Seiring ketenangan yang muncul, kakiku kini kembali mampu bergerak walau masih sangat lemah. Perlahan kucoba untuk berdiri. Rupanya itu hanya ketenangan palsu. Kembali aku terjatuh, kakiku terlalu lemah untuk dipaksakan berdiri.
Dengan tangannya yang gemetar, Bang Jo memberikanku aba-aba untuk diam.
Dengan wajah pucatnya, Nek Kerdil dan Atok Kerdil berdiri di sana, hanya terpisahkan oleh jalur dengan kami. Mereka diam mematung. Di atasnya, di dahan-dahan pohon penghasil berbagai macam setan, pocong, kuntilanak-kuntilanak serta para makhluk-makhluk kerdil lainnya bergerak-gerak dengan ganjil.
Ditengah ketegangan yang memuncak, telingaku mendengar sesuatu. Suaranya berasal dari arah jalur bawah. Mataku membelalak ketika sesuatu itu akhirnya muncul. Itu adalah suara rombongan beberapa pendaki yang naik pada malam hari.
Orang yang terdepan nampak membawa carrier ukuran besar, membuat jalannya sedikit membungkuk. Dibelakangnya mengekor empat orang lainnya, jalannya terseok-seok dan tampak begitu kesusahan. Aku tegang menyaksikan mereka melintas pelan di antara Bang Jo, Nek Kerdil dan Atok Kerdil beserta makhluk-makhluk aneh pengikut mereka. Tapi seperti pendaki sebelumnya, mereka pun nampaknya tidak melihat kami. Semua mata menatap para pendaki itu. Bola mata Nek Kerdil dan Atok Kerdil bergerak mengikuti langkah pendaki terakhir yang tiba-tiba saja berhenti.
Jantungku mencelos mendengar pendaki itu berteriak memanggil empat temannya yang lain, "Woi... setan! Istirahat dulu sebentar dong, cape banget gua ini tau, Anjrit lu pada!"