Lelah, bingung, dan masih diliputi ketakutan, Rian dan teman-temannya melangkah keluar dari kabut tebal yang menyelimuti mereka semalaman. Perasaan terisolasi yang dingin masih membelenggu, namun secercah harapan mulai merayapi saat intensitas gempa samar yang menghantui mereka perlahan mereda. Cahaya fajar yang abu-abu mulai sedikit lebih jelas, meski masih terasa asing, seolah matahari di atas sana hanya enggan muncul sepenuhnya. Mereka tidak tahu sudah berapa lama mereka terperangkap dalam labirin waktu itu. Jam tangan digital Sita masih berkedip-kedip tak karuan, dan ponsel Rian yang mati-hidup juga kembali pada kondisi mati total.
"Kita nggak bisa diam di sini," kata Rian, memaksa dirinya berdiri, mengabaikan rasa pening yang menusuk dan nyeri di sekujur tubuhnya. "Apa pun ini, kita harus terus bergerak. Cari jalan keluar." Suaranya terdengar serak, hampir seperti bisikan.
Dito mengangguk, membantu Maya yang terlihat sangat lemah untuk berdiri. Wajah Maya pucat pasi, matanya cekung, dipenuhi ketakutan yang mendalam. Sita mencoba membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel di pakaiannya, gerakannya lambat dan kaku, seperti robot yang kehabisan baterai. Dengan langkah gontai, mereka kembali menapaki jalur. Hutan di sekitar mereka masih terasa aneh, lebih tua, lebih sunyi. Setiap pohon seolah memandang mereka dengan tatapan misterius. Getaran samar masih sesekali terasa di tanah, seperti jantung gunung yang berdetak tidak teratur, mengingatkan mereka bahwa anomali ini belum berakhir.
Mereka berjalan dalam keheningan yang tegang, hanya suara napas dan langkah kaki mereka yang memecah kesunyian. Beberapa jam berlalu tanpa tanda-tanda yang familiar, namun kali ini, mereka tidak lagi menemukan diri mereka berputar-putar. Jalur setapak yang mereka ikuti perlahan-lahan mulai terasa lebih masuk akal. Pepohonan pinus masih menjulang tinggi, namun tidak lagi terlihat begitu "aneh" seperti semalam, seolah mereka telah melewati batas distorsi yang paling pekat. Lumut di bebatuan tidak lagi setebal sebelumnya, dan mereka mulai mengenali beberapa lekukan jalur yang lebih khas.
Setelah sekitar satu jam perjalanan menurun, mereka menemukan sebuah papan penunjuk arah usang. Tulisan "Cigeber" terukir samar di atasnya, lengkap dengan sebuah panah yang menunjuk ke bawah.
"Ini Cigeber," kata Dito, suaranya sedikit lebih hidup. "Berarti kita di jalur yang benar. Tinggal Pos 1 Simpang Air Terjun." Sebuah senyum tipis merekah di bibirnya, senyum pertama yang Rian lihat sejak mereka terjebak.
Kelegaan kecil itu menyuntikkan sedikit energi baru. Mereka melanjutkan perjalanan. Kabut mulai menipis drastis, berganti dengan cahaya matahari yang terasa lebih hangat dan nyata. Suara-suara alam kembali ke normal; kicauan burung terdengar nyaring dan jelas, suara serangga lebih alami, tidak lagi diperbesar atau terdistorsi seperti malam sebelumnya. Getaran samar yang terus-menerus menemani mereka kini mulai menghilang sepenuhnya, digantikan oleh rasa tenang yang aneh. Seolah-olah mereka telah keluar dari sebuah gelembung anomali, kembali ke dunia yang lebih logis.
Semakin jauh mereka turun, semakin familiar lingkungan di sekitar mereka. Jalur setapak semakin lebar, dan mereka mulai melewati area dengan pohon-pohon besar yang rindang, serta bebatuan yang sudah sangat familiar. Beberapa penanda jalan yang terbuat dari tali dan kain yang mereka ingat pernah mereka lihat saat mendaki, kini muncul di hadapan mereka.
Beberapa jam kemudian, dengan kaki yang pegal dan tubuh yang kelelahan ekstrem, mereka akhirnya sampai di Pos 1 Simpang Air Terjun. Papan nama pos terlihat jelas, dan suara gemuruh air terjun kecil di dekatnya terdengar merdu di telinga mereka. Mereka berhenti sejenak, wajah mereka dipenuhi keringat dan kotoran, namun ada senyum tipis yang mulai merekah. Mereka berhasil. Mereka akhirnya akan keluar dari gunung ini.
"Akhirnya!" Sita berseru, ia langsung menjatuhkan ranselnya dan duduk di tanah, tidak peduli dengan kotoran. "Aku nggak pernah sebahagia ini lihat pos pendakian! Aku kira kita bakal selamanya di atas sana!"
"Sebentar lagi kita sampai basecamp," kata Dito, matanya berbinar. "Nggak sabar rasanya makan Indomie kuah anget! Atau nasi goreng!"
Rian memejamkan mata, membiarkan kelegaan membanjiri dirinya. Sebentar lagi, ia akan bisa menemui Aisha. Semua mimpi buruk ini akan berakhir.
Perjalanan dari Pos 1 ke pintu masuk Selabintana terasa seperti yang paling panjang. Setiap langkah terasa semakin berat, namun semangat untuk mencapai titik akhir mendorong mereka. Pemandangan di sekitar mereka kini benar-benar familiar. Pohon-pohon besar, jalan setapak yang lebih lebar, dan bahkan beberapa penanda jalan yang terbuat dari tali dan kain yang mereka ingat.
Akhirnya, setelah berjalan beberapa jam lagi, mereka melihatnya. Sebuah gerbang kayu besar yang menandai pintu masuk Selabintana. Di belakang gerbang itu, terhampar jalan aspal dan bangunan-bangunan basecamp yang sudah mereka kenal. Mereka berempat mempercepat langkah, jantung mereka berdegup kencang karena antisipasi.