
Bab 1.
Sore hari di sebuah desa di sekitar kaki gunung karang, bagian barat pulau jawa. Gajah reksa adalah lurah baru di desa Naga Sari, desa yang penuh kedamaian, ia bertubuh gemuk dan tidak tinggi, kepala nya botak wajahnya di penuhi brewok tebal yang menambah kewibawaan nya.
Pakaian nya yg serba putih mencerminkan kepemimpinan nya.
ia sangat akrab dengan bupati yang bernama Ki Tonggara dan pemerintah belanda terutama gubernur pemerintahan Belanda yang bernama Van Googh.
Gajah reksa dipilih menjadi lurah oleh penduduk memang karna ia orang yang ramah dan baik kepada penduduk, ia mampu mengambil hati setiap orang yang berhadapan dengan nya.
Namun di balik keramah tamahan dan kebaikan nya kepada penduduk, ia memiliki sifat tidak ingin ada seorang pun penduduk yang menyetarai kekayaan nya, rumah dan sawah nya luas,
dan ia memiliki beberapa ekor kuda dan kambing. Gajah reksa memiliki dua orang pengikut yang sangat setia, yaitu Balung Ketir dan Jaga Laga. Balung ketir merupakan seorang pendekar yang di takuti penduduk dan pendekar pendekar di bebarapa perguruan, tubuh nya tinggi besar dan berkumis tebal, rambut nya gondrong dengan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
Begitupun jaga Laga, seorang pendekar yang selalu bersama balung ketir, tubuh nya tinggi namun agak gemuk dari balung ketir, dan tanpa kumis, rambutnya pun gondrong dengan pakaian dan ikat kepala merah.
Di pinggang balung ketir dan jaga laga selalu terselip golok dengan gagang berbentuk tengkorak hitam pada golok balung ketir dan tengkorak merah pada golok jaga laga. Kedua kaki tangan gajah reksa itu merupakan pendekar pendekar yang sangat sombong, mereka tidak pernah tersenyum di depan penduduk.
Kesombongan nya tidak lain karna mereka dekat dengan seorang lurah yang sakti dan sangat di segani oleh penduduk. Terlihat gajah reksa sedang duduk di kursi di depan rumah nya sambil menggoyang goyangkan kipas nya di samping wajah nya. Ia tampak sedang memperhatikan sebuah rumah yang cukup besar dan terlihat mewah. Rumah seorang pedagang kain yang terbilang kaya di desa Naga Sari.
Tidak jauh di samping ki lurah gajah reksa dua orang pengikut nya sedang menebang pohon di tepi pagar yang terlihat kokoh di bagian halaman rumah.
“Ketir, laga, kemari sebentar..!” Teriak gajah reksa. Balung ketir dan jaga laga menoleh ke arah ki gajah reksa, “
“Iya ki.!?” Jawab balung ketir dan jaga laga bersamaan.
Kedua pendekar itu pun segera menyarungkan Golok nya dan berlari menuju ki lurah gajah reksa.
“Ada apa Ki?” Jawab balung ketir.
“Itu coba kalian lihat rumah si surya makin bagus saja, rasa nya dia lebih kaya daripada aku!?”
Ucap gajah reksa sambil menunjuk ke arah sebuah rumah yang agak jauh dari rumah nya. Balung ketir dan jaga laga menoleh ke arah rumah yang di tunjuk majikan nya, lalu mereka diam beberapa saat tanpa menjawab apa pun.“Bagaimana menurut kalian?”
Gajah reksa meneruskan dengan pertanyaan. “Bagaimana kalau si surya kita rampok saja ki? Saya dengar dia memiliki simpanan emas banyak Ki!? Pasti nanti aki akan bertambah kaya!?” jawab jaga laga mencoba menghasut lurah gajah reksa.
Lurah berkepala botak itu seperti kaget mendengar saran jaga laga, ia segera berdiri, mata nya tajam menatap jaga laga dan balung ketir, wajah nya tersenyum penuh siasat.
Kemudian ia berkata, “Saranmu bagus juga laga? Kalau begitu cepat kita tentukan malam yang tepat untuk merampok harta si surya.”
Gajah reksa menanggapi dengan penuh kesungguhan, di tatapnya wajah kedua pengikutnya bergantian, sementara balung ketir hanya tersenyum menganggukan kepala nya. Namun tanpa mereka sadari, semua perbincangan mereka telah di dengar oleh seorang kakek gondrong berjubah putih, yang bersembunyi di atap rumah gajah reksa, di punggungnya tergantung sebuah kantong putih yang terbuat dari kain. Kemudian setelah mendengar semua nya dengan jelas, kakek tua itu melesat dan berlari di udara, dengan gerakan yang sangat ringan dan tanpa suara kakek tua itu berlari di udara meninggalkan rumah itu.
bagus juga laga? Kalau begitu cepat kita tentukan malam yang tepat untuk merampok harta si surya.”
Gajah reksa menanggapi dengan penuh kesungguhan, di tatapnya wajah kedua pengikutnya bergantian, sementara balung ketir hanya tersenyum menganggukan kepala nya. Namun tanpa mereka sadari, semua perbincangan mereka telah di dengar oleh seorang kakek gondrong berjubah putih, yang bersembunyi di atap rumah gajah reksa, di punggungnya tergantung sebuah kantong putih yang terbuat dari kain. Kemudian setelah mendengar semua nya dengan jelas, kakek tua itu melesat dan berlari di udara, dengan gerakan yang sangat ringan dan tanpa suara kakek tua itu berlari di udara meninggalkan rumah itu.
di punggungnya tergantung sebuah kantong putih yang terbuat dari kain. Kemudian setelah mendengar semua nya dengan jelas, kakek tua itu melesat dan berlari di udara, dengan gerakan yang sangat ringan dan tanpa suara kakek tua itu berlari di udara meninggalkan rumah itu.
sangat ringan dan tanpa suara kakek tua itu berlari di udara meninggalkan rumah itu.
Dan dengan cepat kakek tua itu melesat dan berlari di udara, dengan gerakan yang sangat ringan dan tanpa suara kakek tua itu berlari di udara meninggalkan rumah itu.
Pagi hari ki lurah gajah reksa sudah bangun mendahului kedua pengikut setia nya, Ia terlihat sedang duduk di kursi yang sama di depan rumah nya memikirkan cara dan waktu yang tepat untuk merampok rumah surya. Seketika itu juga di lihat nya seorang pedagang yang bernama Surya membawa dagangan nya dengan kereta kuda nya. Hati gajah reksa semakin panas ketika melihat surya tersenyum kepada beberapa penduduk yang menegur nya.
“Wah ki surya pagi pagi sekali sudah mau berdagang ki?” ucap beberapa penduduk bersamaan.
“Ohh iya ki , kalau kesiangan takut rejeki di patuk ayam, hekhekhekhek..” jawab surya. Kemudian surya pun melihat lurah gajah reksa dari kejauhan, surya pun menyapa gajah reksa dengan sedikit berteriak, “Selamat pagi ki lurah!?” “Eh ki surya, selamat pagi juga ki surya!?” Jawab gajah reksa, tersenyum, namun senyuman itu merupakan senyum yang palsu,
sebab ketika surya berlalu wajah gajah reksa terlihat merah dan asam, lalu ia memaki sendiri, “Awas kau, aku akan menghabiskan hartamu..!
Gerutu gajah reksa. Dan seketika itu juga lurah paruh baya itu kembali tersenyum ketika beberapa orang penduduk berjalan melewati depan rumah nya dan menegur sambil menundukan kepala nya.
"Permisi ki lurah..?” ucap beberapa orang berbarengan. “Mari mari silahkan bapak bapak..!?” Jawab gajah reksa. Beberapa saat kemudian terlihat tiga penduduk memasuki halaman rumah ki gajah reksa, mereka adalah tiga lelaki yang bekerja sebagai petani bayaran ki gajah reksa untuk mengurus sawah nya.
Mereka berjalan dengan sedikit membungkuk menghampiri gajah reksa. Pagi berganti siang, gajah reksa di ikuti kedua pengikut nya keluar rumah dan berjalan untuk makan di sebuah kedai di muka desa itu. Pemilik kedai yang bernama Ki marta sangat menghormati gajah reksa dan pengikut nya, begitupun para pengunjung kedai. Gajah reksa pun tampak sangat ramah kepada mereka. Namun berbeda dengan balung ketir dan jaga laga, ia nampak sangat menjaga wibawa nya.
Mereka memilih meja terpisah dari majikan nya.
Pemilik kedai segera menyediakan makanan pesanan gajah reksa dan kedua pendekar nya dan Mereka terlihat sangat berselera sekali. Terlihat pula pengunjung kedai yang baru saja masuk, mereka menunduk hormat kepada gajah reksa dan balung ketir serta jaga laga, begitupun pengunjung yang hendak keluar kedai, mereka terlebih dahulu memberi hormat pada ketiga orang itu.
Di luar kedai terlihat lalu lalang penduduk desa dari laki laki maupun wanita, yang tua dan yang muda, mereka memiliki aktivitas nya masing masing. Desa yang memang merupakan suatu desa yang ramai, gajah reksa adalah seorang lurah yang baik di mata seluruh penduduk desa.
Hampir dari setiap kali ia makan di kedai ki marta, gajah reksa selalu memberi bayaran lebih kepada
ki marta pemilik kedai. Walaupun usia ki marta tidak terpaut jauh dari usia gajah reksa, namun lurah itu sangat ramah kepada ki marta, begitupun ki marta terhadap gajah reksa dan balung ketir serta jaga laga. Seperti biasanya, setelah makan ki lurah mengajak kedua pengikut nya untuk mengawal nya berjalan melihat lihat keadaan desa dan berakhir pada sawah milik nya. Di depan saung sawah nya itu Gajah reksa selalu menyempatkan diri nya untuk duduk beristirahat melihat para petani bayaran nya.
Angin pesawahan yang berhembus sejuk mengurangi panas nya terik matahari. Gajah reksa yang berpakaian serba putih itu menggantungkan baju luar nya pada sebuah kayu di bagian pintu saung itu. Sementara balung ketir dan jaga laga lebih mendekati para pekerja dengan maksud memperhatikan cara kerja nya. Beberapa orang petani bayaran ki lurah nampak sedang menanam benih padi pada lahan sawah yang baru saja di bajak.
Mereka terlihat menunduk memberi hormat pada kedua pendekar pengikut Gajah reksa. Lurah berkepala botak itu duduk di atas dipan kayu yang terletak tepat di depan saung nya itu dengan menyandarkan kedua tangan nya pada balok saung yang memagari saung itu.
Gajah reksa adalah orang yang paling kaya di desa itu, kekayaan nya melebihi surya sang pedagang, namun lurah itu memiliki sifat tidak ingin ada orang lain di desa itu yang terlihat kaya atau di anggap kaya oleh penduduk.
Selain ki lurah gajah reksa, surya juga merupakan seorang pedagang yang memang di anggap kaya oleh penduduk desa Naga sari, dalam hubungan sosial pun surya di hormati oleh bupati tonggara dan pemerintah kolonial belanda karna surya selalu tepat waktu dalam membayar pajak, dan pedagang itu pun merupakan orang yang sangat menghormati kepemerintahan kolonial belanda. Sempat pula sebagian penduduk mencalonkan surya untuk menjadi lurah di desa Naga Sari namun surya menolak dengan alasan tidak sanggup untuk memegang kuasa terhadap desa dan hanya ingin fokus berdagang dan mengurus Keluarga.
Sesekali gajah reksa mengusap dahi nya, sesekali pula ia menggubris lalat yang hendak hinggap di tubuh nya. Mata nya tertuju pada sekitar sawah milik nya, terkadang ia melihat balung ketir dan jaga laga yang berjalan di pinggir sawah. Di lihat nya balung ketir sedang menggoda seorang gadis yang terlihat berjalan mengantar makanan untuk ayahnya yang bekerja di sawah milik Ki lurah. Begitupun jaga laga.
Namun gadis yang mengantar makanan itu seperti ketakutan ia berjalan menjauhi kedua pendekar itu.
Balung ketir memang terlihat menakutkan, tubuh nya tinggi besar dengan rambut gondrong Dan kumis yang tebal menambah penampilan nya terlihat menyeramkan, sementara jaga laga tidak setinggi balung ketir, ia tidak memiliki kumis,
namun kulit dan wajah nya tampak gesang terlihat mengerikan.
