Petty berdiri di hadapanku. Matanya tampak kosong, dengan rona hitam yang mencolok di sekelilingnya. Jika penampilannya lebih mengenaskan sedikit saja, mungkin ia akan terlihat seperti Imhotep saat pertama kali dibangkitkan dalam film The Mummy tahun 1999.
Petty tinggal merenggut mataku, mencabik wajahku dan menyedot seluruh jiwaku jika memang keberadaannya ditakdirkan untuk membunuhku. Namun seperti doa yang telah kuhaturkan, Tuhan telah memberiku jawaban tanpa kasbon alias bayar dimuka.
“Separah itu kah mukaku sampai kamu berpikir aku mirip Imhotep?”
Dan, dia tahu apa yang aku pikirkan! Imhotep! Ini tentu bukan lagi kebetulan karena aku sebutkan satu nama yang sering hampir tidak pernah orang pikirkan kalau dia tidak belajar sejarah atau menonton film the Mummy dua dekade yang lalu itu.
Dia Sudah jelas dia bisa membaca pikiranku, tapi kenapa bisa? Dan, kenapa dia lakukan ini kepadaku? Mengejarku seperti seorang penguntit dengan banyak topengnya. Apakah dia mata-mata?
“Mau apa kamu, Mbak?!”
“Aku enggak berniat ngapa-ngapain kamu, Sara. Tadi aku cuma sapa kamu, terus tiba-tiba kamu kabur karena ingin buang air besar.”
“Bahkan Mbak tahu kalau aku pergi karena ingin pup! Mbak ini siapa?”
“Tunggu, ini kamu asam lambungmu naik, enggak mau ke dokter?”
Mendengarnya berlagak peduli, entah kenapa malah membuatku sebal dengan dia. Lagipula, siapalah dia? Kenapa dia selalu muncul pada saat-saat seperti ini?
Aku keluar dari bilik, berusaha untuk tak gentar menghadapinya. Petty berjalan mundur sampai kita berada di area wastafel. “Kamu siapa sebenarnya, Mbak?”
“Aku bukan seperti yang kamu pikirkan,” jawabnya. “Aku sendiri enggak tahu kenapa aku di sini. Aku…aku bahkan—aku enggak tahu apa-apa tentang semua ini. Aku cuma tahu ada kamu di biro itu.”
“Kenapa Mbak bisa baca pikiranku? Mbak ini cenayang? Peramal? Atau orang gila yang ngaku indigo?”
Petty mulai resah, kulihat jelas kerut di wajahnya. Berkali-kali ia mendecak, mungkin dia sebal saat aku tekan seperti ini. “Kamu enggak akan percaya, tapi aku mengalami apa yang kamu alami,” ucapnya. “Ini kali ketiga aku terbangun pada hari yang sama saat aku tiba di kantor ini dan ketemu kamu.”
“Bohong!” Teriakku. “Kalau ini kali ketiga Mbak kebangun di sini seperti aku, harusnya Mbak juga lagi cari orang kayak aku dengan Gabby. Kayaknya enggak ada yang hilang dari Mbak.”
Dia menggeleng, tapi wajahnya agak tak sedap dipandang setelah kalimat terakhirku itu, “aku juga enggak ngerti,” jawabnya. “Kita ada di lingkaran waktu.”
“Maksudnya?”
“Timeloop—kayak film Happy Death Day. Hmm—pasti kamu enggak nonton itu—sebentar, film lama…time loop…Groundhog Day? Pasti nonton, kan? Kamu selalu nonton film lama harusnya kamu—”
Jujur saja, tembakan dia tepat, tapi apa yang membuatnya bisa menembak sedemikian tepat? Aku cukup terkaget.
Adegan pembuka putaran waktu di film Groundhog Day langsung terlintas di benakku. Phill, si tokoh utama selalu mendengar alarm radionya menyetel lagu yang sama setiap kali ia terbangun pada tanggal 2 Februari saat perayaan Groundhog Day di Pennsylvania.
Bukankah aku berulang kali selalu terbangun karena mendengar suara Kabag dan Kasubbag di kantorku bertengkar?
