Kengerian yang memuncak di depan gerbang Selabintana dan pengakuan petugas tentang "10 tahun" telah menguras habis sisa tenaga Rian. Ia merasakan dunia berputar, kehilangan gravitasi, seolah ia melayang di antara dua realitas. Kata "sepuluh tahun" bergaung di benaknya, sebuah angka yang mustahil, namun kenyataannya terpampang jelas di berita daring yang ditunjukkan petugas Balai Taman Nasional. Mereka tidak hanya tersesat di gunung, mereka telah kehilangan sepuluh tahun kehidupan. Dunia telah bergerak maju tanpa mereka, dan kini mereka kembali ke sebuah realita yang sama sekali asing.
Di rumah sakit, setelah menjalani pemeriksaan dan interogasi yang melelahkan, pintu kamar Rian akhirnya terbuka. Kali ini, bukan perawat dengan masker putih atau agen berjas yang muncul, melainkan seorang dokter muda dengan senyum samar dan tatapan yang mengandung simpati. "Kalian akan bertemu keluarga kalian," ucapnya pelan. Jantung Rian berdegup kencang. Keluarga. Kata itu terasa begitu asing, begitu jauh, namun juga begitu dirindukan. Sebuah janji yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan.
Ia dibawa menuruni koridor yang sepi, lantai pualam dingin yang memantulkan bayangan. Langkah kakinya terasa berat, seolah membawa beban sepuluh tahun yang tak ia rasakan. Tiba di sebuah ruangan yang lebih besar, Rian melihat Dito, Maya, dan Sita sudah menunggu, duduk di sofa beludru berwarna gelap. Wajah mereka tegang, terpahat oleh kelelahan dan ketidakpastian. Ada kelelahan mendalam di mata Dito yang biasanya berbinar, Maya memeluk dirinya sendiri seolah mencari kehangatan yang hilang, dan Sita tampak seperti patung lilin, tatapannya kosong, tak menanggapi kehadiran siapapun. Mereka saling melirik, berbagi kegelisahan tanpa kata, namun tak ada ucapan yang keluar dari bibir yang pucat. Ruangan itu terasa dingin, seolah dipenuhi hawa dingin dari ketidakpastian yang menggantung pekat.
Kemudian, pintu di ujung ruangan, yang tadinya tertutup rapat, terbuka perlahan, mengeluarkan suara derit halus yang memecah kesunyian. Sosok-sosok familiar namun asing muncul satu per satu, bayangan yang perlahan mengambil bentuk nyata.
Ayah dan Ibu Rian masuk lebih dulu. Rian menatap mereka, dan seolah waktu tiba-tiba berputar lebih cepat di hadapannya, ia melihat mereka... menua. Lebih tua, jauh lebih tua dari yang Rian ingat. Rambut Ayah yang dulu hitam pekat kini diselingi uban di pelipisnya, dan ada lebih banyak garis kerutan yang dalam di wajah Ibu, mengukir kisah sepuluh tahun yang tak Rian lalui. Langkah mereka terasa lebih lambat, lebih hati-hati, seperti orang yang membawa beban berat. Mata mereka memerah, bengkak, penuh air mata yang telah tertahan selama bertahun-tahun, kini akhirnya pecah dalam isak tangis tertahan. Begitu melihat Rian, mereka bergegas menghampiri, dengan kecepatan yang tak lagi segesit dulu. Ibu memeluknya erat, mencium aroma familiar Ibu, merasakan kehangatan yang sudah lama hilang, kehangatan yang seolah bisa menghapus semua rasa takutnya. Ayah menepuk punggungnya dengan tangan bergetar, "Anakku... anakku..." Isak tangis mereka menjadi melodi pilu yang memenuhi ruangan. Rian membalas pelukan mereka, mencium rambut Ibu yang kini lebih tipis. Namun, di balik kelegaan yang membanjiri dirinya, ada rasa takut yang menusuk tajam. Mereka telah menua, sementara Rian tidak. Sebuah kenyataan mengerikan itu menghantamnya seperti gelombang es yang membeku, menyadarkannya pada jurang waktu yang menganga lebar.