Aku pernah dikejar setan mirip seperti ini.
Oh, bukan, maksudku oleh mendiang Papa yang tiba-tiba merasuk ke dalam benak dan menjadi setan di bunga tidurku. Aku bermimpi dikejar-kejar dia tanpa alasan. Padahal, kurasa aku sudah berdamai dengannya dari setelah dia selesai dikafani oleh para tetangga.
Mungkin kedengaran kurang ajar, tapi dimimpiku itu, aku betul melihat dia hanya dibalut kain putih dan berjalan cepat menyongsongku. Di mimpiku waktu itu, tubuh Papa bersinar terang, tetapi wajahnya bermuram durja. Tangannya berusaha menggapai-gapai tubuhku yang tak jadi bisa lari cepat karena ketakutan.
Mimpiku itu tak jauh berbeda dengan yang kuhadapi sekarang. Aku tetap tidak bisa berlari, tapi setan yang mengejarku ini sepertinya betulan setan yang siluetnya menyerupai diriku. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena memang hanya seperti kabut yang membentuk tubuh manusia dan bergerak cepat.
“Wah, ini gue gila.”
Aku terus berjalan menyusuri conblock yang langsung mengarah ke kantorku. Namun, sosok seram itu selalu muncul di belakangku setiap kali aku lajukan langkah kakiku. Suara-suara aneh jadinya mulai bermunculan, diawali dengan kepakan burung yang terbang rendah, dilanjutkan suara gagak yang mengintimidasi hingga gemuruh yang terdengar begitu dekat dengan telinga.
Aku semakin kacau.
Tidak mungkin ada setan saat siang bolong. Jangan-jangan aku jadi gila karena diminta satu juta dalam sekali telepon? Ah, tidak boleh! Tidak mungkin! Kalau aku kehilangan kewarasan, siapa lagi yang bisa kuandalkan?
Dengan membawa semua pikiran itu, aku memasuki kantorku, lobi terasa begitu lowong. Meja resepsionis kosong tanpa ada pegawai yang berjaga seperti biasanya. Tiada satpam maupun pramujasa yang biasanya selalu berlalu lalang. Aku mengecek ponselku sejenak, pesan dari Andra baru saja masuk menanyakan: kamu udah di kantor?
Sambil kutekan tombol lift, aku membalas Andra:
Dra, aku tahu kamu enggak percaya sama setan, tapi sumpah demi Tuhan, aku lagi dikejar setan.
Andra
What the hell, Sar?
Lift berdenting terbuka dan selagi memasuki lift, aku masih mencoba membalas pesan Andra.
Menghilang dulu di lift, nanti kutelepon.
“Mbak dari biro apa?”
Aku mendongak dari ponselku, siap kabur lagi bila suara itu bukan dari manusia.
“Eh,” ternyata yang bertanya memang orang betulan. Ia adalah wanita usia tiga puluhan yang tampil seperti pekerja korporat sejati. Padu padan blouse hijau botol dengan blazer putih gadingnya terlihat apik dan cocok dengan wajahnya yang berseri ramah. Rambut wanita itu pendek hanya seleher, sedikit bergelombang, dan berwarna kecokelatan, menambah kesan teduh pada penampilannya.
“Anu—”
Wanita itu mengulurkan tangannya, “aku Petty, tenaga ahli konselor di bawah Direktorat SDM di lantai 8.
Konselor? Raut wajahnya memang terlihat tenang, persis seperti psikolog yang sering kutemui di film-film bahkan ia mengingatkanku pada Dr. Malcolm Crowe dari film The Sixth Sense saat ia tersenyum ramah.
“Lho, biro saya juga di lantai 8.”
“Biro Kepatuhan dan Pengendalian Internal?”
“Kok, tahu?”
Alih-alih menjawab, wanita bernama Petty hanya tersenyum, “lain waktu kita ngobrol, ya.”
Dia keluar lift duluan dan aku tak berpikir untuk mengejarnya karena dari kejauhan kudengar suara ribut yang kuhafal betul. Aku memutuskan tetap di depan lift, bersandar di pembatas lantai yang membuatku bisa melihat hingga ke lantai dasar.
Area kantorku di setiap lantainya amatlah suram. Tiang-tiang penyangga dan tembok di dominasi warna abu-abu yang tentunya begitu muram. Dalam kesunyian ini, aku mulai memperhatikan detail-detail kecil yang sebelumnya terlewat. Retakan di dinding, lantai yang sedikit licin, dan debu yang mengendap di sudut-sudut ruangan. Semuanya menambah kesan bahwa tempat ini juga lelah mendengar segala keributan itu.
“Kalian berdua ini kerjanya membangkang aja! Apa yang saya suruh selalu kalian lepeh mentah-mentah! Semua progress juga enggak pernah diinformasikan ke saya. Memang yang jadi bos di sini siapa, sih? Kalian? Kalian merasa lebih tinggi dari seorang kabag?”
Suara Pak Dirja bocor dari ruangan biroku yang mestinya tertutup rapat. Yang terjadi di dalam sana pasti lebih parah daripada apa yang aku dengar di depan sini. Tak lama kemudian, Pak Dirja muncul sambil membanting pintu kuat-kuat. Di tangannya ia menggenggam payung yang langsung menunjuk ke arahku.
“Sekarang paham kan kenapa saya copot kamu dari posisi pengolah data? Karena kamu itu pembangkang seperti mereka! Kamu enggak bisa kerja, persis seperti mereka!”
Brak!
Payung itu ia lempar ke arahku.
Lantas seberkas sinar putih yang amat terangnya menghantam wajahku hingga aku merasa sesak dan hilang kendali
***
Suara ribut menyusupi telingaku lagi. Bukan hanya dari suara manusia, melainkan juga dengung nyamuk yang mengganggu tiada henti.
Aku memaksa kelopak mataku agar terbuka karena nyeri aneh terasa begitu menekan seluruh bagiannya. Mataku juga jadinya sangat lengket seperti telah terkatup cukup lama dan dijejali tahi mata.
“Hadeh, ini Malih-Bolot kenapa lagi, sih?
Suara Bu Maryam terdengar begitu jelas, seolah-olah hanya sejengkal dari telingaku. Sontak aku tersadar sepenuhnya, karena perlahan-lahan telingaku mulai menangkap semua suara yang bergema di kantor saat ini. Kini aku berada di kolong mejaku dengan laptop dipangkuan dan menampilkan—portal lowongan kerja.
Duh, apa selama ini aku tertidur?
“Nyamuk setan!” Aku berucap demikian setelah kurasakan dua kali gigitan nyamuk. Laptopku hampir terjatuh karena terguncang saat aku menampar leherku sendiri.
“Bapak dengerin saya dulu! Vendor Cita Kata belum selesai bikin laporannya, masa iya sudah minta bayaran?”
“Ya, kan saya cuma nanya, progress pembayaran sudah sampai mana? Enggak enak kalau mereka udah ngerjain—”
“Tapi kan ngerjain bukan berarti selesai! Duh, Bapak gimana, sih?”
Tunggu…mereka bertengkar lagi? Tapi kenapa ucapan mereka rasanya pernah kudengar sebelumnya?
“Bapak ini kan saya sudah bilang berkali-kali! Itu Pak Noto udah nagih saya terus! Saya diteror—”