Selama dua puluh tiga tahun aku hidup, rasa-rasanya agak jarang aku bisa merasa bahagia.
Kebanyakan hari kulalui dalam sendu yang tak jelas, yang bisa kapan saja datang, lalu menghilang setiap aku menjumpai orang-orang dekatku. Ini tentu bukan hanya karena zodiakku berelemen air atau aku sedang dalam masa haid. Kesedihanku ini lebih konsisten daripada setiap usahaku untuk belajar sesuatu. Mereka menetap dan mendiami pucuk kepalaku dalam waktu yang sangat lama.
Konselorku di puskesmas bilang ini dinamakan distimia atau depresi kronis yang menahun.
Setiap waktu, aku merasa seperti manusia paling sial di dunia. Semua hal yang kualami tak pernah membawa kebahagiaan. Memang aku banyak lupa beberapa hal yang telah berlalu, tetapi aku tak pernah lupa rasanya sulit bangkit acapkali mesti memacu kaki untuk naik KRL ke kantor. Kadang juga harus hidup dengan berlakon lantaran tak ingin Andra membaui bahwa aku tak pernah baik-baik saja. Mama juga mungkin takkan pernah tahu akan hadirnya dorongan untuk mati dengan kehendak diri sendiri, bukan kehendak Tuhan.
Mungkin aku akan menyebut kesedihanku dengan anjing hitam karena ia kadung mendekapku sampai aku sulit bergerak.
Seperti metafora yang digunakan orang-orang barat sana, anjing hitam adalah simbol dari pikiran kelam yang membuatku ingin menghabisi diri sendiri. Entah dari mana dia datangnya ia hingga aku pelihara sampai besar dan tak jarang menutupi wajahku dengan legam bulunya. Sesekali, tubuh besarnya menindihku sampai kalau bisa tidur seharian mengapa tidak? Atau gonggongan ganas yang datang hanya malam hari, setelah seluruh pertemuanku dengan orang lain selesai dan aku hanya dimiliki diriku sendiri. Kadang pula keberadaannya justru membuatku sulit tidur atau bahkan sampai tak tidur sama sekali.
Memiliki anjing hitam (baca: depresi) bukan berarti aku hanya dapat berpasrah dan menunggu belas kasih Tuhan dari langit. Sepayah apapun aku pada episode depresifku, aku tetap memilih berjalan dengan kakiku sendiri. Kadang, anjing itu menuntunku berjalan tanpa arah, menyusuri jalanan asing, menemukan banyak jalan buntu atau membuatku menyeberangi jalanan yang ramai lancar.
“Anjing hitam…ya, itu memang sering dipakai untuk kampanye hari pencegahan bunuh diri setiap tanggal 10 September,” Orang aneh yang bernama Petty duduk di depanku. Segelas kopi hitam telah berada di genggamannya dan kita duduk di sofa merah yang menjadi tempat langgananku untuk menepi.
Obrolan kami ternyata sampai di Terang Mart dan aku sama sekali tidak menemukan Gabby di sini. Alih-alih mendapati keberadaanya, aku malah banyak membeberkan kisah tak penting dalam hidupku, termasuk perasaan ingin bunuh diriku yang seharusnya kusimpan saja rapat-rapat.
Apa gunanya juga oversharing seperti ini? Selain tidak berguna, ceritaku itu bisa jadi bumerang bagi diriku. Bagaimana kalau orang ini justru menyiarkan ceritaku ke semua pegawai SDM? Bagaimana kalau sampai ke Pak Dirja atau Bu Maryam? Mereka mana mau mengerti apa yang kurasa.
Paling-paling aku hanya diminta untuk tidak stres dan lebih sering beribadah. Padahal, penyebab terkuat aku mengalami itu, tak lain adalah mereka dan kepayahanku untuk memperjuangkan hidup sendiri. Untung saja, aku tak sampai membeberkan kisah keluargaku yang memang sudah remuk luar dalam. Kalau sampai demikian, rasa-rasanya akan seperti ditelanjangi dan berjalan tanpa busana di kantor ini.
Di depanku saat ini hanya ada sebuah mie cup dengan berbagai fishcake yang diberi kuah kaldu odeng untuk memberikan kenikmatan berdosa yang tiada tandingan. Gurih, pedas dan sensasi berlemak memenuhi mulutku ketika aku makan bersama dia.
“Aku baru masuk kantor ini,” dia berkata setelah hening cukup lama. “Bisa ceritakan enggak gimana kerja di sini?”
Setelah obrolan panjang tentang distimiaku yang lebih bisa dibilang ‘monolog’-ku semata, orang ini mulai mengganti kata ganti orang pertamanya menjadi aku.
Aku mendengkus, daging ayam masih berjubelan di kantong pipiku, “maaf,” lantas kutelan daging ayam itu. “Setiap biro beda, tapi biro saya ini agak lain.”
Tangannya menepuk-nepuk lututku, “santai aja, enggak usah saya. Umur kita enggak jauh, kok.”
“Aku?”
Dia mengangguk.
“Coba, dong ceritain biro kamu.”
“Biro KPI ada empat bagian. Pertama, Manajemen Risiko, lalu Pengembangan Organisasi, terus bagian Operasional sama yang terakhir adalah bagianku, Evaluasi dan Pelaporan. Bagianku itu yang paling berisik karena atasannya enggak becus. Jadi, kami dianaktirikan—ah, bodoh!”
Aku menghentikan ceritaku. Kenapa bisa aku menceritakan hal ini kepada dia? Kalau sampai dia mengadukannya ke bagian SDM lain bagaimana?
Aduh aku tolol!
Aku buru-buru berdiri.
Dia lantas memegangi pergelangan tanganku, “enggak, Sara. Semua ceritamu aman di sini. Aku enggak akan—”
“Tunggu—dari mana kamu tahu aku mikir begitu?”
Dia ikut terkejut juga seperti ia mengucapkan kalimat yang salah, “bukan begitu. Maksudnya, aku tahu kamu enggak biasa cerita begini. Jadi, kupikir kamu mungkin menyesal karena sudah cerita kepadaku.”
“Maaf, tapi Mbak aneh,” kataku. “Aku permisi ya, Mbak. Mau cari temanku dulu.”
Petty tahu-tahu menarik tanganku, “mau aku temenin enggak?”
“Enggak usah Mbak, makasih.”
Aku pun meninggalkan dia di Terang Mart seorang diri. Gelas mie-ku telah tiris kusantap, lalu kubuang ke tong sampah di samping pintu keluar.
Kepalaku masih tiada henti memikirkan segala kemungkinan buruk yang bisa saja menimpa Gabby atau mungkin juga diriku jika kenyataannya Gabby resign tanpa kabar.
Aku sungguh takut ditinggal Gabby dan menghadapi tiga orang itu sendirian. Keributan yang sering mereka ciptakan tanpa sebab, sedikit banyak telah mempengaruhi pikiranku sampai-sampai aku merasa makin dilumat oleh taring si anjing hitam itu. Aku pun semakin payah karena akan menjadi satu-satunya yang terjebak di tengah keributan ini setiap harinya.
Ketika aku beranjak, ponselku bergetar. Awalnya aku semangat lantaran menduga pesan itu datangnya dari Gabby. Namun, rupanya aku salah.