Pendekar Kulit Harimau

FCG
Chapter #1

Anak Harimau Keluar Kandang

Angin hangat bertiup dari arah matahari terbit meraba lembut permukaan kulit. Pohon siong yang tumbuh menjulang dan berjejer indah, bergerak mengikuti arah angin. Bunga dan daun kering berjatuhan diterpa angin yang hangat itu. Soan-na tersebut bernama Chap-ek-siong Lim (Hutan Sejuta Cemara) yang berada di lereng pegunungan Chheng-lim San (Gunung Seribu Hutan). Sang Bagaskara memuntahkan cahaya kuning kemerahan menerangi bumi yang baru bangun dari tidur malamnya. Rumput-rumput hijau kembali ber-etiolasi, bunga-bunga yang menderita semalaman oleh hawa dingin yang menusuk kini mekar menyerbak harum mewangi.

Pegunungan Chheng-lim San berada di sebuah pulau yang sangat indah bernama Beng-kui-po To (Pulau Permata Mulia). Hutan Chap-ek-siong Lim menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar yang setiap hari naik-turun gunung keluar-masuk hutan untuk mengambil hasil bumi dari tumbuhan-tumbuhan yang ada di dalamnya, maupun bekerja sebagai petambang batu di Gua Chui-chhian Tong (Gua Air Terjun).

Gunung Chheng-lim San terletak di pusat Pulau Beng-kui-po To. Di sebelah timur gunung, terdapat Desa Ho-un Hiang (Desa Keberuntungan) yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai saudagar lintas wilayah. Desa Ho-un Hiang ini memiliki seorang hung-cu bernama Kwa Ming Hok. Penduduknya sekitar 70 KK, mayoritas adalah marga Pouw, Kwik dan Liong karena ketiga marga inilah anggota dari Kauw-liong Pek (Paman Sembilan Naga) yang pertama tinggal dan membuka lahan di Beng-kui-po To.

Di sebelah utara, terdapat Desa Chhen-liong Long (Desa Naga Hijau). Sebagian besar penduduk yang tinggal di Desa Chhen-liong bekerja sebagai petani dan peternak. Mereka membudidayakan cai-sim, ku-cai, koa-chhai, ang-chhai-thau, ko-le-chhai, buah liu-lian, buah kam-a, buah kiam-boe, buah tang-kwe, dan masih banyak lagi. Peternak dan petani di Chhen-liong Long hidup saling menguntungkan. Kalau ada sisa-sisa tanaman yang tidak terjual maka akan diberikan kepada peternak untuk pakan ternak, sedangkan kotoran ternaknya akan dikembalikan pada petani sebagai pupuk. Sayuran dibalas kotoran! Hahaha nampaknya aneh ya, tapi itulah simbiosis mutualisme di antara mereka! Hung-cu di Chhen-liong Long adalah Siem Boen Kong. Penduduknya sekita 300 KK, mayoritas dari marga Siem, Bong dan Be.

Di sebelah selatan pulau yang langsung berbatasan dengan Laut Chit-pah-hi Hai (Laut Sejuta Ikan), tinggallah sekitar 365 orang nelayan di sebuah desa bernama Tho-hai Ian-hoan (Pesisir Nelayan). Setiap hari mereka berlayar dengan kapal yang mereka buat sendiri menggunakan kayu siong dari hutan Chhap-ek-siong Lim. Kapal itu sangat kuat dan bertahan hingga ratusan tahun! Ikan yang sering mereka tangkap antara lain ikan soa-teng-hi, chhoe-khang-phang, lo-hi, soa-hi, liam-a-hi dan koe-hi. Selain dijual mentah, mereka juga membuatnya menjadi ikan asin, ikan kaleng daging cincang dan tentunya berbagai olahan lainnya dalam rupa masakan, salah satu yang terkenal adalah hi-sit. Penduduk di Tho-hai Ian-hoan adalah mayoritas pendatang dari Hai-lam To (Pulau Hainan) bermarga Phoa dan Siauw, hung-cu mereka bernama Lim Bek Kong.