Kedua pendekar itu sangat di takuti oleh penduduk dari penduduk biasa maupun murid murid di beberapa perguruan Silat di desa Naga Sari dan sekitar nya. Kedua pendekar setia itu selalu menjadi pemenang saat adu laga antar desa di setiap tahun nya. Desa Naga sari desa yang damai, aktifitas penduduk dan hubungan sosial sangat terjaga.
Merupakan desa yang aman di mata pemerintahan kolonial belanda. Diantara desa desa lain nya, desa Naga sari adalah desa yang di sukai oleh bupati maupun gubernur van googh. Penduduk nya taat pajak dan hampir tidak pernah terjadi kekacauan sedikitpun. Ki gajah reksa menatap gadis yang berjalan melewati nya, ia tersenyum pada gadis itu, begitu pun gadis itu menundukan kepala nya memberi hormat kepada pemimpin desa nya itu.
Tanpa berkedip gajah reksa terus menatap pada bagian belakang gadis yang berpakaian khas gadis gadis di sawah itu, Ia berkata pelan sambil memperhatikan gadis itu, “Hehehe. memang gadis gadis di desa ku ini cantik cantik dan sangat menggoda, suatu saat aku akan menguasai seluruh gadis di desa ini”.
Tiba tiba terdengar suara seperti berbisik memanggil nya,
"Gajah Reksa..!?
Gajah Reksa!?"
Lalu gajah reksa menoleh pada asal suara itu, suara seorang wanita yang terdengar dari dalam saung nya. “Masuklah gajah reksa..!?” Suara itu kembali terdengar, lalu gajah reksa turun dari dipan nya dan berdiri, di rapatkan telinga nya pada pintu saung nya,
lalu perlahan ia membuka pintu itu. Alangkah kaget nya gajah reksa melihat sosok seorang wanita cantik bergaun merah, pada kepala wanita itu nampak mahkota emas yang berbentuk belut melingkari kepalanya,
dengan gaun transparan memperlihatkan kemolekan bagian bagian tubuhnya. Wanita itu duduk bersandar di atas dipan kayu yang terletak di pojok dalam saung itu. “Si si siapa kamu?” Gajah reksa bertanya pada wanita itu, suara nya terdengar serak dan terbata bata. “Apakah kamu ingin menguasai semua gadis di desa Naga Sari ini gajah reksa..?” Tanya wanita itu.
"Tapi siapa kamu?”
Gajah reksa menjawab dengan pertanyaan, wajah nya menatap pada sekujur tubuh wanita itu. “Aku penguasa telaga emas di dalam hutan yang terletak di dekat bukit melalui dua desa ke arah timur... nama ku nyi riwang ratu siluman belut merah di telaga itu..”Ucap wanita itu menjelaskan. “Tapi untuk apa kau bertanya itu kepada ku? Gajah reksa kembali bertanya.
“Aku bisa mengabulkan keinginanmu gajah reksa, apakah kau bersungguh sungguh? Ujar wanita Siluman itu. Nyi Riwang adalah Ratu Siluman Belut Merah penguasa telaga emas, ia amat sakti mandra guna, ia kerap kali mencari hamba dari golongan manusia yang hendak di jadikan abdi nya untuk memenuhi keinginan nya. Namun biasa nya manusia yang di datangi nya adalah manusia bermental busuk, pendengki, pendendam dan jauh dari allah.
“Iya aku sangat ingin menguasai seluruh wanita di desa ini, nyi” jawab gajah reksa. “Baiklah, ku perintahkan kau gajah reksa untuk datang ke istana ku di telaga emas pada malam selasa kliwon. Pengawal ku akan menjemputmu di tepi telaga “Iya nyi baik nyi, aku bersedia datang.. “ Jawab gajah reksa. Lalu setelah gajah reksa menjawab, ratu Siluman itu sirna dan menghilang dari pandangan. “Blashh!!”
Gajah reksa terkesima, ia menengokan kepala nya ke kanan dan kekiri seolah mencari cari kemana nyi riwang pergi. Beberapa saat kemudian sambil matanya melirik ke seluruh ruangan dalam saung gajah reksa pun membuka pintu saung dan keluar, ia kembali duduk diatas dipan diluar saung, ia terlihat melamun memikirkan pertemuan nya dengan ratu Siluman. “Kii lurah?” Jaga laga menegur gajah reksa yang sedang melamun, gajah reksa tersentak kaget, ia menoleh pada balung ketir dan jaga laga di samping nya. “Sudah ki, semua berjalan baik, apakah kita akan pulang ke rumah ki?” Balung ketir meneruskan. “Oh iya iya, kita pulang!” Gajah reksa menjawab dengan wajah yang terlihat seperti orang bingung, lalu ia berdiri dan melangkah di depan kedua pengikutnya, di kepala nya masih menyimpan pikiran tentang pertemuan nya dengan nyi riwang, sesekali ia menengok ke kanan dan ke belakang. Hari menjelang sore, sepanjang jalan menuju rumah nya gajah reksa masih memikirkan kedatangan nyi riwang kepadanya.
Bab 2
Pada malam hari nya di sebuah rumah, pada malam yang di tentukan gajah reksa dan balung ketir serta jaga laga. Rumah Surya Laksana, seorang pedagang kain yang di anggap saingan dalam hal kekayaan oleh lurah gajah reksa, surya tinggal bersama istri nya bernama Ratna Dewi dan bayi nya yang baru berusia enam bulan bernama Arya Laksana.
Surya dan ratna yang sedang nyenyak tidur bersama istri tercinta dan bayi nya.
Di tengah malam yang di hiasi suara jangkrik tidak memberi isyarat apapun kepada Surya maupun ratna. Pada saat itu juga terlihat tiga orang laki laki berpakaian serba hitam dan bertopeng sudah berada di depan pintu rumah surya, seseorang diantara mereka sedang mencoba membuka pintu rumah
itu dengan ujung golok nya. “Krek krek..!”
Suara dari balik pintu yang hendak di buka itu terdengar beberapa kali sehingga membuat ratna Dewi terbangun, ratna segera duduk dan tangan nya menggoyang goyang bahu suami nya, “Pak pak, bangun pak.. pak bangun!”
ucap ratna membangunkan surya. Surya Laksana terbangun, ia membuka mata nya dan segera duduk di tepi ranjang.
“Itu pak seperti ada suara di dekat pintu..” Ujar ratna. Surya menempelkan jari telunjuk pada bibir nya memberi isyarat supaya ratna diam, lalu ia mengangguk dan melangkah perlahan, di buka nya pintu kamar nya dengan sangat hati hati, lalu ia mengambil sebilah pedang bergagang kepala harimau yang menempel pada dinding kamar nya dan melangkah perlahan menuju pintu utama rumah nya, dibalik pintu itu iya menyadari bahwa rumah nya telah kedatangan tamu yang tak di undang, tamu yang jelas hendak berbuat jahat terhadap dirinya atau keluarganya.
“Krak krak.. brakk!!” Pintu terdorong dan terbuka dengan paksa, Seorang berpakaian topeng hendak masuk kedalam rumah surya, namun surya segera menjotos orang itu dengan kepalan tangan nya, di susul dengan tendangan kakinya membuat orang itu terhempas keluar rumah.
“Hia!!” “Akh!”.
Orang bertopeng itu terjatuh, lalu kedua teman nya segera mencabut golok yang terselip di pinggangnya masing masing, mereka segera mengayunkan golok bergagang tengkorak hitam dan putih itu dari atas ke arah kepala surya.
Secepat itu pula surya menghindar mundur, sekelebat kedua golok itu terlihat menyambar setengah di depan tubuh surya, lalu surya memiringkan tubuh nya dan seketika itu juga kaki kanan surya mengenai Ulu hati seorang bertopeng yang bertubuh besar dan berambut gondrong, orang itu terdorong hingga menghempas tubuh teman nya, mereka pun terjatuh bersamaan.
Kemudian seorang bertopeng yang orang itu pun akan membunuh istri dan bayi mungil nya itu, pikir nya. “Heaatt..! Ketiga orang itu melompat ke arah surya dengan mata golok ketiga nya mengayun tepat ke arah kepala surya, secepatnya surya menyilangkan pedang nya menangkis ketiga golok itu, “trang!”.
Bersamaan nya dengan itu, balung ketir yang berada pada bagian kanan segera mendaratkan tendangan nya pada perut surya, “akh “ surya mengerang kesakitan, Di susul pula dengan tendangan gajah reksa yang berada di tengah serta pukulan tinju jaga laga yang berada di kiri, surya laksana terhempas ke belakang, kemudian dalam keadaan terhuyung surya laksana mencoba mengendalikan keseimbangan tubuhnya,
namun secepat kilat gajah reksa menyambarkan goloknya ke arah punggung surya “Akh..” surya laksana menjerit keras, golok gajah reksa menyobek punggungnya hingga mengalirkan darah segar yang mewarnai pakaian surya,
lalu disambut dengan balung ketir menghujam goloknya ke arah punggung dan perut surya.
Bersamaan dengan beberapa kali sabetan golok gajah reksa pada dada dan wajah surya, “Akh...!!”
jerit surya laksana. Tubuh nya limbung dan terhempas jatuh ke tanah, Diantara hidup dan mati nya surya berusaha berteriak memerintahkan istri nya untuk segera lari meninggalkan rumah nya,
“Ratna.. lari ratna..!!”
Mendengar teriakan suami nya, ratna pun segera menggendong bayi nya yang sedang tertidur di atas ranjang, ia segera melompat melalui jendela kamarnya yang menuju kebun dan jalan setapak yang mengarah pada sebuah sungai pembatas antara desa naga sari dan desa desa berikut nya. “hahahaha... mampus kau surya...!!”
Gajah reksa tertawa senang menunjuk wajah surya, begitupun balung ketir dan jaga laga, mereka tertawa senang melihat surya laksana dalam keadaan sekarat.
Di tengah tawa ketiga musuh musuhnya surya menatap ke arah rumah nya. Seketika itu juga jaga laga menengok ke arah rumah surya, “Ki ratna Ki ..!!” Ucap jaga laga menatap wajah gajah reksa, lalu lurah itu pun menengokan wajahnya ke arah rumah surya kemudian gajah reksa menatap
balung ketir dan jaga laga, “Tangkap si ratna dan jangan biarkan dia lari.!! Jawab gajah reksa memerintahkan kedua pengikut nya.
Segera balung ketir dan jaga laga berlari menuju rumah surya laksana, Sementara Ki lurah gajah reksa masih berdiri di depan tubuh surya yang terkapar tak berdaya dengan sekujur tubuh berlumuran darah.
Lalu di injakan kaki nya pada wajah surya, mata surya menatap mata gajah reksa dengan penuh rasa dendam, dan bersamaan dengan itu gajah reksa menghujamkan ujung golok nya tepat pada leher surya laksana, “heatt!! Crebb!".
“okh!” terdengar jeritan pelan dari mulut surya, golok gajah reksa menancap tepat pada leher surya, beberapa saat kemudian pedagang itu pun menghembuskan nafas terakhir nya di bawah telapak kaki lurah gajah reksa.
Sementara di dalam rumah surya laksana, balung ketir berhasil mendobrak pintu kamar, mereka berdua tidak melihat ratna, melainkan pintu jendela sudah terbuka lebar, di bawah jendela itu terdapat meja kecil berkaki pendek yang di gunakan ratna untuk melompat melalui jendela itu. Lalu kedua orang itu berlari menuju dimana gajah reksa berada, “Ki ratna lari kii..!!” Ucap kedua nya berbarengan.
Ia pun memerintahkan kedua pengikut nya itu untuk mengejar istri surya.
Balung ketir dan jaga laga pun segera berlari ke arah samping rumah surya di ikuti oleh ki lurah gajah reksa. Mereka memasuki kebun di belakang rumah surya,
di kejauhan terlihat ratna Dewi yang sedang berlari di jalan setapak yang menuju ke arah jembatan di atas sungai. “ayo kejaar wanita itu..!!” perintah gajah reksa.
Kedua pengikut gajah reksa itu pun mempercepat lari nya mengejar ratna.
Diantara remang sinar rembulan, pada jalan itu terlihat ratna yang sedang berlari menggendong bayi nya. Ia terus berlari menembus malam, sesekali ia terjatuh karna menginjak bebatuan yang agak besar.
Namun ratna hanya seorang wanita lemah, di bandingkan dengan balung ketir dan jaga laga yang berlari cepat, jarak mereka semakin dekat, sesekali ratna menengokan wajahnya ke belakang, raut wajah yang penuh ketakutan tampak di wajah ratna, terus berlari hingga tepi sungai yang di penuhi pepohonan di tepi sungai yang amat curam.
