Membentang di depanku bukan lagi tanjakan terjal melainkan tangga batu. Kabut tipis melayang di puncak anak tangga. Sumber cahaya hanya berasal dari api obor di kanan kiriku. Suara gesekan bambu yang melengking dan suara dambus tadi terdengar jelas sekarang, sumbernya ada diujung tangga ini. Tapi aku tak bisa melihat apapun, selain tangga batu ini, sekitarku hanyalah kabut kelabu.
Aku panik saat menyadari aku berdiri di sini seorang diri. Bang Jo sudah tidak ada disampingku dan di mana pun. Tubuhku langsung bersimbah keringat dingin. Aku terjatuh di atas lututku, kakiku yang gemetar terlalu lemah untuk bisa berdiri.
Dan bau bunga kantil itu datang lagi.
Dengan kedua tangan aku menyeret tubuhku kesamping, kakiku sudah benar-benar lemas. Tujuanku secepatnya bersembunyi dibalik tirai kabut sebelum pemilik wangi bunga kantil itu muncul.
Ternyata tertutup dalam kabut adalah hutan. Tubuhku beringsut dibalik pohon terdekat. Napasku kembang kempis tak beraturan. Keringat bercucuran dari dahiku sebesar biji jagung bisa aku rasakan dengan begitu jelas.
Wangi bunga kantil itu semakin pekat. Bulu kudukku meremang saat kuberanikan diri mengintip ke arah tangga batu itu. Sesuatu melayang dari tangga terbawah , berhenti sebentar di titik dimana tadi aku berdiri, lalu melayang keatas anak tangga dan hilang dibalik kabut. Itu adalah sosok nenek tua kerdil. auranya sedemikian mengerikan, hingga aku langsung menggigil hebat. Dia mengenakan pakaian serba putih. Rambutnya luar biasa panjang. Bahkan saat tubuhnya hilang dibalik kabut, rambutnya masih terlihat bergerak selama beberapa saat. Tak lama kemudian datang lagi seorang kakek kecil mengikuti dari belakang. Yang makin tampak aneh adalah pada kedua telapak kakinya. Manusia normal telapak kaki akan mengarah kedepan, sedangkan kakek dan nenek tua kerdil ini malah sebaliknya.