Sebelah Barat gunung, terdapat sebuah pulau kecil yang sejatinya masih tersambung dengan Pulau Beng-kui-po To lewat sebuah sebaran pantai ke arah Barat sepanjang kurang lebih 2 li, 3 bu dan 5 chi yang tertutup air laut apabila sedang pasang. ‘Pulau’ desa tersebut bernama Hek-Liong To (Pulau Naga Hitam). Penduduk desa ini terkenal sebagai tirani yang sangat kejam di sekitar perairan Pulau Beng-kui-po To, walaupun begitu tirani-tirani ini tidak pernah mengganggu atau merampok penduduk asli Beng-kui-po To. Nama-nama penduduk di Hek-liong To mayoritas adalah sebutan-sebutan, bukan nama asli. Mungkin untuk menutupi identitas aslinya sebagai tirani dan mungkin juga kekaguman penduduk terhadap kesaktian mereka. Hung-cu di Hek-liong To bernama Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang). Leluhur mereka adalah satu keluarga besar dari marga Tjong.

Penduduk Chhen-liong Long dan Tho-hai Ian-hoan yang bekerja sebagai petani, peternak dan nelayan dibantu penjualan produknya oleh penduduk Ho-un Hiang. Saat penduduk Ho-un Hiang ini menjelajah laut menuju tanah seberang menjual produk Beng-kui-po To selalu menggunakan Hoe-but-chun (kapal kargo) dan diiring sekitar 3-5 buah Hai-chhat-chun (kapal perang/kapal bajak laut)) yang berisi 30 orang penduduk Hek-liong To lengkap dengan senjata ka-long-phau (meriam), chhiun (senapan), pio-chhiun (tombak), hoan-to (golok), kun-to (pedang) dan chin (panah). Pendapatan termasuk keuntungan penjualan penduduk Ho-un Hiang dikembalikan dengan sistem bagi hasil San-chhap-go Hun untuk penduduk Ho-un Hiang dan Lak-chap-go Hun untuk pemasok barang. Dengan demikian, roda perekonomian berjalan dengan baik, saling menguntungkan dan kehidupan berjalan dengan damai karena semua berjalan dengan adil. Keempat penduduk desa di pulau yang selalu ditutupi halimun di setiap subuh ini hidup saling mendukung dan memberikan manfaat satu sama lain.

Di desa Chhen-liong Long, tinggallah seorang anak muda yang bertubuh besar, memiliki mata yang indah dan tajam, rambut selalu dibuhul dengan kain merah bermotif hoe-pe (uang koin berlubang tengahnya). Berpakaian wol dengan sabuk dari kulit sapi, sepatunya dari jerami berlapis kulit sapi yang tebal untuk melindungi kaki dari dinginnya udara Gunung Chheng-lim San. Ia terlahir sebagai anak yang normal, namun oleh karena di masa mudanya sangat nakal, maka orangtuanya sering memukulnya menggunakan sebatang rotan atau bambu di sekujur tubuhnya yang membekas bilur-bilur berwarna merah kecoklatan. Walaupun kejadian itu telah berakhir sejak 5 tahun yang lalu, bilur-bilur itu tidak serta merta hilang sepenuhnya. Di tubuhnya masih terdapat bekas-bekar pukulan yang selalu dihujamkan selama 15 tahun itu. Orang-orang di Beng-kui-po To memanggilnya sebagai Ho sin-tong (Anak Harimau) oleh karena sifatnya yang pemarah dan fisiknya yang berbilur-bilur seperti loreng harimau.