Menyadari jarak nya dengan ratna sudah dekat, balung ketir mencabut goloknya dan di lemparkan golok itu ke arah ratna,
"Hia.. “ “creb” Akh..!” golok balung ketir menancap tepat di punggung ratna, ratna menjerit pelan,
ia berusaha bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan itu, tubuh nya semakin lemah,
ia pun terhuyung menahan rasa sakitnya, dan dengan sengaja ia menjatuhkan diri nya ke dalam jurang dan sungai yang curam serta deras itu.
"Aaakh...!! jeritan ratna terdengar hingga ke telinga gajah reksa dan balung ketir serta jaga laga. Tubuh ratna yang terlempar jatuh beberapa kali menabrak pepohonan lebat yang tumbuh pada dinding jurang sungai itu.
Namun seketika itu juga dari seberang sungai terlihat sekelebat bayangan putih menyambar tubuh ratna Dewi kemudian bayangan itu pun kembali menyeberangi sungai dan menyelinap masuk kedalam hutan kecil yang di penuhi pepohonan, dan bayangan putih itu membawa tubuh ratna masuk kedalam sebuah gubuk usang yang terletak tidak jauh dari sungai.
Ternyata sosok bayangan putih itu tidak lain adalah seorang kakek tua berambut gondrong dan berjubah serba putih.
Ia merebahkan tubuh ratna dan bayi nya pada dipan bambu di dalam gubuk itu. Dengan menahan rasa sakit dan dalam keadaan sekarat ratna berkata kepada kakek berjubah putih itu,
"kek.. tolong selamatkan anak saya arya laksana..”
Kemudian setelah mengucapkan kalimat itu ratna Dewi menghembuskan nafas terakhirnya,
kakek tua mengusap mata ratna hingga benar benar tertutup, lalu ia mengucap pelan “Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun”.
Di tepi sungai, gajah reksa memerintahkan kedua pengikut nya untuk mencari ratna yang terjatuh di antara semak semak belukar tepi jurang, Pasti ratna sudah mati ki!?” ucap balung ketir.
Gajah reksa menjawab lantang, ia memerintahkan kedua pengikutnya, “Cari ketir, laga, jangan sampai mayat nya di temui penduduk, sebab bisa bisa mereka akan mengenal gagang golokmu..” Gajah reksa menatap balung ketir dengan tatapan tajam, wajahnya tampak cemas. Kemudian balung ketir dan jaga laga segera mendekati jurang sungai dan di sibakan nya pepohonan di hadapan nya sambil mencari cari mayat ratna.
"Gawat kalau sampai penduduk tahu, siapa lagi yang memiliki golok bergagang kepala tengkorak kalau bukan kita?” Ujar gajah reksa.
Kedua pengikut nya itu tidak menjawab melainkan mereka terus mencari mayat ratna.
Beberapa lama mereka mencari mayat ratna namun tak juga di temui nya, akhirnya gajah reksa memerintahkan kedua pengikutnya untuk
menyudahi pencarian, “Sudah sudah.. lebih baik kita kembali ke rumah surya,
dan kita habisi semua harta nya..” Ucap gajah reksa kepada balung ketir dan jaga laga.
“Baik ki..” jawab kedua pengikut nya berbarengan,
Kemudian balung ketir dan jaga laga pun berlari menuju rumah surya, sesekali mereka menengokan wajahnya pada sekitar desa, mereka khawatir kalau kalau ada penduduk yang melihat perbuatan mereka pada surya dan istri nya. Balung ketir berlari lebih cepat di ikuti jaga laga, sementara gajah reksa berlari agak pelan di belakang. Namun alangkah terkejutnya mereka ketika sampai pada halaman rumah surya, mereka tidak melihat lagi mayat surya, ketiga orang itu menengok ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan mayat surya, namun tak di temui nya. “gawat, benar benar gawat! Mayat surya hilang, mayat ratna pun tidak kita temukan, bisa bisa penduduk desa ini akan tau perbuatan kita..!” Ucap gajah reksa. Balung ketir pun menjawab, “Apakah mayat surya ada yang memindahkan ki..?” mata balung ketir tertuju pada wajah ki lurah gajah reksa, kemudian jaga laga meneruskan, “Atau ada harimau buas yang membawa mayat surya untuk di makan ki..?
“hah sudahlah.. ketir, laga, dimana kalian melihat si surya menaruh emas emas nya?” Tanya gajah reksa. “di sebuah peti ki, surya menaruh peti itu di bawah ranjang nya ki!?”
jawab jaga laga menghadapkan wajah nya pada wajah ki lurah gajah reksa.
“Apa benar ketir?” Gajah reksa memalingkan wajah nya pada balung ketir, ia memastikan jawaban balung ketir mengenai harta surya, dengan cepat balung ketir menjawab pertanyaan gajah reksa, “benar ki, kami mengintip nya dari balik jendela surya menaruhnya pada sebuah peti yang cukup besar ki, lalu dia mendorong peti itu ke bawah ranjang nya ki?”
Untuk apa kalian mengintip keluarga si surya!?" Tanya ki lurah.
"Hehehe.. biasa ki, hanya mau tahu si surya dan si ratna malam hari.." Jawab balung ketir.
Mata gajah reksa menatap tajam pada wajah balung ketir dan jaga laga bergantian, kedua pengikutnya itu sesaat memandang mata gajah reksa,
namun secepat nya mereka menundukan kepala nya, “Ya sudah lekas ambil dan bawa semua harta surya..!” Perintah ki gajah reksa dengan tegas, “Baik ki!” kedua pengikut gajah reksa itu pun segera menjawab bersamaan dan berlari masuk kedalam rumah surya.
Mata mereka mencari cari kesana kemari segala sesuatu yang berharga baginya untuk di miliki nya. Balung ketir dan jaga laga memasuki kamar surya, dan di bungkukan badan nya bersamaan melihat kebawah ranjang surya, namun mereka terkejut karna tidak melihat satu benda pun yang ada di bawah ranjang surya.
Dan mereka pun mencari ke segala bagian di dalam rumah itu, “Ki.. Peti emas nya sudah tidak ada!?” Ucap jaga laga.
“apa!? Tidak ada!?.. lalu untuk apa kita susah payah kesini sampe membunuh si surya dan istrinya..!?” jawab gajah reksa dengan nada sedikit marah.
Mendengar itu pun wajah kedua pengikut lurah itu menjadi pucat, merasa takut apa yang di cari nya tidak akan di ketemukan. “Terus cari sampai dapat!” Perintah gajah reksa.
Beberapa lama mereka mencari di setiap tempat di dalam rumah surya, hingga seisi rumah surya menjadi berantakan tak menentu, akhir nya ki gajah reksa berkata, “Sialan! Dimana si surya menyimpan emas emas nya itu!?” Gajah reksa memaki sendiri sambil mengacak acak bebarapa tempat di dalam rumah surya.
Lalu ia pun terdiam sesaat kemudian melangkahkan kaki nya dengan cepat ke arah luar rumah, setelah itu“ Sudah sudah hentikan pencarian kalian, kita pulang..!” Ucap gajah reksa kepada balung ketir dan jaga laga, kedua pengikut nya yang setia itu pun menghentikan pencarian nya, mereka sedikit berlari mengikuti gajah reksa keluar dari rumah surya.
Tengah malam yang hening, mereka melihat lihat sekeliling di sekitar rumah surya, keadaan nampak sepi tanpa seorang pun penduduk yang keluar dari rumah nya, tidak ada seorang pun yang tahu akan perbuatan mereka, namun mereka pulang sama sekali tanpa hasil sekeping pun harta surya.
Angin berhembus menerpa tubuh mereka, tampak ketergesa gesaan pada langkah mereka meninggalkan rumah surya, “Kemana mayat si surya?”
Gajah reksa bertanya tanya dalam hatinya sendiri. Sesampainya di rumah, ki lurah gajah reksa merencanakan sesuatu dengan balung ketir dan jaga laga mengenai kematian surya dan istrinya serta mengenai rumah surya yang sudah tidak ada yang menempati, mereka ingin seolah olah penduduk mengira surya laksana telah menjual rumah itu kepadanya, juga sawah milik surya.
Balung ketir dan jaga laga mengerti apa yang di maksudkan oleh gajah reksa, mereka mengangguk anggukan kepala nya. “Pagi ini ketika matahari terbit kalian harus kembali ke rumah surya, bersihkan isi rumah itu, dan katakan pada penduduk jika ada yang bertanya, katakan bahwa surya telah menjual rumah dan sawah nya, serta ternak nya kepada ku, lalu surya dan keluarga nya berpindah rumah di kota arah timur berdekatan dengan sanak saudaranya..” Ucap gajah reksa menjelaskan.
“Baik ki..! Tapi apakah penduduk akan percaya ki..?” tanya balung ketir dengan tatapan wajah yang terlihat menyimpan kekhawatiran.
“Hah sudah jangan kau pikirkan itu, yang penting kalian sudah menjelaskan pada penduduk, setelah itu rumah surya akan menjadi milik ku, dan suatu saat jika aku berhasil menjadi bupati
maka rumah itu akan menjadi milik mu laga..! dan rumah surya yang akan aku tempati itu akan menjadi milik mu ketir..!”
Gajah reksa menjelaskan kepada kedua pengikutnya dengan wajah terlihat masam.
Mendengar itu balung ketir dan jaga laga nampak senang, mereka tersenyum kepada gajah reksa,
"Baik ki Baik, terimakasih ki terimakasih atas kebaikan ki lurah, tapi ki lurah nanti tinggal dimana kalau kami menempati
rumah aki dan rumah surya?” jawab jaga laga kepada gajah reksa, di tatapnya wajah lurah itu dalam dalam, ia menunggu jawaban ki lurah atas pertanyaan nya itu.
Gajah reksa terdiam sesaat, ia sepertinya sedang berpikir tentang pertanyaan jaga laga, lalu ia pun menjawab dengan tenang dan penuh keyakinan, “Laga.. kalau aku sudah menjadi bupati, tentu aku akan membangun rumah baru, tapi tidak di desa ini, sebab kalian lah yang akan menggantikan aku menjadi lurah di desa ini..” ujar gajah reksa, mendengar itu balung ketir dan jaga laga saling bertatapan dan tersenyum puas.
Hari semakin pagi, ketiga orang itu belum juga tidur, gajah reksa ingin memastikan apakah peristiwa semalam di ketahui oleh penduduk
atau tidak.
Aktifitas penduduk mulai terlihat, mereka berlalu lalang melewati depan rumah lurah gajah reksa, seperti biasa mereka selalu bertegur sapa dengan ki lurah.
Begitupun juga ki lurah gajah reksa selalu menanggapi mereka dengan rasa kepemimpinan nya, sikap nya ramah banyak di senangi penduduk di desa Naga sari.
Beberapa orang terlihat mendatangi rumah ki lurah untuk urusan pekerjaan mereka di sawah.
Gajah reksa menanggapi semua itu dengan baik dan penuh kepedulian. Menjelang siang seperti biasa pula gajah reksa berkunjung kepada penduduk yang bekerja di sawahnya.
Sambil ki gajah reksa memperhatikan gelagat setiap penduduk yang di temui nya apakah ada tanda tanda mereka mengetahui peristiwa pembunuhan surya dan istrinya atau tidak? Hari kedua balung ketir dan jaga laga membenahi isi rumah surya laksana.
Mereka memberikan seluruh barang barang milik surya dan sebagian isi rumah pada penduduk secara Cuma Cuma tanpa minta bayaran.
“Memang nya kemana ki surya ki balung ketir?” tanya seorang penduduk yang sedang mengangkat kursi milik surya,
lalu tiba tiba dari belakang penduduk telah hadir gajah reksa yang langsung menjawab,
"Ki surya telah menjual rumah nya kepada saya, berikut sawah dan ternak nya, dan semua isi rumah ini, katanya ia akan menempati rumah baru nya di sebuah kota yang terletak tidak jauh dari sanak saudaranya..” jawab gajah reksa sambil memegang pundak orang itu.
Namun raut wajah penduduk sama sekali tidak menaruh rasa curiga kepada gajah reksa, mereka mempercayai karna di mata mereka gajah reksa adalah lurah yang baik. seiring berganti nya hari, pekan demi pekan pun berlalu, sikap dan gelagat penduduk ternyata tidak ada yang mengetahui tentang kejadian pada malam berdarah itu.
