Bang Jo menarikku dengan kasar, beberapa langkah kami keluar dari jalur. Menganga di depan kami adalah sebuah jurang. Kami sekarang berdiri tepat di bibirnya. Angin dingin menabrak wajahku. Dalam kegelapan malam, jurang ini terlihat lebih mengerikan.
Lalu kudengar suara tangisan, juga teriakan-teriakan orang yang meminta tolong dari dasar jurang itu. Hembusan angin mengacaukan sumber suaranya, kadang terdengar jauh, kadang terdengar sangat dekat.
"Itu teriakan minta tolong dari pendaki-pendaki yang hilang dan nggak pernah ditemuin lagi." kata Bang Jo dengan santai.
"Mereka salah apa bang?" tanyaku penasaran.
"Di bukit ini kamu ngga perlu salah apa-apa, cukup bengong aja kamu bisa hilang. Jangan salah bro, setan ngga cuma bisa nyulik badan kamu, mereka juga bisa nyulik jiwa kamu." jelas Bang Jo sambil menunjuk kearahku yang terus mendongak kearahnya.
"Makanya kalo abang ngomong dengerin!" bentaknya padaku.
Bang Jo lalu jalan berbalik sambil kembali menarikku.
"Bang, itu tolongin dulu mereka bang." Pintaku pada Bang Jo yang terus berjalan tanpa memperdulikan perkataanku.
"Bang...Bang..." Bang Jo tetap berjalan kembali ke jalur tanpa menoleh padaku.
"Bukan urusan abang." jawabBang Jo dengan ketus.
Sambil berjalan terseret karena tarikannya, aku terus menerus menoleh ke belakang. Aku iba dengan pendaki-pendaki yang hilang itu.Dalam keadaanku sekarang, aku benar-benar memahami apa yang sedang mereka rasakan. Berat rasa kaki ini untuk aku lanjut mendaki. Namun, sosok Rima kembali menghantui dalam benakku.