Sebetulnya, Ho-sin-tong ini terlahir sebagai anak yang normal, mampu berbicara dengan lancar. Namun sejak 5 tahun yang lalu, sejak pukulan rotan dan bambu orangtuanya berhenti memukuli badannya, si ‘anak harimau’ yang nakal dan bebal ini berubah 180 derajat menjadi seorang anak yang pendiam, selalu termenung dan tinggal di sebuah pondok di dalam Hutan Chap-ek-siong Lim. 5 tahun lalu, kedua orang tua dan adik perempuannya tewas dalam sebuah kebakaran rumah akibat kecelakaan pada saat memasak. Sang adik yang mau ikut membantu ibunya pada saat memasak, memasukkan terlalu banyak kayu bakar ke dalam tungku sehingga api membesar dan menyambar sekaleng minyak yang berada di sebelah kiri lubang tungku, alhasil api membesar. Melihat asap dan api yang membesar, Ho-sin-tong dan ayahnya yang sedang mencari kayu untuk membuat berbagai perlengkapan rumah tangga, dari dalam hutan yang memiliki celah penglihatan ke arah desa mereka langsung berlari ke arah desa melewati lembah yang curam untuk memotong jalur perjalanan yang biasanya memutari gunung. Sesampainya di desa, mereka terkejut karena ternyata rumah mereka yang terbakar dibantu oleh seluruh penduduk desa yang bahu membahu mengangkut air dari sumur dan tempat penyimpanan air di rumah mereka. Karena tidak melihat sang istri dan putrinya di antara kerumunan warga, ayah Ho-sin-tong tanpa menurunkan gendongan kayu bakar langsung mendobrak pintu menerobos api dengan harapan masih bisa menyelamatkan kedua anggota keluarga yang sangat dikasihinya. Ho-sin-tong berteriak sangat keras seperti auman harimau dengan mobat-mabit ke kanan kiri berusaha melepaskan pegangan para warga yang berusaha menenangkannya.

Untung tak dapat diraih, rugilah yang bersamanya. Karena rumah Ho-sin-tong ini terbuat dari kayu kering dan jerami, api ini sulit padam. Kebakaran tersebut baru bisa selesai setelah sekitar 2 jam dipadamkan menggunakan air. Pada saat api telah padam, para warga termasuk Ho-sin-tong melihat 3 kerangka manusia yang saling berpelukan di antara reruntuhan kayu dan abu jerami, itulah ayah, ibu serta adik Ho-sin-tong yang terperangkap dalam api, dan tertimpa reruntuhan rumahnya yang terbakar itu. Ludes habis terbakar semua barang di dalam rumahnya, kecuali sebuah patung pualam Kwan-Im Pho-sat setinggi 10 cm yang masih utuh di dalam sebuah kong-po (rumah altar).

Sambil menangis meronta, Ho-sin-tong menguburkan ketiga kerangka keluarganya tersebut di sebuah Bong pada sisi sebelah timur Gunung Chheng-lim San. Sedangkan, patung Kwan-Im Pho-sat yang masih utuh itu, ia letakkan di dalam sebuah kotak yang terbuat dari tan-hiong-bok (kayu cendana), dan dikalungkan pada lehernya. Sejak saat itu, Ho-sin-tong menjadi anak yang pendiam dan tinggal sendiri di sebuah pondok di dalam Hutan Chap-ek-siong Lim. Ho-sin-tong masih memiliki seorang A-peh dan A-ko, seorang I-tiun dan 4 orang A-i, 2 orang A-ku dan 5 orang A-kim, 7 orang A-chek dan 10 orang A-chim, 5 orang A-ko dan Ko-tiun, sekitar 37 orang Chek-peh e dan 22 orang piau-te. Semua lai-kong lai-ma, goa-kong goa-ma nya sudah meninggal. Keluarga-keluarga yang lain pun sebetulnya hidup mapan dan sebagian besar dari mereka adalah ho-giah-lang, jadi tidak akan keberatan jika mengasuh seorang anak muda yang juga memiliki berbagai keahlian tersebut. Tapi kenapa Ho-sin-tong lebih memilih hidup di sebuah pondok yang terbuat dari kayu dan jerami, di dalam Hutan Chap-ek-siong Lim di bagian Timur Gunung Jeng-lim San di ketinggian 300 meter di atas permukaan laut?