Hati ki gajah reksa semakin tenang, ia telah memiliki rumah baru bekas rumah surya, serta sawah dan ternak surya telah berpindah ke tangan nya. Membuat ia semakin di pandang di desa itu, kini ia satu satu nya orang kaya di desa itu, tidak ada lagi simpati dan rasa segan penduduk yang terbagi sealain pada dirinya, tidak ada pedagang kaya yang bernama surya laksana. Tidak ada lagi pesaing bagi nya dalam merebut simpati para penduduk. Dulu selain dirinya ada surya, kini hanya dirinya seorang.
Kini hari hari serasa cerah bagi gajah reksa,
begitupun balung ketir dan jaga laga,
mereka semakin sombong karna menempati rumah bekas gajah reksa, sementara gajah reksa telah menempati rumah bekas surya laksana.
Dan kebahagiaan gajah reksa itu di cerminkan dengan sikap yang bertambah ramah,
lurah itu juga membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk, ia menambah jumlah petani yang bertani di sawah nya dan di sawah bekas milik surya, juga dua orang laki laki untuk merawat kuda dan ternak nya dan ternak bekas milik surya.
Kini lurah itu sudah bertambah kaya,
hingga suatu saat gubernur van googh berkunjung ke desa Naga sari, ki lurah gajah reksa menjamu nya dengan berbagai makanan yang lezat lezat, gubernur van googh pun sangat menghormati gajah reksa,
sehingga dalam beberapa saat perbincangan mereka gajah reksa mencalonkan diri langsung kepada van googh untuk menjadi bupati di era berikut nya, dan mengiming imingi van googh dengan gadis gadis yang cantik cantik.
Tentu saja hal itu membuat van googh tergiur.
“Wel wel, lurah, nanti saya akan pertimbangkan pengangkatan lurah menjadi bupati pada era berikut nya lurah? Tapi janji kowe jangan sampai gagal lurah!?” ucap gubernur van googh kepada gajah reksa.
Gajah reksa tertawa penuh kebahagiaan, kemudian ia menjawab sambil tersenyum kepada van googh, " Tuan gubernur jangan kuatir, saya tidak akan ingkar janji tuan.."
Lalu sambil tangan mengangkat secangkir teh gubernur van googh berkata kembali kepada lurah gajah reksa, "Saya percaya janji lurah ya lurah?"
Kedua orang itu berbincang bincang cukup lama, hingga pada beberapa saat kemudian gubernur van googh pun berpamitan pada gajah reksa.
Bab 3
Tujuh tahun berlalu, Menjelang sore hari di puncak gunung karang, Seorang kakek tua terlihat sedang melatih ilmu kanuragan kepada seorang bocah laki laki.
“Ayo aryaa ikuti kakeek.. Heaa..!” Kakek itu melesat melompati pepohonan yang tinggi, beberapa saat kemudian bocah itu pun ikut melompati pepohonan tinggi, “iya kek.. hiaat!!”. Kemudian mereka kembali menapak tanah, lalu si kakek tua berambut dan berjubah putih itu melanjutkan dengan jurus jurus serangan,
pukulan dan tendangan yang di ikuti si bocah. Beberapa saat kemudian setelah lama mereka berlatih, “hahaha. sekarang kamu sudah bertambah pintar arya, kakek ingin kamu terus berlatih sampai kamu besar.!” Ujar kakek reksa itu.
“Hehehe.. iya kek tapi kalau kelamaan berlatih arya lelah kek..?” jawab bocah itu, dia lah Arya Laksana putra surya laksana yang di selamatkan
dan di rawat sejak bayi oleh kakek tua berjubah putih yang bernama Ki Panca Raga, Pendekar tua berilmu tinggi yang di segani lawan maupun kawan pada masa muda nya dahulu.
Setelah kematian istri tercinta nya dahulu ki panca raga mengasingkan diri ke puncak gunung karang dan hingga kehadiran arya.
Tiba tiba si kakek terdiam, ia seperti merasakan sesuatu yang tidak di rasakan oleh orang lain. Sambil berdiri dengan kedua tangan di belakang bokong nya, ia berkata pelan, “Alam bergejolak, jeritan suara ketakutan akan kematian, dan tangisan manusia serta mayat mayat bergeletakan, seorang bocah perempuan yang di tinggal tanpa salah dan dosa, serta tanpa mengerti apa apa di tengah keinginan sang alam”.
Arya tertegun mendengar kata kata sang kakek, ia tidak mengerti sama sekali, ia menggaruk dagu nya dengan jari telunjuk nya, di tatap nya wajah kakek tua itu, “Hekhekhek... kenapa kakek berbicara seorang diri kek?” tanya arya.
Ki panca raga menolehkan wajah nya, di tatap nya wajah bocah yang berdiri di samping nya, lalu ia berkata, “Arya besok sebelum matahari berada diatas kepala, kakek akan mengajakmu
menyeberangi lautan, kita akan pergi ke sebuah desa di kaki gunung di pulau seberang sana” kakek tua menunjukan jari nya ke arah barat dari tempat nya.
Arya mengangguk sambil tertawa kecil ia pun bertanya, “Hehehe di sana gunung apa nama nya kek” tanya arya,
Wajah tua itu menatap arya, mata nya menyimpan suatu kecemasan yang tidak dapat di mengerti oleh siapapun, “Nama nya gunung Krakatau, arya, besok kita akan kesana..” jawab si kakek.
“Sekarang kamu istirahat, setelah ibadah sore dan malam kamu harus tidur supaya bangun nanti tubuh kamu segar lagi..”
“Iya kek” jawab arya sambil ia mengangguk dan melangkah masuk kedalam gubuk kecil tempat tinggalnya bersama si kakek.
Sementara Ki Panca Raga masih berdiri menatap langit, pada wajahnya masih menggambarkan ke khawatiran yang amat dalam, beberapa saat lamanya ia berdiri menatap langit.
Tampak di lihat nya sebagian langit berwarna merah jingga, ia mendesah panjang, ketenangan sikap nya menyimpan keresahan yang tidak dapat di mengerti. Lalu kakek tua itu membalikan tubuh nya dan melangkah masuk ke dalam gubuk.
Selesai ibadah sore, arya segera membuka kitab suci Al Qur’an, ia mulai membaca nya dari halaman depan,
suaranya terdengar sangat merdu, sementara ki panca raga memasak nasi di samping gubuk, ia belum memberikan kewajiban memasak kepada arya karna baginya arya masih terlalu kecil, namun ia sudah memberikan kewajiban kepada arya untuk mengisi air pada bak kayu di belakang gubuk nya apabila bak itu kosong. Kewajiban mengisi air pada bak itu ia berikan kepada arya karna untuk melatih otot otot arya sebagai bocah laki laki yang kuat.
Selesai membaca kitab suci kemudian arya mengisi bak hanya beberapa ember dengan ember yang terbuat dari kayu, lalu arya meneruskan memotong batang batang pohon yang sudah di tebang hingga matahari terbenam.
Ketika malam tiba, setelah ibadah malam, arya pun merebahkan tubuhnya diatas dipan yang terbuat dari kayu papan di dalam kamar.
Beberapa saat kemudian ki panca raga berdiri menatap wajah arya yang sudah terlelap tidur, lalu ia berkata pelan, “Suatu saat kau akan menjadi pendekar yang gagah arya, dan membalas dendam kedua orang tuamu”
Setelah itu ki panca raga
membungkukan tubuhnya dan di ambil nya sebuah kotak kayu di bawah dipan kayu,
di tariknya kotak kayu itu, kemudian ia membuka kotak kayu itu dan terlihat lah di dalam kotak itu kepingan kepingan uang dan perhiasan emas dan perak yang cukup banyak dan sebilah pedang yang berlapis emas pula,
Lalu ia mengambil pedang yang berada di dalam kotak kayu tersebut, sebilah pedang dengan batang pedang berlapis emas dan bergagang kepala harimau.
Setelah mendorong kembali kotak kayu ke bawah dipan itu, kakek tua itu bersila membelakangi dipan kayu dimana arya tertidur diatas nya.
Di taruh nya pedang itu di hadapan nya.
Suasana malam yang hening hanya terdengar bunyi jangkrik menghiasi malam, sesekali terdengar pula suara burung hantu dan lolongan anjing hutan di kejauhan.
Arya Laksana tertidur pulas, sementara ki panca raga terdiam mengheningkan dirinya di hadapan sebilah pedang berlapis emas dan bergagang kepala harimau, kedua telapak tangan nya di rapatkan dan di tegakan tepat di depan dada nya, kedua mata nya terpejam. Beberapa saat kemudian hembusan angin sejuk mulai mengisi
ruangan itu, dari tubuh ki panca raga mulai terlihat percikan cahaya dan kepulan asap halus
mulai keluar dari tubuh nya, cahaya berwarna emas mengelilingi tubuh ki panca raga. Energi ilmu tenaga dalam serta pancaran cahaya yang menyelimuti tubuh ki panca raga semakin menebal, dan deru angin sejuk mengisi ruangan itu. Beberapa saat percikan percikan cahaya emas dan kepulan asap itu mulai bergerak masuk kedalam batang pedang di hadapan ki panca raga, cahaya emas masuk bergilir hingga pada percikan dan kepulan terakhir. Kemudian Ki Panca Raga membuka kedua matanya dan mengembuskan nafas nya perlahan. Di raih nya pedang emas di hadapanya.
Beberapa lama ki panca raga melakukan hal itu di setiap malam nya, Dan pedang itulah yang dahulu milik surya laksana, ki Panca raga membawa mayat surya yang tergeletak memegang sebilah pedang bergagang kepala harimau, lalu kakek tua itu mengubur jasad kedua orang tua arya di samping gubuk kecil yang terletak tidak jauh dari sungai tempat ratna terjatuh.
Dan ki panca raga pula yang menyelamatkan Kotak berisi emas milik ayah arya. Semenjak arya dan pedang serta kotak emas di selamatkan dan
di bawa ke puncak gunung karang, ki panca raga melebur sebagian emas milik ayah arya
untuk melapisi pedang bergagang kepala harimau itu. Dan di setiap malam di saat arya tertidur, ki Panca raga selalu mengisi pedang itu dengan energi dan kekuatan supranatural yang cukup tinggi sebagai pelengkap pedang itu menjadi pedang sakti yang akan di miliki oleh arya laksana nanti.
Malam bergulir dan langit pun mulai membias terang, fajar pun menyingsing hingga perlahan mulai terlihat matahari pagi mengintip di sebelah timur, dalam keadaan masih terduduk ki panca raga mulai membuka kedua mata nya, lalu beberapa saat kemudian ia berdiri dan membalikan tubuhnya ke arah arya yang masih tertidur, di bangunkan nya arya laksana yang terlelap tidur diatas dipan kayu di hadapan nya. Arya pun perlahan terbangun, di usapnya kedua mata nya. Pada saat itu juga kakek tua itu melangkah ke belakang gubuk untuk mandi.
Setelah mandi ia kembali masuk kedalam gubuk dan di ambil nya di dalam lemari kayu berukuran kecil, dua buah piring yang terbuat dari tanah liat yang berisi seekor daging kelinci pada satu piring,
dan beberapa potong ubi serta dua genggam nasi pada piring lainnya. Ki Panca raga melangkah keluar dari kamar nya menuju halaman depan gubuk nya. Kemudian kakek tua itu duduk diatas dipan kayu dan di letakan kedua piring berisi makanan itu di hadapan nya. Beberapa saat kemudian terlihat arya di balik pintu hendak keluar mendekatinya.
“Arya!.. ambil air untuk kita minum, kita makan dahulu setelah itu kita berangkat ke pulau itu..” Tanpa menjawab arya mengambil ceret air yang terbuat dari tanah liat dan dua gelas yang terbuat dari bambu. Ia melangkah mendekati kakek panca raga lalu ia taruh ceret tanah dan kedua gelas bambu itu di hadapan kakek nya.
“Arya mau mandi dulu kek.. “ ia berkata kemudian melangkah ke samping gubuk nya untuk mandi di belakang gubuk itu.
Arya menyiram seluruh tubuh nya dengan air di dalam bak kayu, air yang terasa dingin membuat nya segar dan kembali bersemangat.
Setelah mandi ia menemui kakek nya di halaman depan gubug, lalu ia naik dan duduk diatas dipan di hadapan ki panca raga.
“Ayo kita makan dulu, setelah itu kita berangkat ke pulau di seberang sana” Ucap ki panca raga.
“Iya kek” jawab arya laksana.