“Iya, memang kayak timeloop di Groundhog Day cara kerjanya. Aku pun terbangun di ruanganku.”
“Timeloop itu enggak nyata, Mbak!” Jawabku. “Mbak percaya sama hal beginian? Kita kan enggak hidup di dunia fiksi sains—”
“Terus kalau bukan itu apa?” Kali ini dia yang mulai berteriak kepadaku. “Kamu ada pendapat lain kenapa kita bisa ada di sini?”
“Lupain konspirasi aneh yang ada di kepalamu, Mbak!” Aku menunjuk-nunjuk dia. “Aku lebih percaya kalau sebenarnya aku sudah mati. Dan, lingkaran waktu ini adalah hukuman kita karena enggak jadi manusia baik di dunia dulu.”
“Mati apanya!” Jawabnya. “Kalau mati kenapa aku masih bisa ngerasain kopi kemarin? Aku masih bisa nyetir mobilku, semua masih terasa nyata termasuk kamu—”
“Maksudnya terasa nyata apa?”
“Aku masih bisa tahu isi hati dan pikiranmu! Aku tahu apa yang kamu sembunyikan di balik celana panjangmu! Aku tahu kakakmu sering jual barang-barang di rumahmu, kamu juga musuhan sama kakak keduamu—”
“Mbak kurang ajar, ya!” Tanganku mulai terkepal.
Siapa yang memperbolehkan dia membaca semua tentang diriku? Sekalipun dia cenayang, dukun atau orang berlagak indigo, yang namanya privasi tidak semestinya didobrak seenaknya sendiri!
“Mau bagaimana lagi, Sara? Apa lagi yang bisa kulakukan untuk buat kamu percaya kalau kita enggak mati, Sar! Semuanya masih terasa nyata,” katanya. “Bahkan ketika tanganmu terkepal, kamu masih bisa merasakan kuku-kukumu menekan kulit telapak tanganmu. Apakah itu yang dinamakan mati? Kalaupun kita mati, kenapa enggak ada malaikat yang nanyain siapa Tuhanmu di sini?”
Orang gila! Lagipula, andaikata aku mati bunuh diri, apakah malaikat tetap sudi mendekat dan menanyakan, siapa Tuhanmu dan siapa Nabimu? Bisa jadi justru sebelum tibanya hari pembalasan, aku sudah terlebih dahulu dihukum di limbo seperti ini? Atau sekalian saja Tuhan menjebloskanku ke neraka-Nya.
Lalu, bisa saja aku menjadi tumbal kantor ini sehingga ruhku selalu terbangun di ruangan kantorku. Tidakkah itu membuktikan kalau jiwaku terjebak di tempat ini? Mungkin Petty adalah arwah penasaran entah dari tahun kapan dan merasa masih hidup pada masa sekarang.
Aduh, kenapa ini yang justru kupikirkan?
“Iya, terserah kalau kamu mau sebut aku gila,” jawabnya dengan tampang memelas yang sungguh menjijikan. “Tapi, demi Tuhan. Aku ini bukan setan dan enggak ada setan di sini. Lagipula, aku yakin betul kalau kamu enggak akan punya nyali untuk bunuh diri. Kamu terlalu takut untuk mati, walaupun kamu sungguh ingin.”
“Sialan kamu, Mbak!”
“Kamu yang enggak masuk akal kalau berpikir kita berdua sudah mati!”
Aku berkata sambil berjalan mundur karena sungguh tak ingin bila Petty mendekatiku. “Jangan dekat-dekat aku! Kamu aneh, Mbak! Aku enggak suka kamu!”
“Tolong, Sar. Jangan begitu, kita cuma punya masing-masing di tempat ini,” dia kini mulai memohon.
“Pergi dari hadapanku, Mbak!”
Dia menggeleng, “enggak mau kalau tanpa kamu!”
“Kalau aku bilang pergi, ya pergi, Mbak!”
“Kamu keras kepala, Sara,” ucapnya. “Pantas saja kamu dibenci papamu.”