Pendar Pelangi Kala Itu

barabercerita
Chapter #3

03. Kembali Pulang

Perjalanan menuju Magelang dimulai tanpa banyak kata.

Rully menyetir dengan tempo konstan, sementara Windira duduk di sebelahnya, memandangi jalan yang berliku dengan mata yang tenang tapi jauh. Radio di mobil memutar lagu lawas, suaranya samar ditelan angin yang masuk dari jendela setengah terbuka.

Di luar, langit berganti warna, dari biru muda ke jingga lembut, seperti cat air yang perlahan memudar di kertas. Jalanan berdebu, dan pohon-pohon jati di sepanjang jalan berdiri seperti penjaga waktu.

Sudah lama sekali Rully tidak menempuh perjalanan darat yang panjang tanpa tujuan pekerjaan, tanpa laporan yang menunggu di meja. Hanya perjalanan untuk pulang.

“Masih jauh?” tanyanya pelan.

“Sedikit lagi,” jawab Windira. “Kalau belok di pertigaan kecil itu, nanti ada gapura kayu. Rumahnya di balik kebun.”

Rully tersenyum. “Sudah lama kamu nggak ke sana?”

Windira menatap keluar jendela. “Sepuluh tahun, mungkin lebih. Terakhir waktu Ibu meninggal. Setelah itu, rasanya rumah itu jadi terlalu sunyi untuk aku datangi sendirian.”

Hening menyelip di antara mereka.

Kata “Ibu” melayang-layang di udara, menyisakan sesuatu yang lembut tapi juga getir. Rully tahu, Windira jarang bicara soal ibunya. Ia hanya pernah bilang kalau ibunya dulu pengrajin kain dan suka menanam bunga melati di halaman belakang.

Dan rumah itu, tempat segala kenangan masa kecil Windira tertinggal, kini menunggu mereka dengan debu dan kenangan yang mungkin sudah berubah menjadi hantu.

Rumah itu berdiri di ujung jalan kecil, beratap genteng tua dan dipagari bambu yang separuhnya miring. Udara Magelang terasa berbeda lebih lembap, tapi juga lebih jujur. Aroma tanah, daun, dan hujan semalam menyatu jadi sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dihirup perlahan seperti doa yang lama terlupakan.

Rully mematikan mesin mobil.

“Masih sama,” gumam Windira. “Cuma lebih… senyap.”

Pintu kayu tua berderit saat dibuka. Debu menari di udara, diterpa cahaya matahari sore yang masuk dari jendela kecil.

Di dalam, semua masih seperti dulu, meja rotan di sudut, lukisan bunga melati karya ibunya di dinding, dan kaleng biskuit yang entah kenapa masih ada di atas lemari, mungkin berisi benang atau kenangan.

Rully menurunkan koper mereka, menatap sekeliling. “Kamu mau tinggal di sini berapa lama?”

Windira tersenyum tipis. “Sampai kita tahu mau ke mana setelah ini.”

Kalimat itu terdengar sederhana, tapi di dalamnya ada makna yang dalam: mereka berdua belum tahu arah hidup berikutnya.

Rully tidak lagi bekerja.

Windira tidak lagi mengajar.

Dan di antara sisa-sisa waktu yang mereka punya, rumah ini menjadi semacam perhentian, bukan untuk mencari jawaban, tapi untuk belajar mendengar pertanyaan.

Tiga hari lalu setelah makan malam, entah kenapa Windira tiba-tiba berkata ingin kembali ke Magelang, tinggal di rumah orang tuanya dan meninggalkan kota begitu saja.

Rully hanya bertanya dan mencari tahu alasannya, tetapi jawaban Windira tak perlu disanggahnya. Mereka hanya ingin tinggal bersama, berdua, untuk kali ini dengan perasaan tenang.

Lihat selengkapnya