Pagi hari mereka tampak makan dengan lahap nya. Berbeda dengan arya yang penuh ceria, wajah ki panca raga terlihat menyimpan suatu kecemasan yang mendalam. Arya menatap wajah ki Panca raga, namun arya tahu bahwa kali ini
bukan waktu yang tepat untuk mengajak kakeknya bercanda.
Beberapa saat setelah mereka makan bersama, ki Panca raga turun dari dipan kayu itu dan berdiri, arya menatap wajah ki Panca raga dengan penuh rasa heran, tak biasa nya wajah kakek nya terlihat tegang dan penuh menyimpan kekhawatiran. “Ayo arya naik ke punggung kakek!” Ucap ki panca raga.
“Iya kek!” arya menjawab dan segera melompat naik ke atas punggung ki panca raga. “Pegangan yang kuat arya, kita akan menyeberangi lautan..” Ucap ki panca raga, “Baik kek” jawab arya. Dan pada saat itu juga Ki panca raga melesat hingga tak terlihat mata.
Ki Panca raga bergerak cepat dengan ilmu Harimau melompati gunung, dan tak butuh waktu lama ia telah berada di tepi laut. Kakek tua itu berdiri menatap jauh ke arah pulau di seberang
lautan,
terlihat oleh wajah cemas nya sebuah gunung di pulau itu, Gunung Krakatau.
Lalu ki panca raga menghentakan kaki nya melompat dan berlari di atas permukaan air laut, gerakan nya amat cepat hingga sesaat ia sudah cukup jauh meninggalkan pantai. Deru ombak menggulung dan gelombang lautan yang amat
deras bukanlah suatu halangan bagi kakek sakti itu. Ia terus berlari diatas lautan dengan jurus tingkat tinggi yaitu Jurus Harimau melompati Samudera. Angin kencang menerpa tubuhnya, terdengar suara arya laksana berteriak, Kakek arya takut kek..!!”
“Jangan takut arya, pejamkan matamu dan tertawa lah..!!” jawab ki panca raga.
“Baik kek!” dan arya pun memejamkan mata nya dan tertawa sejadi jadi nya.
“Hahahahaha! hahahahaha!!
Di setiap hempasan kaki ki panca raga berlari diatas permukaan air laut, arya tertawa panjang untuk mengusir rasa takut nya. Kakek tua sakti itu terus melompati ombak demi ombak dan menerobos badai angin yang sangat kencang.
Ki Panca raga adalah Pendekar yang di percaya sebagai pendekar sakti mandraguna, walaupun ia sudah tua tapi semangat dan kekuatan tubuh serta kesaktiannya belum ada seorang pendekar pun yang menandingi nya.
Tubuh nya melesat diatas lautan menuju suatu pulau dimana terdapat sebuah gunung yang bernama gunung krakatau. Namun belum saja kakek tua itu mendekati pesisir,
tiba tiba terlihat oleh nya pepohonan di kejauhan mulai bergoyang dengan goyangan yang semakin kuat, dan bumi berguncang keras dan semakin keras, beberapa saat kemudian terdengar lah suara grudukan besar yang di iringi dentuman yang amat keras,
ki Panca raga saat itu juga segera menyalurkan energi nya pada arya supaya telinga arya mampu bertahan terhadap dentuman keras itu, di susul dengan dentuman dentuman berikut nya, gunung krakatau yang terlihat di hadapan nya telah meletus hingga menyebarkan kepulan asap tebal dan debu berterbangan, kakek sakti itu terdiam sesaat di atas pohon,
ia berfokus pada dirinya yang kemudian dari tubuh nya keluarlah cahaya putih hingga menyelimuti seluruh tubuhnya dan tubuh arya lalu ia kembali melesat hingga menuju pepohonan dan melompat dari pohon ke pohon,
suara ledakan gunung krakatau tidak ia hiraukan,
Kakek terus berlari dan melompat dari pohon ke pohon, di bawah nya terlihat para penduduk desa yang sedang berlarian menyelamatkan diri, teriakan kencang terdengar di mana mana, sementara arya tetap
memejamkan mata nya. Telinga bathin ki panca raga mendengar suara tangisan bocah perempuan dari kejauhan.
Sambil terus melompat dan berlari di udara ki panca raga mengamati atap sebuah rumah, lalu ketika ia sampai pada atap rumah itu kakek tua itu segera menerobos atap rumah dan masuk kedalam nya, terlihat oleh nya seorang bocah wanita sedang menangis memanggil manggil ibu nya.
Segera ki panca raga mendekati bocah itu, namun ketika ia hendak meraih tubuh bocah itu, mata nya mengarah pada bilik kamar dimana terletak pada dinding itu sebilah pedang pendek bermata dua dan bergagang kepala garuda.
Ki Panca raga mengambil pedang itu dengan tangan kiri nya, kemudian tangan kanan nya meraih tubuh bocah itu, Arya menatap sang bocah dalam dalam, ia tau bahwa kakek nya hendak menolong bocah itu.
Kemudian Ki Panca raga menggendong bocah itu dan kembali menerobos keluar melalui tempat dimana ia masuk ke dalam rumah itu.
Terlihat cahaya yang menyelimuti tubuh ki panca raga serta arya seketika itu juga langsung membalut tubuh bocah perempuan yang berumur lima tahun itu. Ki Panca raga melesat dan berlari di udara, menerobos kepulan asap tebal dan debu yang berhamburan di udara.
Bocah perempuan itu seketika diam. Ia menatap wajah kakek panca raga dan arya.
Di atas ribuan manusia yang berhimpitan dan berteriak histeris, ki Panca raga melayang di udara dan melompati pepohonan dari pohon ke pohon hingga pada pohon yang terakhir ki paca raga melompat turun pada permukaan air yang deras mengalir membanjiri daratan.
Dengan kedua bocah dalam gendongan nya, ki Panca raga sama sekali tidak mengalami kesulitan berlari diatas air hingga menerobos badai besar dan kepulan asap tebal.
Ombak laut yang semakin besar di lalui nya, angin yang tebal dan gulungan badai di terjang nya. Cahaya yang menyelimuti tubuh mereka tidak membuat nafas mereka sesak oleh asap yang tebal. Deburan ombak demi ombak di langkahi nya, kakek sakti itu terus berlari di atas lautan hingga beberapa hentakan kaki nya kemudian sampai lah ia pada tepi pantai.
Kakek tua menjejakan kaki nya ke tanah, sesaat ia menengok ke belakang, dan kemudian ia kembali melesat berlari dengan cepat nya hingga pada pohon pertama yang ia temui, kakek tua itu melompat keatas pohon dan kembali berlari dari pohon ke pohon hingga pada puncak gunung karang tempat tinggal mereka. “Hap hap hap!!!.. hiaaa!!”
Kedua kaki pendekar tua itu menapaki tanah tepat pada pelataran di depan gubuk nya, lalu ia pun melangkah dengan cepat membawa kedua bocah itu masuk kedalam gubuknya. Kakek itu berjongkok menurunkan arya dan bocah perempuan itu, kemudian kedua bocah itu pun turun dari gendongan ki panca raga.
“Alhamdulillah..” Ucap ki panca raga, lalu ia menuntun kedua bocah itu masuk kedalam kamar dan naik ke atas dipan tempat tidur arya,
Sementara kakek tua itu melangkah keluar gubuk dan di ambilnya ceret tanah yang masih berisi air, juga dua gelas bambu, kemudian ia masuk kembali ke dalam kamar nya dan memberikan kedua gelas bambu itu pada arya dan bocah perempuan yang baru saja di selamatkan nya,
Sambil duduk di tepi dipan kayu itu,
Ki panca raga menuangkan air dalam ceret pada kedua gelas bambu di tangan arya dan bocah perempuan itu.
“Siapa namamu nak, tanya ki panca raga pada bocah perempuan itu. “Ajeng kek..” jawab bocah itu. Arya menatap wajah kakek nya, lalu ia menatap wajah bocah itu arya berucap “Alhamdulillah sekarang kamu sudah selamat, hehehe kenalkan nama ku arya..”
Arya menjulurkan telapak tangan nya pada bocah perempuan itu, bocah itu pun ikut menjulurkan tangan nya. Ki Panca raga tersenyum melihat kedua bocah, Lalu ia bertanya kepada sang bocah sambil mengusap pedang yang ia ambil dari rumah si bocah perempuan.
Lalu pedang ini punya siapa ajeng?” ajeng menatap pedang di tangan ki panca raga, sesaat kemudian ia menjawab, “Punya ayah kek”, bocah perempuan itu menatap wajah kakek tua yang baru menyelamatkan nya.
“Kemana ayah mu ajeng?” ki panca raga kembali bertanya. Lalu ajeng menunduk di hadapan ki panca raga, sesaat kemudian ia kembali menatap ki panca raga dan arya laksana, lalu ia berkata,
“Sudah meninggal kek?” ajeng menjawab dengan suara pelan.
Kemudian Ki Panca raga meneruskan pertanyaan nya, “Ibu mu Kemana ajeng?” tangan ki panca raga mengusap kepala bocah perempuan itu, kemudian bocah itu menggelengkan kepala nya, ia tidak mengerti ketika dentuman pertama gunung krakatau ibunya lari meninggalkan rumah tanpa membawa dirinya,
Ia juga tidak mampu menceritakan kepada ki panca raga kenapa ibu nya meninggalkan diri nya. Namun firasat ki panca raga tidak pernah meleset bahwa bocah perempuan itu sengaja di tinggalkan oleh ibunya.
Arya tersenyum kepada bocah perempuan itu, kemudian ia berkata kepada bocah ajeng,
“Hehehe sekarang kamu sudah punya kakek sama aku, kamu jangan menangis lagi ya ajeng? Kakek orang baik..” Kemudian ajeng mengangguk.
Ia menatap mata arya kemudian ia tersenyum. Beberapa saat kemudian Ki Panca raga bangun dari duduk nya, ia melangkah keluar gubuk dan di tatap nya langit di sekitar nya, kakek tua itu memperhatikan udara sekeliling nya yang sudah bercampur kepulan asap dan debu.
Lalu ki panca raga masuk kembali kedalam gubuk nya. Namun ki panca raga tetap menjalankan kewajiban nya memasak nasi, memanggang kelinci atau ayam hutan untuk memberi makan arya dan ajeng. Hari ini kedua bocah itu tidak di izinkan untuk keluar dari gubuk, mereka harus berada di dalam gubuk dan menutup pintu serta jendela rapat rapat.
Kecuali pada hari hari berikutnya walaupun kepulan asap belum memudar dan hilang, ki Panca raga tetap melatih ilmu kanuragan kepada arya, begitupun ajeng kini telah di wajibkan untuk mengikuti pelajaran ilmu kanuragan yang di turunkan oleh Ki Panca Raga walaupun ia hanya bergerak se kena nya,
Ki panca raga tidak terlalu memaksa dalam setiap gerakan, ia tahu bahwa bocah berumur lima tahun seperti ajeng belum terlalu mampu menangkap pelajaran dari nya. Hari demi hari terlewati ajeng terus mengikuti arya laksana berlatih bersama ki panca raga, tahun tahun berlalu hingga ajeng mampu menyerap setiap ilmu yang di Ajarkan guru sekaligus ayah angkat nya itu.
Setelah berlatih ki panca raga mengajak kedua bocah berburu kelinci atau ayam hutan untuk makan.
Arya sangat menyayangi dan melindungi ajeng, ia selalu membawa ajeng setiap waktu berburu kelinci atau ayam hutan, ia mengajari pula kepada ajeng cara berburu kelinci hutan dan ayam hutan, maupun berburu rusa untuk makan mereka bersama ki panca raga.
Dalam keterlamunan nya ki Panca raga mengingat masa masa dimana ia baru memulai kehidupan nya di puncak gunung karang setelah istri tercinta nya tewas terbunuh oleh Pendekar golongan hitam namun ia dapat membalaskan dendam nya, Pendekar golongan hitam itu tewas di tangan nya,
Dan ia berjanji apabila ia berhasil membalaskan dendam istrinya maka ia akan mengundurkan diri dari dunia persilatan dan lebih memilih menyendiri di puncak gunung karang ini.
Sejak pertama kali ia menginjakan kaki nya di puncak gunung karang ini, hidupnya serasa sepi, hari hari nya di lalui hanya dengan ibadah kepada allah subhana wa ta’ala.
Kini selain bribadah kepada allah, ia juga harus merawat dan membesarkan dua orang anak manusia yang bukan darah dagingnya sendiri, namun hatinya berbahagia, ia tidak lagi merasa sepi, ia di temani arya dan ajeng.
