Aku menelan ludah membayangkan sosok itu. Rio masih santai sambil tersenyum geli melihat tingkahku yang semakin menjadi.
"Ini serius apa candaan, Bang?" Aku memberanikan diri bertanya pada Bang Jo yang membalasku dengan tatapan mematikan.
"Kalau dia muncul. Kita harus pura-pura nggak liat. Bila perlu nyalakan api sebesar-besarnya. Apa pun yang dia lakukan, walau wajahnya sudah menempel di wajah kita. Kita harus pura-pura nggak liat. Kalo nggak.... "
"Kalo nggak gimana bang...?" Aku dengan cepat memotong ucapan Bang Jo yang masih menggantung.
"Kalau dia sampai tahu kita melihatnya, mungkin kita akan dicabik-cabik tanpa sisa. Ah, kamu bisa pikirkan sendiri maksud dari ucapan aku barusan."
"I-iya, Bang." badanku mulai gemetar kencang. Aku bisa melihat senyum semringah dari wajah Rio yang kini tepat menempel di pundakku. Kami sudah hampir sampai di pos kedua.
"Ya...berdoa aja makhluk itu nggak muncul. Susah nolong orang yang udah ditarik Sindai. Kalau bisa jangan menyebut namanya lagi, nanti bisa benar-benar datang. Kamu juga harus waspada suasana yang sunyi damai, atau mencium bau khas kedatangannya. Kalau bau itu muncul, dijamin kedatangannya di sini."
"Bau apa, Bang? " tanya ku lagi pada Bang Jo sambil menahan takut dan gemetar seluruh tubuh.
"Bau...bau wangi Bakung atau Pandan Kampung."