerutkan kening, mengernyitkan dahi. Ia menoleh ke belakang, menatap Rian dengan bingung. "Denger apaan, Yan? Cuma suara angin sama siulan gue doang. Lo kenapa? Muka lo pucat."

Maya mengangguk, menyenderkan tubuhnya pada Dito, mencari kehangatan. "Iya, gue enggak denger apa-apa, Yan. Lo capek banget kali, halu. Udah, yuk, jangan bikin merinding. Ini gunung udah cukup bikin merinding." Ia mencoba tersenyum, tapi kekhawatiran terlihat jelas di matanya.

Rian menggelengkan kepala, tatapan matanya mengarah ke sekeliling, mencoba mencari sumber getaran aneh itu. Tangannya terangkat, mengusap lengannya sendiri yang terasa dingin dan meremang. "Bukan... Bukan suara. Kayak getaran. Atau mungkin... sesuatu yang bergerak sangat cepat?" Sensasi itu tetap ada, seperti bulu kuduk yang berdiri tegak meski tak ada angin. Rasanya seperti ada tekanan tak kasat mata di udara, membuatnya sedikit pening, seolah otaknya ditekan dari dalam. Aroma pinus dan tanah lembap yang tadinya menenangkan kini terasa terlalu kuat, menyesakkan.

"Perasaan lu doang kali Yan!" timpal Sita, mencoba terdengar santai meskipun ada sedikit kecemasan dalam nada suaranya. "Udah, yuk, kita lanjut! Jangan sampai kemalaman di sini."

Rian berdiri tak bergeming

Lihat selengkapnya