Ki panca raga telah memiliki dua orang yang akan mewarisi ilmu ilmu kanuragan dan kesaktiannya. Arya dan ajeng sangat tekun berlatih, selain menurunkan ilmu ilmu kanuragan dan kesaktiannya, ki Panca raga juga mengajari ilmu agama sejak mereka masih kecil, serta didikan ahlak dan cara mengenali watak manusia di keramaian.
Ki Panca raga juga banyak bercerita tentang tokoh tokoh sakti golongan putih maupun hitam supaya arya dan ajeng bisa mengenal kawan dan lawan.
Hari demi hari di lalui ki panca raga hanya melatih arya dan ajeng, tak ada harapan imbalan apapun di dalam hati ki panca raga mengenai kedua murid nya itu, melainkan mereka kelak akan menjadi manusia manusia berbudi luhur yang dapat mengangkat derajat sesama nya. Dan merubah kesedihan orang lain menjadi suatu kebahagiaan.
Arya dan ajeng merupakan dua bocah yang giat dalam berlatih ilmu kanuragan, patuh dan hormat kepada guru nya walaupun kedua nya sering memulai canda kepada guru nya namun mereka tidak pernah melebihi batas batas kesopanan dan tatakrama antara murid dan guru.
Bab 4
Sepuluh tahun kemudian.
Pagi menjelang siang, di bawah sinar matahari yang menyengat kulit, terlihat tiga sosok berkelebatan di udara, melompat dan berlari saling kejar diatas pohon, dari pohon kepohon. “Ayo arya, ajeng, kejar kakek.. hahahaha...!!” Suara ki panca raga terdengar menyebut nama kedua murid nya dan terdengar pula ia tertawa. Hari itu ki panca raga bersama kedua murid nya sedang berkeliaran melatih kecepatan gerakan berlari di udara. Beberapa lama nya mereka saling kejar di udara, sesekali mereka menapak pada ujung pepohonan atau ranting ranting pohon, sesekali mereka memutar tubuh nya di udara.
Kemudian pada saat itu juga, bagaikan seekor rajawali buas menerkam kelinci Ki Panca raga menukik ke bawah dengan kedua tangan mencengkram, hingga “Krakh!!!” Kedua cengkraman tangan ki panca raga mencengkram tanah dan secepat nya kedua kaki kakek sakti itu mendarat, “Blek!”
Hal itu di ikuti oleh arya dan ajeng, kedua murid ki panca raga menukik ke tanah dengan kedua tangan mencengkran, “Krakh!!” lalu kedua kaki mereka menjejak tanah “Jleg”
“Bagus, bagus, arya, ajeng., jurus itu di namakan dengan jurus rajawali Turun gunung” Ucap ki panca raga merasa senang dengan keberhasilan kedua murid nya. Kemudian sambil tertawa pelan ki panca raga melangkah menuju dipan kayu di tengah pelataran itu, ia duduk diatas dipan. Arya dan ajeng mengikuti melangkah dan duduk diatas dipan itu.
“Nah kalian ambil makanan dan minum nya, kita makan terlebih dahulu, setelah itu aku akan bercerita kepada kalian” kakek panca raga berkata. Tanpa di perintah dua kali arya dan ajeng segera turun dari dipan dan melangkah masuk kedalam gubuk, arya mengambil tiga piring makanan dan ajeng mengambil ceret tanah berisi air minum dan tiga gelas bambu, mereka menyantap makanan nya masing masing.
Ketiga piring yang terbuat dari tanah liat itu berisi masing masing satu ekor daging kelinci bakar dan tiga genggam nasi.
Beberapa saat setelah mereka makan dengan kenyang, dan minum, ki Panca raga menatap wajah kedua muridnya, ia mulai bercerita kepada arya dan ajeng, “Dengar baik baik arya, ajeng.. dan untuk kamu arya, Aku akan menceritakan asal usulmu” Ucap kakek panca raga mencoba menceritakan tentang kematian surya laksana ayah arya, kakek tua itu meneruskan,
“Dua puluh tahun yang lalu semasa kamu masih bayi, ayahmu adalah seorang pedagang kaya yang baik hati, dan ibumu adalah seorang wanita yang baik pula, Namun karna iri dengki seorang lurah yang bernama Gajah reksa, Ayah dan ibumu tewas di bunuh oleh gajah reksa dan kedua pengikut nya, yaitu balung ketir dan jaga laga, lalu kau arya, aku menyelamatkanmu saat ibumu yang sedang menggendong mu, ia tertancap golok dari salah seorang pengikut gajah reksa dan terjatuh di jurang sungai”
Ki panca raga terdiam sesaat, lalu ia meneruskan,
“Mereka merencanakan Perampokan pada rumah ayahmu beberapa hari sebelumnya, namun sayang aku tidak mengetahui hari pastinya mereka bergerak, dan aku terlambat.”
Arya dan ajeng mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu ki panca raga meneruskan,
“Bukan itu saja, tapi gajah reksa telah menguasai rumah dan sawah serta ternak milik ayahmu”
Ki panca raga tèdiam sesaat, dkemudian,
“Tunggu sebentar murid murid ku” ucap ki panca raga, lalu ki panca raga menurunkan kedua kaki nya dari atas dipan kayu, ia berdiri dan melangkah masuk ke dalam kamar nya.
Di dalam kamar ki panca raga membungkuk di depan dipan tempat arya tidur, ia menjulurkan tangan nya ke bawah dipan, di ambil nya sebuah kotak peti berukuran panjang, lalu di buka
Nya kotak itu, terlihat dua bilah pedang di dalam kotak itu, kemudian Ki Panca raga mengambil kedua pedang itu, kedua pedang tanpa sarung, pedang yang agak panjang tampak berlapis emas dan bergagang kepala harimau.
Dan pedang yang agak pendek terlihat berlapis perak. Ki Panca raga kembali memasukan kotak peti itu kebawah dipan, lalu ia membalikan tubuhnya dan melangkah keluar menemui kedua murid nya.
“Wah pedang ya kek?” Tanya ajeng yang melihat kakek nya berjalan mendekati. “Hahahahaha sudah tau pedang kenapa kamu bertanya ajeng, hahaha” cetus Arya.
Ajeng menjawab dengan wajah sewot dan mulut nya sedikit monyong, “Huh aku Cuma nanya kok malah di tertawai Arya?” jawab ajeng. Kakek panca raga mendekat dan kembali naik keatas dipan itu. Ki panca raga meletakan kedua pedang itu di hadapan nya.
Sementara arya dan ajeng memperhatikan kedua pedang itu dengan rasa takjub,
Arya dan ajeng terdiam, pada wajah mereka terlihat senyum yang di paksakan oleh keduanya,
hati mereka terasa sedih usai mendengar cerita kakeknya, namun mereka tak mau hal itu di ketahui oleh Ki Panca raga walaupun
sesungguhnya ki panca raga mengetahui perasaan mereka.
Kini arya telah menjadi pendekar muda yang tampan dan gagah,
di dalam hati kedua murid ada perasaan ingin mencoba menggunakan pedang itu karna selama mereka berlatih ilmu pedang, mereka hanya menggunakan sebatang kayu sebagai pedang nya.
Lalu ki panca raga meneruskan.
"Pedang Emas ini dahulu milik ayahmu arya, ia tewas dengan memegang pedang ini di halaman rumahnya. Dan sengaja aku melapiskan pedang ini dengan leburan emas milik ayah mu, dan sekaranglah waktunya pedang ini menjadi milik mu..” Ki Panca Raga memegang pedang emas itu dan di tegakan pedang di hadapannya, arya dan ajeng tertegun melihat pedang yang begitu memikat itu, mereka menahan rasa ingin menyentuh pedang itu.
"Hehehe bagus sekali pedang nya kek,” Ujar arya.
Ki panca raga tersenyum, kepala nya mengangguk pelan, ia menatap wajah kedua muridnya
bergantian, ia menaruh pedang emas itu dan di angkatnya pedang perak dengan di tegakan nya berdiri di depan dada nya.
Kemudian kakek tua itu berkata kepada ajeng, “Nah kamu ajeng, aku menemukanmu di sebuah rumah saat gunung krakatau meletus, waktu itu ketika seluruh penduduk sedang berlarian
menyelamatkan diri, dan pedang perak ini adalah pedang ayah mu yang aku ambil pada dinding bilik rumah itu, aku melebur perak milik ayah arya untuk melapis pedang ini, sama seperti pedang emas pedang ini telah berisi kekuatan tenaga dalam dan kesaktian tingkat tinggi".
“Iya kek” ajeng menjawab dengan menatap pedang perak itu ditangan kakek panca raga, kemudian ia menatap wajah arya kemudian menatap ajeng.
menundukan wajah nya. Arya tersenyum kepada ki Panca raga lalu ia bertanya, “Tapi kenapa kedua pedang ini tidak memiliki sarung kek, tidak seperti pedang milik kakek yang menempel di belakang pintu kamar kek?” Kembali ki panca raga tersenyum, dan ia pun menjawab,
“Arya, Rumah adalah tempat kamu berpulang di dunia ini, namun sejati nya tempat berpulang itu
tidak kelihatan, yaitu Akherat.. Pedang ini tidak memiliki sarung yang terlihat, tapi di sekeliling dirimu itulah tempat sarung yang tidak terlihat, kalian bisa menyarungkan pedang ini di bagian
manapun diri kalian..” Ki Panca Raga menjelaskan.
Kakek tua itu mengangkat pedang perak itu dan menempelkan pada bagian punggung nya, seketika itu juga pedang perak pun lenyap hilang,
arya dan ajeng tertegun melihat pedang perak itu menghilang, kemudian kakek tua itu mengambil pedang emas di hadapan nya, dan diangkat pedang itu serta di tempelkan pada bagian punggung nya,
seketika pedang emas pun hilang tak terlihat, kembali arya dan ajeng.
“Di sekeliling tubuh kita ada suatu lapisan alam
yang semakin dalam dan dalam, pusatkan pikiran kalian dan letakan pedang kalian pada lapisan yang paling dalam.
Ucap ki panca raga menatap arya dan ajeng”. Kemudian arya dan ajeng saling bertatapan, ajeng menganggukan kepalanya kepada arya, pemuda tampan itu pun tersenyum dan mengangguk.
“hehehe.. kalian pasti dapat mengerti” berkata ki panca raga sambil kedua tangan nya diangkat ke arah punggung nya seolah mengambil sesuatu,
dan seketika itu pula kedua pedang itu sudah kembali terlihat oleh mata arya dan ajeng.
"Arya, ajeng, sudah sekian lama kalian bersama kakek di puncak gunung karang ini semua ilmu
ilmu kakek sudah kakek turunkan kepada kalian,
Sekarang kalian sudah dewasa,
dan sekaranglah saat nya kalian turun gunung untuk mengamalkan semua ilmu dari puncak
gunung karang ini.. Tolonglah orang yang kesusahan, dan hentikan mereka yang berbuat dzholim, setiap ilmu yang baik adalah ilmu yang di iringi dengan aturan aturan agama, jika kalian harus menghukum maka hukumlah orang orang
yang bersalah, carilah jaga reksa dan kedua pengikutnya, balaskan kematian kedua orang tua mu arya"
Ki Panca Raga menjelaskan dengan panjang lebar.
Tapi dimana makam kedua orang tua ku kek? Dan dimana aku harus mencari ketiga orang itu?" Tanya arya.
Kakek tua berambut putih itu menatap wajah arya, kemudian berpindah menatap wajah ajeng, lalu ia kembali menatap wajah arya, dan ia pun menjawab, "Melalui tiga desa di kaki gunung karang ini kalian akan menemukan sebuah sungai, dan didalam hutan di samping gubuk itulah makam kedua orang tuamu,
Lalu berjalan lah menyeberangi sungai dan melalui jalan setapak maka kalian akan menemui desa dimana gajah reksa menjadi lurah dahulu,
desa itu bernama desa naga sari,
dan saat ini keadaan desa Naga sari serta desa desa lain di sekitar nya sedang membutuhkan bantuan kalian" "Iya kek" jawab arya dan ajeng berbarengan.
Namun dibalik jawaban nya nampaklah kesedihan di mata kedua nya karna hari ini mereka akan turun gunung yang berarti mereka akan meninggalkan kakek yang mereka cinta, yang
sekian lama membesarkan dan merawat mereka.
Namun tuntutan kewajiban dan tugas dari sang kakek bukanlah hal yang bisa di abaikan.
Mereka tak punya pilihan.
hari ini kedua pendekar muda itu harus turun gunung untuk mengamalkan ilmu nya.
