Rully Prasetya terbangun lebih awal dari biasanya.
Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul lima lebih sedikit, tapi ia sudah duduk di meja makan, secangkir kopi yang tak lagi panas di hadapannya. Suara detik jam terasa lebih keras daripada biasanya, seperti ruangan itu tiba-tiba menjadi gema dari pikirannya yang kosong.
Di luar jendela, kabut tipis masih menggantung di antara pohon mangga tetangga. Langit belum biru, tapi juga belum benar-benar gelap. Pagi yang ragu-ragu, seperti dirinya hari itu.
Di meja, amplop putih dari kantor masih tergeletak di sebelah cangkir. Di sudutnya tertulis; Surat Keputusan Pensiun Dini.
Ia membaca tulisan itu untuk kesekian kalinya, tanpa benar-benar tahu apakah ia bahagia atau kehilangan sesuatu.
Dua puluh lima tahun bekerja sebagai insinyur, dan kini semua berhenti begitu saja tanpa pesta, tanpa tepuk tangan, tanpa satu pun alasan yang cukup kuat kecuali satu, ia lelah menjadi mesin.
Windira masih tertidur di kamar. Biasanya, jam segini perempuan itu sudah menyiapkan sarapan sambil memutar musik dari ponselnya di dapur. Tapi tadi malam, mereka tidak banyak bicara.
Entah kenapa, suasana rumah terasa lebih dingin sejak Rully membawa pulang surat itu. Mungkin karena mereka berdua belum terbiasa punya waktu untuk saling diam bersama.
Rully meneguk sisa kopinya yang sudah dingin, lalu berdiri. Di dinding ruang tamu, tergantung foto pernikahan mereka dua puluh tahun lalu. Ia menatapnya lama-lama wajah muda yang tampak kaku di depan kamera, senyum yang tidak sepenuhnya tulus tapi sopan.
Waktu itu, ia baru pulang dari proyek di Kalimantan, dan pernikahan itu disusun keluarga besar secepat laporan tender.
Mereka tidak pernah bertengkar hebat, tapi juga tidak pernah benar-benar saling memahami. Seperti dua orang yang tahu cara tinggal di rumah yang sama, tapi tak pernah tahu bagaimana caranya tinggal di hati yang sama.
Rully keluar ke teras. Embun masih menempel di kursi rotan. Ia duduk di sana, menatap halaman yang belum dibersihkan. Suara burung terdengar dari kejauhan, bersahutan dengan suara pedagang sayur yang lewat.
Dunia di sekitarnya masih berjalan, hanya ia yang berhenti.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa takut menghadapi hari yang terlalu panjang tanpa agenda, tanpa rapat, tanpa alasan untuk terburu-buru.
“Pagi-pagi sudah melamun?”