Pendulum Waktu

Shanen Patricia Angelica
Chapter #2

Terbelenggu Kelabu

“Hadeh, ini Malih-Bolot kenapa lagi, sih?” 

Saban pagi inilah percakapan yang selalu aku dengar di kantor.

Hantaman suara ribut dari kanan dan kiri seringkali menyirnakan nafsu makan pagi hariku. Padahal, bukankah pagi hari itu adalah waktu krusial untuk memupuk semangat hidup yang tinggal sejengkal? Namun, entah mengapa orang-orang di kantorku lebih memilih ribut ketimbang mengisi energinya dengan sarapan. Apakah mungkin ribut telah menjadi sumber energi mereka? Sayangnya, aku tidak tahu apa-apa soal itu.

Yang diriku tahu adalah atasanku yang sering kupanggil Bunda Maryam selalu senang ber-hadeh-hadeh acapkali itu terjadi.

Suara-suara yang bersahutan itu ibarat kepulan asap pada bubur yang dihidangkan panas-panas. Aku menerka sepertinya tubuh mereka kadung panas sejak dari dalam kandungan hingga membuat segala jenis amarah itu mudah lepas liar di kantor ini.

“Bapak dengerin saya dulu! Vendor Cita Kata belum selesai bikin laporannya, masa iya sudah minta bayaran?” Kata Bu Malih (nama samaran) ketika Bos Bolot berulangkali menagih bayaran untuk vendor tercintanya.

“Nyamuk setan!” Aku menepuk satu nyamuk yang berani-beraninya menyosorku di bawah meja.

Ketika Bu Malih dan Pak Bolot—sebutlah begitu—tengah meributkan tingkah vendor yang menangani penulisan laporan untuk salah satu indikator kepatuhan, aku memilih bersembunyi di sarang ternyamanku.

Aku bahkan tak peduli pada dengung menyebalkan yang mengitari kepalaku. Nyamuk-nyamuk yang tak kenal takut itu terus mengerubungi dan mencumbu dengan membabi buta. Berkali-kali jadinya aku menyakiti leherku sendiri, berharap ada yang mati di tanganku. Namun, seperti yang kalian duga aku terlalu payah walau hanya untuk menepuk nyamuk.

“Bu Riana, saya ini cuma nanya. Perintah pembayarannya udah ditanda tangan belum? Kapan cair?” Rongrong Bos Bolot yang bernama asli Dirja Soebakti. “Kasihan itu Noto kalau belum dibayar-bayar, padahal udah ngerjain.”

Bu Malih, alias Bu Riana mengentakkan kakinya seperti sapi yang merajuk. Walau aku tidak melihatnya langsung, tetapi aku bisa membayangkan geliat tubuh orang itu saat menahan kekesalannya. “Tapi kan ngerjain bukan berarti selesai! Duh, Bapak gimana, sih?”

Duh, bisa enggak sehari aja diam gitu, loh?

Batinku mendumel sendiri. Di kolong meja, aku sesungguhnya menahan mual saking muaknya berada di tempat ini. Sehari pun seperti tak pernah ada waktu lowong tanpa membicarakan surat perintah pembayaran yang masih teronggok di bagian keuangan. 

Lagian salah sendiri! Dasar PNS pemalas!

Aku sampai menyumpah dalam hati. Pekerjaan semudah membuat laporan yang sudah menjadi bagian dari sasaran kinerjaku banyak dialihkan kepada vendor yang budiman, tentu saja dengan suatu pertukaran antara mereka dengan Pak Dirja. Bila diberitahu di sini rasanya tak bijak, tapi mestinya kalian paham praktik lazim ini. 

Oh, betapa ironisnya suatu hal buruk bisa menjadi lazim hanya karena sering dilakukan tanpa ketahuan.

“Tapi mereka bilang enggak dibayar-bayar honornya!” Pak Dirja berteriak.

Sontak diriku merasakan sesuatu bergumul di dada—seperti ada bola kasti yang berputaran dan menghalangi jalan napasku. Aku pun menutup kuping dengan masih bergelung di kolong meja bersama nyamuk-nyamuk itu. “Tuhan, aku mau resign!” Ujarku pelan.

Ucapan yang berulang kali terlontar itu adalah bentuk ketidakberdayaanku karena hingga sampai sekarang masih terjebak di kantor ini.

Seperti selayaknya penyakit instansi pemerintah, kantorku juga terjangkit wabah sejenis yang memuakkan. Namanya adalah Biro Kepatuhan Kinerja dan Pengawasan Internal—-salah satu biro di bawah naungan Kementerian PAN-RB yang memiliki visi menjadi garda terdepan penjaga integritas seluruh ASN di Indonesia.

