Di sebuah tepian danau biru, seorang wanita paruh baya sibuk mencari tumbuhan obat. Namanya Asih, tabib herbal di desa Moronungging. Sebagai pendatang, dia bertekad untuk membantu warga merawat yang sakit dengan ilmu tanaman obatnya. Berdua ia di tepi danau itu, ditemani putrinya, bernama Yana. Seorang putri yang cantik, sedikit berbeda dengan paras ibunya yang bergigi tonggos.
Di kala sang ibu sedang serius, Yana sibuk sendiri bermain di sekumpulan padang bunga. Yana terkesan dengan warna-warni bunga yang mencolok, yang memikat serangga terbang melayang menghampiri. Di sekumpulan bunga-bunga itu, terdapat sebuah bunga kecil yang masih menguncup indah. Yana mendekatinya, mengamati tiap strukturnya dengan seksama. Ia lalu memejamkan mata menumpuk konsentrasi. Tangannya ke atas, lalu ke bawah, digoyang-goyang lalu disentakkan. Entah dia menari atau tangannya kram. “Hiyah!!” teriaknya dengan melototi kuncup bunga. Gerakan itu diulanginya beberapa kali.
“Kamu ngapain?” tanya Asih, ibu Yana.
Yana tersentak. “Emmm ... aku mau mengembangkan bunga ini bu,” Yana tersenyum bingung, kaget dihampiri.
“Bukan begitu, tapi begini lho,” ujar Asih menggelengkan kepalanya. Ia mulai bergerak dengan gemulai. Tangannya menari indah. Kuncup bunga mulai mekar. Menampakkan bentuk yang sejuk dipandang mata.
“Aku mau jadi pendekar Tahi seperti ibu,” kata Yana bersemangat.
“Hehehe ....” Asih tersenyum kecut. “Teruslah berlatih, kamu pasti bisa. Tapi ingat, jangan sampai yang lain tahu kalau kita adalah pendekar.”
"Aku juga pendekar?" tanya Yana.
"Iya, dong. Bakatmu sebagai pendekar itu besar, Yana."
Yana terkekeh mendengar ucapan ibunya. Ia cukup senang, walau tahu bahwa masih belum bisa dirinya sebagai pendekar. Belum ada yang bisa ia lakukan.
“Ayo kita pulang,” ajak Asih.
Kedua ibu anak itu berjalan pulang. Menyunggi tanaman obat di atas kepala mereka.
“Bu, bagaimana sih cara bisa menari seperti ibu?” tanya Yana penasaran.
Asih melihat anak semata wayangnya itu. “Dengarkan suara alam, nanti ia yang akan menuntunmu ....”
Keduanya tersentak, di depan rumah mereka, nampak sekilas Kepala desa dengan muka panik membopong seseorang.
“Asih, Tejo terluka! kami membutuhkan bantuanmu,” seru Kepala desa.
Asih segera berlari membukakan pintu dan menyegerakan Kepala desa membaringkan Tejo sang penjaga desa rupawan di atas tempat tidur. Dia menyiapkan obat-obatan herbal dan segala jenis kain bersih.
“Cepat buka celananya!” perintah Asih dengan cepat.
“Lho, kan yang luka tangannya ....” Kepala desa bingung.
“Oh iya ....” Asih menyapu hidungnya yang mimisan.
Kepala desa melepas baju Tejo yang telah bersimbah darah. Terlihat luka memanjang yang memerah berasap.