Kemungkinan alasannya ini, ia bekerja sebagai pembuat gagang pisau, gagang senjata, dan perabotan kayu lainnya sehingga ia memikirkan agar lebih mudah mengambil kayu untuk bahan baku produk-produk yang dibuatnya. Lalu kenapa di sebelah Timur? Ingat kan kalian tentang desa-desa yang ada di Beng-kui-po To? Ada desa apa di sebelah Timur? Yak, tepat sekali. Di sebelah Timur pulau ini adalah desa Ho-un Hiang, tempat tinggal para saudagar jadi ia akan lebih mudah mengakses para saudagar di Ho-un Hiang untuk menjual produk-produknya di daerah lain. Lalu mengapa di ketinggian 300 mdpl? Tidak lain tidak bukan agar para saudagar atau dirinya sendiri dapat membawa produk-produknya dengan menggunakan pikulan, cikar, atau menggunakan gerobak dorong ke arah Ho-un Hiang, sehingga dapat memangkas biaya angkut barang. Dan di setiap mengantar barang ke Ho-un Hiang, ia sudah menuliskan daftar harga di selembar perkamen dari kulit pohon siong menggunakan getah pohon nilam dan ranting. Daftar harga ini ia buat dua lembar, satu untuk dirinya, satunya lagi untuk sang pedagang. Perjanjian mengenai bagi hasilpun ia tulis dalam sebuah surat perjanjian berisi jumlah yang didapat oleh dirinya dan pedagang yang ditandai oleh keduanya dan diberi cap darah jempol, untuk menghindari kecurangan yang dilakukan oleh pedagang tersebut. Benar-benar bin-chiat si Ho-sin-tong ini!

Kebiasaan Ho-sin-tong juga terbilang unik. Setiap pagi mulai dari Thiu-sie hingga Sie-sie, Ho-sin-tong selalu duduk bersila telanjang di atas sebuah batu besar di sebelah barat rumahnya untuk meditasi dan membiarkan energi Yang memenuhi tubuhnya yang merasa dingin setiap malam. Pondoknya terbuat dari susunan batang pohon yang dibelah menjadi dua, dan direkatkan menggunakan tali rotan hingga kencang, serta menggunakan berbagai kunci-kunci untuk semakin memperkuat konstruksi pondoknya. Atapnya terbuat dari jerami, daun ijuk dan anyaman daun kelapa sehingga lebih kuat dan tidak tembus air. Alas pondoknya terbuat dari susunan batu-batu alam yang telah dihaluskan permukaannya kemudian dipotong-potong segi tidak beraturan yang direkatkan menggunakan campuran tanah-air-jerami. Walaupun sederhana, pondok Ho-sin-tong memiliki sirkulasi udara dan cahaya yang baik, memiliki sumur untuk kebutuhan sehari-hari, sedangkan apabila ia ingin mengeluarkan kotoran dari dalam tubuhnya, ia berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lainnya dengan membuat sebuah lubang dan membawa air dalam beberapa wadah. Hitung-hitung untuk memberikan pupuk kepada tumbuhan di sekitarnya agar dapat tumbuh dengan baik, mungkin. Untuk memenuhi kebutuhan pangannya, ia membuka ladang dan sawah dalam bentuk terasering. Sebagian hasilnya ia simpan untuk pangan, sebagian ia jual ke desa-desa lain di Beng-kui-po To untuk tambahan penghasilan, dan sebagian ia simpan untuk digunakan sebagai bibit atau benih pada masa tanam berikutnya.