Beberapa saat kemudian kakek tua itu berkata lagi, "Aku tidak suka murid muridku bersedih, tertawalah ajeng, arya, dan ambil kedua pedang ini" ki panca raga memberikan kedua pedang itu kepada arya dan ajeng.
Kedua pendekar muda itu menerima pedang yang di berikan ki panca raga, keduanya mengucapkan “Terimakasih kek, dan terimakasih atas segalanya, kakek telah merawat dan membesarkan kami.”
“Hehehe arya, ajeng kelak kalian akan memiliki kewajiban yang serupa disuatu masa nanti.
Dan ajeng telah menjadi gadis pendekar yang cantik, tubuh nya mungil dan lincah, kedua pendekar muda itu merupakan pendekar yang penuh semangat dan keceriaan.
“Sekarang kalian pergilah, amalkan ilmu kalian di jalan yang benar, biarkan kakek sendiri, karna kalian punya tugas di dalam kehidupan orang lain, ingat segala pesan kakek, dan kamu ajeng ajaklah arya jika kamu ingin mencari sanak keluargamu di kaki gunung krakatau.. dan jika suatu saat kalian kembali kesini tanpa aku, artinya aku belum mengizinkan kalian untuk kembali kesini..
Dan Ingat arya, Namamu Arya Tawa,
Dan kamu ajeng, namamu Ajeng Rengganis”
Wajah ki Panca raga tersenyum mengucapkan kata kata itu dihadapan kedua murid nya.
Baik kakek”
Jawab kedua pendekar muda itu
Kemudian arya dan ajeng menundukan wajahnya di hadapan guru sekaligus orang tua asuhnya itu, pada saat itu juga kedua pendekar muda itu
Segera membungkukan tubuhnya menunjukan sikap dan rasa hormat nya yang terakhir, beberapa saat kemudian ketika arya dan ajeng mengangkat tubuhnya,
“Blass!” Ki Panca Raga pun sirna hilang entah kemana, kedua pendekar muda Itu tersentak kaget, guru nya lenyap dari hadapan nya.
Kedua nya segera bangkit dan turun dari dipan kayu itu, Serentak mereka mencari keberadaan gurunya kesana kemari.
“Kakek! Kakek!” Ucap arya dan ajeng memanggil manggil kakek nya, mereka seraya berlari ke dalam gubuk tempat nya tinggal, hingga beberapa saat mereka mencari dan memanggil kakeknya namun tak juga mereka temukan.
Ki panca raga sudah memberi bekal kepada kedua murid muridnya, juga amanah yang agung, kini saat nya arya dan ajeng untuk turun gunung dan ikut serta di keramaian hidup manusia.
Arya dan ajeng pun terdiam dan di tengokan nya kepala nya kekanan dan kekiri, lalu tiba tiba.
“Wut wut!”
“Krikkrik”
Dua bungkusan kain yang tampak nya berisi penuh kepingan sesuatu di lempar dan jatuh di tanah tepat di hadapan kedua pendekar itu.
Arya mengambil satu kantong,
Dan ajeng pun mengambil kantong yang satunya.
“Lalu kedua nya membuka kain itu, “Uang emas ajeng!” Ucap arya. “Iya aku uang perak, arya!” Jawab ajeng.
Namun tiba tiba suara ki panca raga terdengar menggema, “Ingat arya, ajeng, Jangan pernah bersedih, cepat tinggalkan tempat ini!”
Mereka pun berteriak menghadapkan wajah nya kesekeling nya “Baik guru! Kami pamit guru!”
Keduanya melangkah perlahan meninggalkan gubuk tempat tinggal mereka sejak kecil, meninggalkan pelataran tempat mereka bermain pada masa kecil dahulu, meninggalkan segala kehidupan mereka di puncak gunung karang, meninggalkan puncak gunung karang.
Kemudian arya dan ajeng mengangkat pedang yang dipegang nya kearah punggung, dan kedua pedang itu ditempelkan pada punggung nya masing masing, seketika kedua pedang itu menghilang raib tak terlihat mata.
Kedua pendekar muda itu berjalan, menyusuri jalan setapak, menuruni puncak gunung karang, mereka memasukan kedua bungkusan uang itu dibalik baju mereka.
Pakaian yang serba hijau tua dan ikat kepala hijau yang di kenakan arya, menambah kegagahan dan ketampanan nya, begitupun ajeng yang memakai pakaian serba hijau muda dan ikat kepala hijau muda tampak terlihat anggun dan cantik sekali.
Sesekali mereka menengok ke arah hutan yang berada di kanan dan kiri mereka, sesekali pula mereka menengokan wajah nya melihat terang nya langit.
Arya menengokan wajah nya ke wajah ajeng, lalu ia berkata, “Ajeng namamu bagus sekali, ajeng rengganis, tidak seperti aku, kenapa kakek memberi ku nama Arya Tawa, hehehe!”
“Mungkin karna kamu selalu tertawa arya?”
Jawab ajeng sambil tertawa pada arya.
Di sepanjang jalan mereka berbincang bincang di jalan setapak, jalan menurun yang banyak di tumbuhi pepohonan liar, dan terkadang pula mereka harus melompati bebatuan besar yang menghalangi separuh jalan itu, hingga tak terasa mereka telah jauh meninggalkan puncak gunung
Karang, satu dua desa mereka lalui, hingga desa ke tiga, “Ajeng ini desa ketiga dari kaki gunung, berarti setelah desa ini ada hutan dan sungai dimana terletak makam ayah dan ibu ku”
Ucap arya.
“Iya arya, aku ingat kakek mengatakan makam kedua orang tuamu di pinggir hutan dekat sebuah gubuk yang tidak jauh dari sungai..” jawab ajeng.
“Iya ajeng” Ucap arya.
Mereka terus berjalan memasuki desa,
Dimana di lihat nya para penduduk desa berlalu lalang di sekitarnya, begitupun desa desa sebelum nya di penuhi keramaian penduduk dalam melakukan pekerjaannya masing masing. Arya dan ajeng menundukan kepalanya dan tersenyum setiap ada penduduk yang memperhatikan nya.
Kedua pendekar itu terus melangkahkan kakinya hingga keluar dari desa itu dan bertemu dengan hutan yang di maksud oleh Ki Panca Raga.
Beberapa langkah arya dan ajeng memasuki hutan itu, kemudian, Hiatt!!” tiba tiba arya melesat melompat ke atas pohon besar yang cukup tinggi, di ikuti ajeng, “Hiatt!!”, lalu ajeng berdiri diatas pohon tepat di samping arya.
Kedua pendekar muda itu memperhatikan seisi hutan, mereka menengokan kepalanya ke kanan
Dan ke kiri, dan beberapa saat kemudian,
“Itu sungai ajeng!” Ucap arya,
“Iya arya, itu disana gubuk nya” jawab ajeng.
Arya pun bergerak melompat dan berlari di udara menuju pohon berikutnya, begitupun ajeng melompat mengikuti arya, mereka melompat dari pohon ke pohon hingga pohon terakhir, lalu turun menjejak tanah, “Happ!!.. Happ!!..”
Mereka turun tepat di belakang gubuk di tepi sungai, gubuk tempat ki panca raga beristirahat saat mencari ikan.
Arya dan ajeng melangkahkan kaki nya kearah samping gubuk yang terlihat usang itu.
Sambil menyibakan rerumputan dan ilalang yang menghalangi, mereka melihat lihat kesana kemari, mencari makam kedua orang tua arya.
“Itu arya!” Cetus ajeng menunjuk ke arah suatu tempat, Arya segera memegang pergelangan tangan ajeng, mereka berjalan menuju arah yang di tunjuk ajeng, terlihat oleh nya dua makam berdampingan, lalu arya berjongkok pada sisi dimana tertancap dua buah batu nisan yang bertuliskan nama Surya dan Ratna.
“Oh kedua makam ini sangat bersih sekali arya, apakah kakek yang merawatnya setiap waktu?”
Tanya ajeng kepada Arya, arya mengangguk tanpa berkata kata, kemudian mereka terdiam bersamaan, ingin rasanya arya menangis dan memeluk kedua makam itu namun di ingatnya.
Pesan guru nya bahwa ia tidak boleh bersedih dalam keadaan apapun.
Beberapa saat arya dan ajeng terdiam dalam keadaan hening, kemudian arya mendongakan kepalanya menatap langit, sesaat kemudian ia hadapkan kembali wajahnya pada kedua batu
Nisan itu, “Ayah, Ibu, dihadapan makam kalian aku bersumpah akan membalaskan dendam kalian kepada ketiga musuh kalian..!”
Ajeng terdiam, matanya sayu menoleh dan menatap wajah arya di samping nya,
Kemudian bersamaan dengan itu,
Terdengar suara gledek beriringan,
“Gledegledeg!.. gledegledek! Durr!!
Krekekekekek, duarr!!
Langit menjelang siang hari yang terang benderang, seketika itu berganti mendung.
Seketika itu pula rintik hujan turun membasahi bumi, sesaat arya dan ajeng saling bertatapan lalu keduanya menatap ke arah langit. Lalu ajeng mencolek lengan arya. Mereka pun berdiri dan berlari kecil ke arah gubuk.
Sementara di tengah rintik hujan yang kian menderas, suara gledek yang di ikuti gletar halilintar dan kilatan cahaya memanjang diatas langit yang semakin menggelap.
Bab 5
Hujan semakin deras, dan angin yang semakin menderu. Di puncak gunung karang, di sebuah gubuk tempat tinggal ki panca raga, terlihat kakek tua itu sedang berdiri di depan pintu gubuk, di pandang nya kilatan cahaya yang menggletar di atas langit, ia pun bergumam.
“Muridku arya telah bersumpah..”
Lalu ia melangkah masuk ke dalam gubuk menutup pintu gubuk itu dengan palang kayu berukuran besar.
Hujan yang semakin menderas, arya dan ajeng masih berdiri di depan gubuk tua tempat ki panca raga beristirahat ketika sedang mencari ikan di sungai.
“Artinya setelah sungai itu kita akan memasuki desa Naga sari tempat tinggal orang tua ku dahulu ajeng” Ucap arya kepada ajeng, di tengah suara deras nya hujan dan gletar Petir menghiasi langit, ajeng menatap wajah arya, lalu sambil ia mengusap wajah arya, ia pun menjawab,
“Iya arya, aku ingin kamu menyelesaikan masalah dengan tanpa rasa dendam” ajeng tersenyum,
Arya pun tersenyum menganggukan kepalanya.
Lalu di sibakan nya beberapa helai rambut ajeng yang menutupi sebagian wajah cantik itu.
Beberapa lama mereka berbincang bincang di depan gubuk tua itu, kemudian
“Hujan nya sudah reda arya” Ucap ajeng,
“Iya ajeng ayo kita ke desa itu, jawab arya sambil melangkah keluar dari gubuk itu,
Namun ajeng diam tak bergerak sedikit pun, wajahnya tampak cemberut dan matanya memandang kearah wajah arya,
“Ayo ajeng, tunggu apalagi?” Ajak arya pelan,
“Aku lelah arya..” jawab ajeng,
Seketika itu juga arya tawa memahami keinginan
Ajeng rengganis, kemudian arya mendekat tepat dihadapan ajeng dan di colek nya hidung ajeng, kemudian arya membelakangi ajeng dan ia pun segera berjongkok.
Ajeng rengganis segera naik ke punggung arya,
Pemuda itu pun berdiri dan berlalu meninggalkan gubuk itu dengan menggendong wanita bertubuh mungil yang sangat ia sayangi sejak mereka masih bocah.
“Hehehehehe... kamu sekarang sudah besar ajeng, suatu saat aku tidak akan menggendongmu lagi”
Ucap arya tawa.
“Kan hanya kali ini arya, hehehehe..”
Jawab ajeng.
Arya berjalan meninggalkan gubuk tua itu, melewati sebuah jembatan diatas sungai yang deras itu dan menyusuri jalan setapak di tepi sungai, arya melihat ke kanan dan ke kiri, jalan setapak dimana jalan itu adalah jalan yang sama ketika ibu arya berlari di kejar oleh balung ketir dan jaga laga.
Kemudian arya dan ajeng melihat pada kejauhan Lalu lalang penduduk desa yang sedang sibuk dengan kegiatannya masing masing, arya pun berjongkok menurunkan ajeng, “Sudah banyak orang ajeng”
Ucap arya, ajeng pun turun tanpa menjawab. Mereka melangkah memasuki desa naga sari.
