“Hadeh, ini Malih-Bolot kenapa lagi, sih?”
Aku tahu ini tak semestinya terjadi.
Badanku terbangun dengan linu yang menjalar dari kepala hingga ke ujung ibu jari kakiku. Nyamuk-nyamuk berseliweran dan memasuki celah-celah kecil bajuku. Rupanya aku pun terbangun karena ada salah satu yang mencumbuku cukup beringas.
Teriakan dari kejauhan kudengar teramat jelasnya. Suaranya sungguh kukenali karena mereka berdua seperti sedang bersahutan dan ini adalah adegan yang acapkali terjadi di kantorku.
Ya, Tuhan! Neraka macam apa ini?
“Bu Riana, saya ini cuma nanya. Perintah pembayarannya udah ditanda tangan belum? Kapan cair? Kasihan itu Noto kalau belum dibayar-bayar, padahal udah ngerjain.”
“Tapi kan ngerjain bukan berarti selesai! Duh, Bapak gimana, sih?”
“Nyamuk setan!”
Entah mengapa mulutku lantas mengucapkan itu walaupun aku tahu hal ini sepertinya telah berulang.
Ya, Tuhan!
Aku buru-buru merangkak dari kolong mejaku dan tatkala aku hendak berdiri, si bodoh ini tak melihat jika aku belum selamanya aman. Duk! Kepalaku terantuk kolong meja cukup keras.
“Aduh, goblok!”
“Sara?” Suara Pak Dirja memanggilku.
Oh, Tuhan! Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Bisa kita ngobrol sebentar?”
Sesaat aku sudah berdiri sempurna dan mataku sejajar dengan kepalanya, aku segera menggeleng. Aku melirik lagi ke meja Gabby, masih rapi sempurna seakan tak pernah ditempati oleh orang yang senang menimbun barang-barang daur ulang.
“Bapak saya mau tanya boleh?”
Dia diam saja, tapi masa bodoh aku tak perlu persetujuannya untuk menanyakan Gabby.
“Bapak tahu Gabby di mana?”
Dia mengedik, “lho, kok tanya saya? Mana saya tahu!”
Aku pun tak menghiraukan dia yang menatapku secara aneh. Aku buru-buru memutari deretan kubikelku untuk mendekati meja Ibu Maryam. Sesaat sudah di deretan seberang, aku melewati Ibu Riana. Dia lalu menatapku dari atas hingga bawah.
“Kamu kayak anak aku aja, senangnya tidur. Cuma bedanya kamu tidur terus kayak enggak ada kerjaan,” ucapnya tiba-tiba. “Kalau anak aku itu tidur terus, tapi bisa dapat nilai 90 dan tahun depan mau kuliah di Jerman.”
Aku tak menghiraukan dia karena dia memang senang berbangga diri seperti itu.
Lebih parahnya juga aku sampai tahu ada tangan-tangan yang bermain untuk membuat nilai anaknya mentereng seperti itu. Tangan-tangan yang menyodorkan logam mulia dan amplop bernilai lebih dari sejuta.
Lalu, dari mana aku bisa tahu semua itu? Ya, tentu dari mulutnya sendiri.
Sungguh menyenangkan bekerja di sini.
Kembali ke Gabby.
Aku melihat Bu Maryam sedang menonton video klip Letto - Ruang Rindu. Telinganya disumbat headphone super besar dengan lampu RGB yang membuatnya seperti ada di kubikel warnet.
“Ibu Maryam,” aku memanggilnya. “Apa Ibu lihat Gabby hari ini?”
“Kau datang dan pergiiii…begitu sahajaaaaa…” Dia menyenandungkan lagi dari komputernya. “Tak pernah kembali…”
“Anu—” aku menyentuh lengannya. “Bu?”
Sejujurnya aku ingin mengoreksi nyanyian, tapi sepertinya tidak perlu karena ada hal yang lebih penting.
“Anu—Ibu, Ibu tahu Gabby di mana?”