Hari-hari di Magelang berjalan pelan, seperti jam tua yang berdetak tanpa tergesa.
Angin pagi membawa aroma tanah yang masih basah oleh embun, bercampur dengan suara ayam yang baru keluar dari kandang. Di beranda rumah, Rully duduk dengan secangkir kopi panas di tangan, mengenakan kemeja tipis dan celana kain yang sudah mulai pudar warnanya. Di sampingnya, ada koran lokal yang sudah dua hari tidak dibuka.
Ia menatap jalan kecil di depan rumah, tanah berdebu yang membelah kebun singkong dan deretan pohon pisang. Sesekali, motor bebek lewat membawa hasil panen, atau ibu-ibu yang menenteng sayur dari pasar. Tak ada klakson, tak ada suara bising kendaraan, hanya ritme kehidupan yang berjalan dengan kejujuran yang langka di kota.
Windira muncul dari dalam rumah sambil membawa dua gelas kopi tambahan. “Pak Lurah mau datang sebentar. Katanya mau menyambut warga baru,” katanya sambil menaruh gelas di meja.
Rully tersenyum tipis. “Warga baru? Rasanya aku sudah cukup tua untuk jadi warga lama.”
Windira tertawa kecil. “Tapi kamu belum pernah ikut ronda, 'kan?”
Rully mengangkat bahu. “Kalau ronda-nya pakai helm proyek, mungkin aku bisa.”
Windira hanya menggeleng, senyum tipis di wajahnya menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa dengan candaan kaku suaminya itu. Tapi di balik canda sederhana, ada rasa hangat yang baru tumbuh di antara mereka, seperti bunga liar yang muncul setelah musim hujan.
Pak Lurah datang menjelang siang, bersama dua warga lain yang membawa hasil kebun, seikat pisang, beberapa ubi, dan segenggam cabai.
"Selamat datang, Pak Rully, Bu Windira,” katanya ramah. “Senang akhirnya rumah tua ini berpenghuni lagi. Sudah lama kosong.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Rully, sedikit canggung. “Kami cuma ingin istirahat sejenak di sini.”
“Ah, istirahat di desa memang paling enak,” sahut Pak Lurah sambil tersenyum. “Tapi jangan terlalu diam saja, nanti dikira nggak betah. Kalau mau bantu kegiatan warga, kami senang sekali.”
Rully mengangguk. Ia belum tahu apa yang bisa ia lakukan di tempat ini, tapi kalimat itu seperti tantangan kecil yang membuatnya tersenyum. “Baik, Pak. Saya belajar dulu jadi orang kampung yang baik.”
Windira menyuguhkan kopi. Uapnya naik perlahan, membawa aroma tenang.
Suasana siang itu ringan, penuh tawa kecil dan cerita tentang kebun, air sumur, dan jalan desa yang baru akan diaspal tahun depan. Sesederhana itu, tapi di antara percakapan itu, Rully merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan di kota: kedekatan tanpa tujuan.
Sore hari, Windira duduk di beranda dengan sekotak cat air di pangkuannya. Di depannya, beberapa anak desa berdiri menatap penuh rasa ingin tahu.
“Ibu bisa ngajarin kami melukis, ya?” tanya seorang bocah perempuan dengan rambut dikepang dua.
Windira tersenyum. “Bisa. Tapi melukis bukan cuma soal menggambar, ya. Melukis itu soal melihat.”
“Melihat apa, Bu?”
“Melihat dunia dengan hati.”
Anak-anak itu terdiam sejenak, lalu mengangguk tanpa benar-benar mengerti, tapi merasa kata-kata itu penting.
Windira tertawa kecil. “Ayo, mulai dari pelangi dulu. Siapa tahu besok hujan.”
Rully menonton dari jauh, berdiri di dekat pohon mangga. Ia memperhatikan cara Windira berbicara dengan anak-anak, lembut, tapi hidup. Ada sinar di matanya yang sudah lama tidak ia lihat; sinar yang dulu mungkin membuatnya jatuh cinta tanpa sadar.
Anak-anak melukis dengan penuh semangat. Kertas berserakan di lantai, warna merah, kuning, dan biru tumpah di mana-mana. Suara tawa mereka memenuhi halaman, dan di antara semua itu, Windira tertawa bersama mereka, tawa yang ringan, yang membuat sore itu terasa seperti hadiah.