Pendulum Waktu

Shanen Patricia Angelica
Chapter #5

Manggarai

Sepulang dari kantorku, aku menaiki kereta jurusan Jakarta Kota. 

Situasi tidak padat, tapi tidak lengang juga. Biasanya setiap sore, aku memang tidak dapat tempat duduk hingga harus bergelantungan di pegangan kereta. Di sepanjang perjalanan, kulihat para penumpang cukup hening, sibuk dengan urusan masing-masing. Semua penumpang yang berdiri, hanya menatap lantai kereta atau apapun yang berada di bawah kaki mereka, sedangkan aku memilih melihat jendela yang menampilkan langit mendung.

Wajahku terpantul di sana, tepat di atas kepala seorang penumpang yang memilih tertidur.

Dasar orang payah!

Kulihat siluet tubuhku di jendela itu. Rambut ikal tak jelas, pipi tembam karena senang makan kalau sedang stres, bahu melorot pasrah dan kemeja lecek seperti kertas krep. Ah, apa yang bisa dibanggakan dari orang seperti ini?

Aku lihat wajahku di pantulan itu. Mulutku sedang tertekuk, atau mungkin senantiasa tertekuk. Aku lupa kapan kali terakhir lengkungan mulutku tidak terbalik seperti ini. Aku lupa kapan terakhir kali aku tersenyum atau pun tertawa.

Aku menatap wajahku lamat-lamat karena malas membuka ponsel di tempat umum. Namun, entah kenapa, semakin lama kutatap, wajahku menunjukkan pantulan yang cukup aneh. 

Senyumku muncul sedikit demi sedikit, tetapi bukan senyuman tulus yang sungguh-sungguh. Lagipula, saat melihatnya aku juga tak sedang tersenyum. Lalu, aku alihkan wajah ke tempat lain sebelum menatap pantulan lagi di depanku.

Pantulah diriku tersenyum lebar.

Jantungku hampir copot di tempat. 

“Muka gila!” Aku memekik dan untungnya orang-orang di sekelilingku masih sibuk melamun atau pun tidur. Aku segera mengguncangkan kepalaku, lalu mengucek mata dan berpindah gerbong. Di gerbong berbeda tampilan diriku masih dengan senyum sintingnya—

Oh, tunggu…apakah sekarang justru aku yang sinting? Bagaimana ini? Bagaimana kalau aku sinting?

Tidak boleh! Pergi ke psikolog saja sudah pasti dipandang memalukan oleh Mama dan kakak-kakakku, apa lagi kalau sampai aku sinting karena semua ini!

Aku jadi ingin buru-buru keluar kereta karena pantulanku masih saja menyeringai di sana. Untungnya keretaku entah kenapa cepat tiba di Manggarai. Tempat yang konon katanya hanya mampu dilewati oleh manusia bertulang baja. Aku melangkah keluar kereta, berjejalan dengan beberapa penumpang yang berjalan lambat—ini di stasiun! Tidak bisakah jangan main handphone di peron?

Aku menuruni tangga, masih memegangi tasku agar tak kena rogoh tangan-tangan nakal. Malangnya, kurasakan ada sebuah tangan yang menyenggol bokongku—entah tak sengaja atau disengaja sebab ketika aku menoleh, lelaki sinting itu sudah berpaling.

SINTING!

Ah, Tuhan! Kenapa aku harus melalui ini setiap hari? Aku pergi ke pojokan dekat eskalator. Kakiku lemas, entah karena menuruni tangga atau dipegang-pegang oleh si sinting itu. Namun yang kutahu pasti, aku tak ingin lagi melalui semua ini, tapi bagaimana caranya? Kontrakku masih lama, aku sulit dapat kerja dan aku butuh uang untuk Mama.

Aku melihat beberapa sepatu yang copot di peron, ibu-ibu saling tabrak dan sikut-menyikut bahkan tak sedikit ada orang yang nyaris jatuh karena tersenggol ketika di pinggir peron.

Hmm—menjadi sukarelawan yang disenggol sepertinya tidak buruk-buruk amat. 

Namun, tidak—tidak boleh dulu sebab sore ini aku masih harus bertemu Andra.

***

Pukul 17:30, aku dan Andra bertemu di tempat yang diperjanjikan.

Aku masuk ke dalam area gereja, tepatnya ke area taman belakang yang sepi dari jemaat karena saat itu telah mendekati waktu misa.

“Pak Dirja kenapa, sih Sar?” Tanpa tedeng aling-aling Andra menyambutku dengan pertanyaan itu di gerbang gereja. Hari ini tampilannya cukup necis, dengan batik dan sepatu pantofel khas yang biasa dipakainya steiap bertemu investor untuk proyek properti kantornya. Rambutnya diberi bubuk styling serupa jel rambut yang beraroma vanilla. Matanya yang kecil dan tajam, terpancang pada diriku sejak dia menarikku untuk pergi ke area taman.

Kami pun akhirnya duduk di bangku semen yang menghadap pagar gereja. Beberapa anjing kulihat sedang diajak jalan oleh para pemiliknya.

Aku jadinya terbengong melihat orang-orang yang berjalan sore di area kompleks perumahan ini. Di ujung jalan, kulihat ada seorang bapak yang sedang mengajari anaknya naik sepatu roda. Hmm—kapan Papa pernah mengajariku hal baru? Sepertinya tidak.

“Sara Sophia,” panggil Andra. Jika sudah begini tandanya pikiran ini sedang tak menghuni tubuhku. “Kenapa Pak Dirja begitu?”

Aku menatap dia. Larik mentari mengenai wajah Andra bagai sengaja mempertegas perbedaan yang kami miliki. “Gila duit, Dra. Dia pasti dapat bagian dari Cita Kata.”

Dia berdecak, “ini udah bulan keenam sejak kamu perpanjang kontrak. Lakuin sesuatulah buat nambah skill-mu.”

“Ya, apa?”

“Apa, kek! Soalnya kamu aja enggak punya hardskill yang menjual,” katanya. “Kamu excel enggak bisa-bisa banget, coding apalagi, statistika juga enggak, Bahasa Inggris apalagi. Gimana nanti kalau kontrakmu sudah habis? Mau tiga tahun di kantor itu?”

“Duh, Dra. Iya, aku tahu—terima kasih sudah diingetin,” aku mengusap wajahku. “Tapi, bisa enggak soal itu disimpan dulu sampai nanti? Aku baru sampai dari Manggarai, loh.”

Lihat selengkapnya