Jujur saja—isi perutku langsung berpilin selepas dijejali segala informasi tentang visi-misi yang takkan terlaksana itu. Sampul yang terkesan penuh integritas dan disiplin serta merta dibantah oleh kelakuan para petinggi di dalamnya. Dan, selama dua tahun berkantor di sini rasanya seperti menaiki wahana halilintar yang menuju ke suatu puncak yang kusebut puncak komedi.

Ucapan ingin resign itu barangkali bukan hanya menjadi jeritan terpendamku semata, melainkan juga rekan-rekan pegawai kontrak lain di kantor ini—atau bahkan para PNS yang sudah satu atau dua dekade mengabdi di sana. Rekan sejawatku yang masih muda, tetapi sulit lepas dari sana, kebanyakan terpaksa bertahan demi rasa aman. Padahal, kalau boleh aku jujur, tiada yang benar-benar aman di tempat ini. 

Ada banyak kemungkinan yang akan dialami bila terlalu lama berada di kantor ini.

Pertama, mentalmu bisa semakin terganggu. 

Kedua, rasa malu akan mencekat sampai kamu merasa payah sendiri. 

Ketiga dan mungkin bukan yang terakhir, tambah setahun di sini sama dengan selamanya.

Bagiku, tempat ini terasa seperti limbo penghukuman di dunia. Mungkin di akhirat sana, Papa sudah mengadukan perbuatanku kepada Tuhan atas apa yang telah kulakukan selama di dunia. Jadinya, aku berakhir di tempat ini sebab konon katanya, barangsiapa yang terjebak di tempat ini, mereka akan selamanya berkutat pada kehampaan dengan pemandangan bos-bos yang berkelahi.

Oh, Tuhan!

“Sara!” Gabriella atau yang suka kupanggil Gabby, rekanku–sama-sama pegawai kontrak datang sambil berbisik. “Terang Mart enggak? Gue pusing, nih.”

Terang Mart selalu menjadi andalan para pegawai medioker untuk menemukan kopi murah atau sekadar menepi dari keributan di kantor ini.

“Bapak ini kan saya sudah bilang berkali-kali! Itu Pak Noto udah nagih saya terus! Saya diteror—”

“Ya, saya juga! Makanya, saya tanya itu pembayaran udah sampe mana!”

“Hadeh,” Bunda Maryam mendenguskan napasnya.

AAAAAH—

Sosok dalam dirinku berteriak, untungnya tak sampai membuat diriku ikutan melengking.

“Sara, hoi! Mau enggak?”

Aku menggelengkan kepala, tapi bukan untuk menolak Gabby. Aku ingin mengentaskan pikiran aneh yang tiba-tiba melintas saat aku berada diambang kewarasan ini.

“Tempatmu bukan di sini, Sara.”

Aku mendongak ke asal suara yang aku yakini adalah milik Gabby, “maksud lo apa, Gab? Kalau enggak di sini, terus gue di mana?”

Gabby memandang dengan sinis dan tajam, “hah, apa sih! Gue cuma ngajak ke Terang Mart doang, Sar.”

“Iya…tapi barusan lo enggak ngomong itu.”

“Ah, gelo! Kayaknya memang lo harus minum kopi, nih. Gue takut lo korslet.”

Kalau hatiku punya kepala, tampaknya saat ini ia mengangguk lantaran setuju atas pernyataan Gabby: ya, memang sudah korslet.

“Terus kalau waktunya pidato pertanggungjawaban Kabiro, laporannya belum selesai gara-gara enggak mau diterusin sama mereka gimana?”

“Ya, Bapak tanya langsung aja sama bagian keuangan. Mereka kalau sama saya enggak takut!

Selang berapa waktu Bos Bolot terdiam, “oh, jadi kalau sama saya mereka takut?”

“Ya, bisa jadi! Kan, Bapak itu Kepala Bagian-nya.”

Setelah mengangguk-angguk karena merasa diterbangkan Bu Malih, Bos Bolot pergi sambil bersiul dan berlagak keren.

Aku menatap Gabby yang tampangnya sudah semasam belimbing kecut. Ia kesal karena baginya aku adalah kura-kura lemot—yang double lamban setiap melakukan apapun.

Gabby pun mendecak dan mendorong kursiku pakai ujung sepatu, “besok-besok gue tinggalin lo biar sekalian dimakan sama si Dirja!”

“Ya, maaf, Gab.”

“Dasar kebanyakan mikir! Emangnya apa sih yang kamu takutin?”

Lagi-lagi aku mendengar suara Gabby setengah menggumam, “Apa yang gue takutin?”

“Maksudnya?”

Lihat selengkapnya