Ho-sin-tong adalah orang yang teliti, terampil, cerdik sekaligus bijak dalam menata sesuatu hal. Dalam pekerjaannya sebagai tukang kayu, ia selalu menggunakan bahan yang terbaik. Kayu yang dipilih adalah kayu siong yang sudah tua, kemudian dikeringkan dulu agar kadar airnya turun selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun agar mendapatkan hasil yang bagus, barulah dengan tangannya yang terampil dan alat-alat pertukangan warisan almarhum ayahnya ia memotong dan mengolah kayu-kayu mentah tadi menjadi gagang pisau, gagang senjata, perabotan rumah tangga seperti kayu, kursi, lemari, tempat tidur, dan perabot lainnya yang sangat indah ukirannya. Jika dihitung-hitung berdasarkan penjualannya setiap 3 bulan, Ho-sin-tong mendapatkan uang emas sebanyak 0,2 shi 30 jin dan 2 liang, emas 10 tael dan perak 50 tael. Sebuah ukuran pendapatan yang sangat fantastis bagi seorang muda yang tinggal di dalam hutan dan pendiam tersebut. Lalu ke mana uangnya yang banyak itu? Sebanyak 50 persen ia tabung di sebuah lembaga penyimpanan uang Beng-kui-po To yang tersambung langsung dengan pemerintah pusat, 30 persen ia gunakan untuk dibagikan kepada orang-orang yang tidak mampu, 20 persen ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari, kebutuhan membeli bahan baku, peralatan, dan tentunya membeli bahan produksi pertanian dan beberapa bibit untuk menanam kembali pohon yang telah ia tebang sebelumnya. Diam-diam, si Ho-sin-tong ini juga ho-giah-lang!

Suatu hari, tanggal 11 Imlik bulan 7 pada tahun ke-5 pemerintahan Kaisar Tang Taizong, saat Bauw-sie Ho-sin-tong ke luar dari pondoknya untuk berjalan-jalan melihat desa Hek-liong To di daerah Barat. Ternyata nama Ho-sin-tong ini sudah terkenal seantero wilayah Beng-kui-po To. Sesampainya di Hek-liong To dengan menggunakan sam-phan, Ho-sin-tong langsung disambut oleh beberapa orang yang sedang membereskan hasil jarahan dari dalam kapal ke dermaga. Ho-sin-tong hanya tersenyum melihat keramahan mereka, penduduk pun tak marah karena Ho-sin-tong tak berkata sepatah kata pun karena mereka juga tahu sejarah kelam si anak muda ini. Seorang tirani yang bertubuh cukup tinggi, berbadan kekar, dan bertutup kepala biru bernama Lauw Pek Tong bersama adik perempuannya, Lauw Giok Hwa mengajak Ho-sin-tong untuk makan di sebuah kedai Mi yang sangat terkenal di Hek-liong-to. Si empunya kedai bernama Sie Kian Djien, seorang pendekar dari aliran Siu-lam. Kepalanya plontos licin, dengan kumis tebal dan mata seperti burung phoenix. Maklum, Sie Kian Djien dulu adalah seorang hwe-sio pendekar, namun karena sifatnya yang suka hidup di luar biara, membuatnya dikeluarkan dari biara dan ia pun memutuskan kembali ke Hek-liong To untuk membuka kedai sekaligus mengajarkan silat yang telah ia kuasai sebelumnya.

Sie Kian Djien melihat Ho-sin-tong, Lauw Pek Tong dan adiknya mampir ke kedainya, langsung menyapa dengan ramah,

Hei, Ho-sin-tong inikah lu? Namamu sudah terkenal seantero jagad karena tabiat dan keahlianmu. Mau pesan apa kalian?” sapa Sie Kian Djien.

Aku pesan Mi-tiau tanpa daging, isi saja pakai Chhai-sim, minum Pek-ciu satu teko saja cukup untuk bertiga. Lu pesan apa Hwa?”sahut Pek Tong.

Saya pesan Mi-sua telur saja, Ko.” jawab Giok Hwa.

Kalau lu pesan apa Sin-tong?” tanya Kian Djien.

Lihat selengkapnya