Ikatan batin yang sudah terjalin sedemikian erat membuat Arya Wisesa bisa merasa dan mendengar suara batin yang diucapkan Saka Dirga. Bagaimanapun Arya Wisesa sudah berlatih silat dengan gurunya itu sejak ia masih berusia lima belas tahun, bahkan sebelum padepokan Srigala Putih dibangun di lembah pegunungan tak bertuan itu.
Kini ia sudah berusia dua puluh tahun. Artinya sudah lima tahun ia tinggal di sana dan menghabiskan waktu bersama Saka Dirga. Alhasil keduanya menjadi akrab dan dekat, sampai-sampai kedekatan itu serupa ayah dan anak yang menyayangi satu sama lain.
Mereka bahkan punya hobi yang sama. Di tengah-tengah kejenuhan belajar ilmu silat, Saka Dirga sering mengajak Arya Wisesa berburu burung elang dan berkemah di tengah-tengah hutan. Dengan ilmu kanuragannya yang begitu tinggi, Saka Dirga mampu menjinakkan hewan liar itu dengan mudah. Ia hanya perlu mengarahkan telapak tangannya ke arah burung elang yang sedang bertengger di puncak pohon, maka tak berapa lama, elang itu pun langsung terbang melesat menghampirinya dan bertengger di bahunya.
“Kau juga bisa mencobanya Arya,” kata Saka Dirga setelah ia menunjukkan kemampuannya menjinakkan hewan itu.
Ia pun mulai komat-kamit merapalkan mantra yang sudah diajarkan oleh gurunya itu dengan serius. Maka diarahkanlah telapak tangan kanannya ke atas, mengarah ke burung elang yang sedang bertengger di pohon yang lain. Sekonyong-konyong burung itu juga terbang melesat menghampirnya sangat bersahabat, tanpa ada niatan untuk mencelakai sama sekali. Seolah mereka sedang menghadap tuannya sendiri.
“Berhasil! Aku bisa melakukannya Guru,” sahut Arya Wisesa semringah.
“Bagus! Kau memang muridku yang pintar, Arya. Kau bisa menguasai ilmu yang aku ajarkan dengan cepat,” puji Saka Dirga sambil tersenyum.
Kedua burung elang itu tampak manja sekali bertengger di bahu mereka, seolah itu tempat yang paling nyaman bagi dua burung itu. Malahan kedua burung itu menempelkan kepalanya ke leher mereka, mendekatkan tubuhnya dan membiarkan kedua sayapnya tertutup rapat, sehingga terasa leher mereka seperti sedang dielus-elus lembut. Maka mereka membalas dengan mengusap-ngusap bagian atas kepala burung elang itu.
“Arya, sebagai seorang ksatria sejati, kau pun harus hidup sebagaimana burung elang ini,” kata Saka Dirga tiba-tiba memberi nasihat.
“Mengapa demikian, Guru?” tanya Arya Wisesa.
“Kau harus punya pandangan yang tajam dan luas laksana burung elang ini, Arya. Kau harus peka dengan segala situasi dan melihat masalah dengan bijak. Burung elang tidak pernah takut terbang sendiri. Mereka tidak pernah takut terjatuh, meski goncangan angin menerpa mereka sangat kencang di atas langit sana. Itu memberi pelajaran bagi kita bahwa semakin tinggi ilmu dan kedudukan kita, maka semakin berat rintangan yang akan kita hadapi.