Tampak di kanan kiri jalan penduduk memandang arya dan ajeng, kedua pendekar itu pun
Menganggukan kepalanya sambil tersenyum, beberapa penduduk itu menatap wajah arya dan ajeng tanpa balas tersenyum.
Namun hal itu tidak di hiraukan oleh arya dan ajeng, kedua pendekar itu terus melangkah, di tengoknya kanan dan kiri, tampak oleh mereka setiap penduduk sama sekali tidak ada seorang wanita pun. Namun hal itu tidak disadari oleh kedua pendekar itu.
Bersamaan dengan itu mata arya dan ajeng tertuju pada seorang yang sedang berteriak meneriakan sayembara, orang itu berjalan sambil tangan kanan nya menggoyang goyangkan tali pada sesuatu semacam lonceng di tangan kirinya.
“Sa yem bara!! Sa yem bara!!
Adu laga tahunan desa Naga sari dan desa desa lain nya!”
Arya menghentikan langkahnya dan bertanya pada seorang penduduk di dekat nya, sementara ajeng masih memperhatikan orang yang berteriak itu. “Maaf pak, itu sayembara apa?”
Tanya arya.
“Oh itu sayembara adu laga tahunan den, siapa saja yang menang akan mendapat hadiah ternak,
Atau diangkat menjadi kaki tangan nya lurah jaga laga den..!?”
“Jaga laga?” Sambil menggaruk dagunya arya berkata kata dalam hati,
“Hehe rupanya setan itu sudah menjadi lurah, lalu kemana gajah reksa dan balung ketir?”
Tanya arya dalam hati,
“Oh ya sudah pak, terimakasih pak?”
Ujar arya, “Iya iya den”
Bapak itu menjawab lalu ia pergi meninggalkan arya dan ajeng. “Arya itu kedai!” Cetus ajeng tiba tiba. “Iya ajeng, kita mampir makan dikedai itu” jawab arya.
Mereka pun mendekati kedai, dan kemudian masuk kedalam kedai itu,
“Permisi pak?”
Ucap arya tersenyum kepada pemilik kedai yang sedang membenahi piring dan gelas di satu meja, dan terlihat oleh arya dan ajeng beberapa orang laki laki yang sedang duduk saling berhadapan,
Di meja mereka terlihat beberapa gelas berisi teh dan kopi, namun yang menarik perhatian arya dan ajeng adalah wajah lelaki lelaki itu yang tampak
Angker dan pada pinggang setiap orang itu terselip golok yang kesemuanya bergagang tengkorak merah. “Mari silahkan den..”
Jawab pemilik kedai, wajahnya tersenyum dan kepala nya mengangguk pada arya dan ajeng.
Kemudian pemilik kedai membawa piring piring tanah dan gelas kotor ke dapur kedai, ia menaruh piring piring dan gelas kotor itu pada sebuah ember kayu di balik pintu yang terdapat sebuah ruangan khusus mencuci piring di balik dapur.
Pemilik warung itu bertanya tanya dalam hati,
“Siapa dua orang pendekar muda itu?”
Sepertinya ia orang baru yang datang di kedaiku!?”
Setelah itu bapak tua pemilik kedai itu segera menghampiri arya dan ajeng,
“Aden berdua mau makan atau mau ngeteh den?”
Tanya pemilik kedai sambil tersenyum.
“Arya dan ajeng tersenyum menatap si pemilik kedai, sementara pada meja meja lain nya setiap orang yang berpakaian serba merah menatap arya dan ajeng dengan tatapan sinis.
“Hehe ada daging kelinci pak?”
Tanya arya sambil tertawa kecil, “Oh tidak ada den?” Jawab pemilik kedai dengan suara yang
Pelan. Arya kembali bertanya, “Lalu ada nya apa pak?”
Pemilik kedai terdiam sesaat,
Kemudian ia menjawab menyebutkan beberapa menu yang ada di kedai nya, “Ada daging ayam dan daging kambing den, ikan juga ada.. ada juga tempe dan tahu den..”
“Ya sudah nasi basah dengan daging ayam dan tempe ya pak dua piring, dan minum nya teh hangat tawar saja?” Ucap arya.
“Oh iya den” jawab si pemilik kedai.
Terlihat oleh arya dan ajeng tiga orang pada meja lain nya yang baru saja menghabiskan makan dan minum nya, mereka segera membayar dan keluar meninggalkan kedai.
Beberapa saat kemudian, bapak tua pemilik kedai telah kembali membawa hidangan untuk arya dan ajeng, ia menaruh dua piring nasi basah dengan
Ayam goreng dan tempe di hadapan arya dan kemudian ia kembali ke dapur mengambil dua gelas terbuat dari tanah liat berisi air teh hangat. Kedua pendekar muda yang duduk saling berhadapan itu pun segera menyantap hidangan nya masing masing. Sesekali mata ajeng menatap arya di hadapan nya, sesekali melirik ke arah para pengunjung kedai yang sedang berbincang bincang tidak jauh dari meja mereka.
“Hehehe aku duluan habis ajeng, hehehe”,
Berkata arya sambil tertawa.
“Sss arya, jangan keras keras tertawa nya, malu disini banyak orang!”
Jawab ajeng sambil jari telunjuknya di tempelkan pada bibir nya ia melirik kearah beberapa orang pengunjung kedai, memberi isyarat diam kepada arya, lalu arya pun melirik kearah para pengunjung warung lain nya.
“Hehehehe biar saja ajeng, kita kan makan disini bayar tidak gratis, hehehehe.. betul tidak ki!?”
Arya berkata lantang kepada ajeng, dan pada akhir ucapan nya itu ia bertanya kepada pemilik kedai yang sedang memasak di dapur.
“i i ya betul den!” Pemilik kedai itu menjawab mengarahkan wajah nya pada arya dan ajeng,
Bersamaan dengan itu tiba tiba, seorang diantara tiga orang yang berpakaian merah yang berada pada meja di pojok kedai pun berdiri, dengan wajah angker dan tubuh gemuk nya ia membentak arya, “Heh monyet kecil, kalian mau bikin onar di desa kami ya!?”
Belum saja arya dan ajeng menjawab, terdengarlah suara seorang laki laki dari arah pintu kedai.
“Wah wah wah, seperti nya ki marta kedatangan dua orang tamu bukan orang desa ini ya ki?” Ucap orang yang berdiri di pintu kedai, orang itu berpakaian serba hitam dan rambutnya gondrong terlihat kusut, pada pipi kiri orang itu terdapat garis bekas luka, suara nya lantang sambil wajahnya mengarah kepada pemilik kedai, di belakang orang itu berdiri pula empat orang lelaki berpakaian serba hitam.
Pada pinggang kelima orang berpakaian serba hitam itu terselip golok bersarung hitam dan bergagang tengkorak berwarna hitam.
Dan saat itu juga orang dengan pipi bekas luka itu memanggil orang yang membentak arya, dan dua orang lainnya dengan isyarat keempat jari tangan nya di arahkan kepada orang orang berpakaian serba merah itu,
Orang orang itu segera berdiri dan melangkah kearah orang yang di pipi nya ada bekas luka itu, mereka ikut berdiri di belakang tubuh lima orang berpakaian hitam itu. “Sss arya, ternyata mereka semua berteman!?” Ucap ajeng berbisik.
“Hehehehe iya ajeng, nampak nya orang yang memiliki bekas luka di pipinya itu adalah pemimpin nya, yang lain nampak segan terhadap nya.
Lalu dengan di ikuti tujuh orang lain nya, orang yang terdapat bekas luka di pipi itu segera mendekati meja arya dan ajeng, ia pun berkata dengan nada kasar seolah mengintimidasi arya dan ajeng.
“Heh anak anak muda, betul kalian bukan orang sini ha!?” Ucap orang itu, tangan kirinya du teruk memegang pinggang,
Dan tangan kanan nya menempel pada gagang golok yang terselip di pinggang nya.
“Arya dan ajeng diam tidak menjawab sepatah kata pun, mereka saling bertatapan.
Kemudian tiba tiba orang dengan bekas luka di pipi kembali bertanya dengan nada keras membentak,
Dan di pukul nya keras keras meja di hadapan arya dan ajeng, “Jawab bangsatt!!”
“Brakh!!” Kemudian telapak tangan orang itu terus menempel pada pada meja dihadapan arya dan ajeng, beberapa saat kemudian kepulan asap keluar dari telapak tangan kanan nya yang menempel di meja itu.
Beberapa saat kemudian diangkat nya telapak tangan itu, Tampak oleh arya dan ajeng meja dihadapan nya telah bolong dan hangus dengan bolong seukuran telapak tangan,
Dan perlahan asap pada meja itu memudar.
Namun pada saat itu juga pemilik warung berlari dari dapur nya,
Ia mendekati dan membungkukan tubuh nya di hadapan orang bertompel itu,
Iya pun berkata memohon,
“Aduh tuan casoka, kalau mau berkelahi jangan didalam kedai den, nanti kalau meja meja dan isi dapur pada hancur kan tuan juga yang tidak bisa makan den?” Ucap pemilik kedai.
“Tenang saja ki marta, aku tidak akan merusak kedai ini, ucap orang itu yang ternyata bernama casoka.
Casoka dahulu adalah seorang guru di perguruan Silat di desa Naga sari, ia memiliki kesaktian dan kanuragan yang cukup untuk menggembleng murid murid nya. Beberapa tahun lalu ia di
Taklukan oleh balung ketir dan jaga laga, kini ia telah menjadi pengikut gajah reksa.
Umur casoka sudah terbilang tua namun belum setua balung ketir maupun jaga laga.
Ajian Braja musti yang di miliki oleh casoka tidak mampu mengimbangi aji Tapak geni yang di miliki oleh balung ketir dan jaga laga. Maka itu terpaksa dalam pertarungan nya casoka harus bertekuk lutut di hadapan balung ketir dan jaga laga, serta harus menjadi pengikut gajah reksa.
Walaupun casoka bukan pemenang adu laga tahunan, .
Namun jaga laga di beri wewenang langsung dari gajah reksa untuk menjadi kaki tangan khusus yang di beri tugas langsung oleh gajah reksa.
“Baiklah anak muda, aku tidak mau membuat keributan di desa ku, tapi jika kau tidak menjawab, artinya kau meremehkan aku,
Maka itu aku mengundang mu untuk naik di sayembara besok pagi, kita buktikan di depan penduduk”
Ucap casoka dengan sombong nya.
Lalu casoka dan ketujuh anak buah nya pergi meninggalkan kedai.
Sepergi nya casoka beserta pengikutnya, pemilik kedai yang bernama Ki marta itu segera menghampiri arya dan ajeng.
Iya pun berkata kepada kedua pendekar dari gunung karang itu, “Aden berdua kalau mau menginap saya bisa sediakan kamar den?”
Mendengar itu arya dan ajeng saling bertatapan,
Kemudian arya menjawab dengan tersenyum pada ki marta, “Baiklah pak, sediakan kami dua
Kamar ya?” Ucap arya.
“Baik den” Ki marta pemilik warung itu mengangguk dan ia pun segera berjalan membelakangi arya dan ajeng.
Sementara tatapan arya dan ajeng di alihkan pada beberapa orang lelaki yang masih tersisa di dalam kedai ki marta.
Lalu arya pun berdiri, ia mengajak ajeng untuk melihat lihat suasana di luar kedai, ajeng pun ikut berdiri dan melangkah ke arah luar.
Mereka berdiri tepat di depan kedai ki marta, tatapan keduanya terarah pada sebuah pelataran agak luas tidak jauh dari kedai ki marta, kemudian pada saat itu sambil wajah nya di arahkan pada pelataran itu, arya bertanya kepada ajeng, “Apakah tempat ini yang akan di gunakan untuk ajang adu laga esok hari ajeng?”
“Entahlah arya, tapi kira kira seperti apa saja pendekar pendekar yang mengikuti adu laga arya?” ajeng menjawab dengan meneruskan pertanyaan kepada arya.
Pemuda itu terdiam sesaat, dirapatkan kedua lengan nya memeluk dada, ia menatap wajah ajeng, sementara ajeng dengan kedua tangan nya saling berpegang di belakang pinggang nya,
Kemudian sambil tertawa kecil arya bertanya,“Hehehehe. Apa kamu mau ikut juga ajeng, mungkin saja kalau kamu menang akan mendapat ternak?”
“Haha.. kalau ikut si aku mau juga untuk menjajal seberapa kuat jago jago di desa ini, tapi kalau soal ternak mau di taruh dimana?