Segera ku rangkul mereka sambil menahan tangis, "Rio, Rima kasihan..., Kalian sudah mengabarkan ke rumah? Kenapa..."
"Tenang saja, Rima pasti baik-baik saja." Rio meyakinkan ku dan semuanya seketika beradu pandang.
Kami sempat berunding beberapa waktu yang lalu, Rio akhirnya memutuskan untuk menemaniku mendaki kembali ke atas. Malik dan yang lain akan tetap di desa menunggu keadaan Rima hingga membaik.
Kami meminta izin kepada Tok Karni dan yang lain agar Rio ikut mendaki bersama ku malam ini. Tok Karni kembali memberi kami nasihat dan beberapa hal yang tidak boleh kami lakukan. Sekali lagi aku mengangguk. Lalu dengan menarik nafas dalam, aku dan Rio berangkat.
Seekor burung berkoak-koak entah di mana, tetapi suara itu jelas mengikuti setiap langkah kami. Satu-satunya penerangan kami hanya cahaya senter yang aku arahkan ketanah dan headlamp yang di pakai Rio. Aku sengaja memfokuskan pandangan ke arah langkah kakiku, sedangkan Rio mengikuti dari belakang dengan menggunakan headlamp sambil mengimbangi tiap langkahku. Semakin jauh kami berjalan, bayangan horror malam itu kian menjadi nyata. Tetapi setiap kali bayangan itu muncul segera kutepis jauh-jauh walau terkadang sia-sia.
Aku berhenti di batas perkebunan karet milik warga. Di depanku sekarang membentang hutan karet yang lumayan luas. Aura mistis menjalar dari semua tempat. Dengan mengucap bismillah, aku dan Rio melangkah kembali dengan perlahan. Dalam pendakian kami kali ini tidak banyak suara yang terucap, itu salah satu pesan Tok Karni sebelum kami berangkat.