PENCURI WAKTU

Kangguru
Chapter #3

Malam di atas patahan

Perasaan terisolasi mulai merayapi, sebuah rasa takut yang dingin membelenggu mereka. Mereka terperangkap. Kabut tebal itu menelan mereka, menyembunyikan mereka dari dunia yang mereka kenal. Setelah berjam-jam berjalan dalam lingkaran yang terasa tak berujung, diselimuti kabut yang semakin pekat, langit di atas mereka perlahan meredup. Bukan gelapnya malam yang normal, melainkan semacam kegelapan yang datang terlalu cepat, atau justru matahari yang terpatri di langit itu akhirnya menyerah pada anomali. Cahaya abu-abu yang menyelimuti hutan sejak sore kini berangsur menjadi hitam pekat, namun tanpa kemunculan bintang atau bulan yang menenangkan seperti malam sebelumnya di puncak. Udara terasa lebih berat, seolah oksigen menipis, menekan paru-paru mereka dengan setiap tarikan napas.

"Gila, ini udah jam berapa sih?" Dito menggerutu, suaranya terdengar serak dan dipenuhi keputusasaan. Ia mencoba melihat jam tangannya lagi. Angka-angkanya masih berkedip kacau, melompat-lompat tak beraturan. "Perasaan gue, kita udah jalan seharian penuh. Udah capek banget. Kok bisa gelap lagi?! Harusnya kita udah di bawah, udah sampai basecamp!"

Sita memeluk dirinya sendiri, giginya bergemeletuk bukan hanya karena dingin yang menusuk, tapi juga ketakutan yang membekukan. Matanya melirik ke sekeliling, mencoba menembus tirai kabut pekat yang mengelilingi mereka, seolah mencari sesuatu yang bisa memberinya petunjuk. "Kayak... kayak waktu di sini beda, To. Kayak muter-muter. Kita harus gimana? Jalan terus pun percuma kalau nyasar kayak gini." Suaranya hampir pecah.

Rian memandang sekeliling, hatinya mencelos melihat kegelapan yang merayap. Hutan yang tadi siang tampak familiar, kini terasa mengancam, setiap bayangan pohon yang menjulang tinggi bergerak-gerak di sudut mata, seolah mengawasi mereka. "Kita nggak bisa maksain diri jalan dalam gelap dan kabut setebal ini. Medan udah licin banget, bahaya. Kita harus bermalam lagi." Ia mencoba terdengar tenang, namun getaran dalam suaranya tak bisa ia sembunyikan. Kepalanya masih berdenging, dan sensasi tekanan tak kasat mata itu tak kunjung hilang.

Maya, yang biasanya paling ceria dan penuh semangat, kini hanya mengangguk lemas. Rasa takut sudah menguras habis energinya, menyisakan kekosongan yang memilukan. Tangannya gemetar saat mencoba mencari senter di ranselnya. Dengan sisa tenaga, mereka mencari lahan datar sekecil mungkin di antara pepohonan yang terlihat semakin aneh, seolah usianya bertambah ratusan tahun hanya dalam hitungan jam. Akar-akar pohon yang menonjol keluar dari tanah tampak lebih besar dan menyeramkan. Lumut yang menempel di batangnya lebih tebal, seperti kulit kuno yang menyimpan rahasia.

Mereka mendirikan tenda dengan tergesa-gesa, diiringi keheningan mencekam. Tidak ada lagi candaan, tidak ada lagi tawa. Hanya suara napas berat, gesekan kain tenda yang terbentang, dan suara hati mereka yang berdebar kencang yang memecah kesunyian hutan. Setiap tiupan angin membawa dingin yang lebih dalam, dan kabut seolah merangkul mereka, menyelimuti dengan erat. Dito, dengan segala keahliannya sebagai pendaki, berusaha membangun tenda secepat mungkin, tangannya cekatan meski raut wajahnya tegang. Sita membantu dengan gerakan kaku, matanya terus melirik ke balik bahunya. Maya hanya bisa memegang senter, sorotnya yang goyah menari-nari di antara pepohonan.

Begitu mereka semua masuk ke dalam tenda, meringkuk di dalam sleeping bag masing-masing, mencoba mencari kehangatan, sensasi getaran yang Rian rasakan di Simpang Gumuruh kembali. Kali ini, tidak hanya samar, melainkan terasa lebih nyata. Lantai tanah di bawah mereka bergetar pelan, kemudian menguat. Guncangan ringan, seperti gempa bumi dengan skala kecil, datang secara berkala, kemudian berhenti sejenak, hanya untuk datang lagi beberapa menit kemudian dengan kekuatan yang bervariasi. Setiap getaran itu membuat mereka menahan napas, menunggu apakah akan berubah menjadi guncangan yang lebih besar yang bisa merobohkan pohon atau memicu longsor.

Lihat selengkapnya