“Anu, kayaknya—kita enggak usah masuk ke sana, Mbak.”
Saat ini aku sedang mati-matian menahan Petty agar tidak masuk ke kantorku. Aku sungguh takut kalau sosok hantu menyerupai diriku ini masih ada di meja Mbak Fanny. Kalau aku betulan masih hidup, bukankah mengerikan sekali menemukan sosok kembaranku yang beda alam? Itu pun kalau betulan dia hantu, kalau bukan? Tidakkah makin mengerikan?
“Jadi, hantu itu menyerupai kamu?”
Aku mengangguk, tak perlu menjawabnya karena sudah pasti dia tahu.
“Doppelganger,” gumamnya. “Aku enggak pernah nemuin aku yang lain di sini.”
“Mukanya aneh, aku takut,” jawabku.
“Ah, enggak apa-apa! Jangan takut, ada aku,” Petty tiba-tiba membuka pintu kantorku yang langsung memperlihatkan area kubikelku dan seluruh orang dibagian Evaluasi dan Pelaporan, termasuk kubikel Gabby yang sudah kosong melompong.
Dia berjalan pelan menuju kubikel Gabby dengan aku membuntutinya seperti anak bebek.
“Tadi setannya di ujung sana, kubikel bagian pengembangan organisasi!” Aku menunjuk sisi lain kantorku, kubikel teman-teman Mbak Fany yang saat ini kosong.
“Udah, ah enggak usah takut,” katanya. “Ada aku.”
DIa pun masih mengegah ke kubikel Gabby, meski dia terus ditatap oleh Bu Maryam dan Bu Riana.
Setibanya di meja Gabby dia bergaya seperti ahli nujum yang bisa merasakan sesuatu tanpa menyentuhnya. Tangannya mengambang setinggi sepuluh senti dari meja dan matanya pun sampai terpejam.
“Meja ini kosong,” Petty mengatakan sesuatu yang percuma. Anehnya, yang diucapkan Petty adalah sesuatu yang sudah tampak. Orang juga tahu bila kubikel Gabby belakangan ini kosong. Buat apa dia berlaku seperti peramal kelas teri yang konon bisa menembus batas ruang dan waktu bahkan lintas alam?
Aku menghela napas, agak kecewa juga dengan tingkahnya yang sama anehnya seperti mereka di televisi.
Namun, sebelum aku berkomentar apa-apa dia sudah menaruh telunjukknya di depan bibirku. “bukan seperti yang kamu pikir. Aku merasakan meja ini seperti baru, belum pernah dihuni siapapun. Enggak ada residu emosi yang tertinggal—”
Aku menurunkan lengannya setelah cukup jengah lantaran tingkahnya yang demikian. “Mbak, bisa biasa aja enggak?”
Dia langsung membuka mata dan menurunkan tangan yang sebelumnya ada di atas meja. “Ya, maaf,” katanya. “Intinya, memang nggak ada residu Gabby di meja ini.”
“Sumpah, Mbak Mar! Pacar situ kebangetan! Dibilangin enggak paham-paham!” Suara Bu Riana sayangnya menimpa suara Petty yang tak begitu lantang. “Pantas aja dia sama istrinya lagi pisah rumah! Siapa juga yang mau sama laki kayak begitu. Ih!”
Kami berdua langsung terlonjak karena suara lantang Bu Riana saat mengajak Bu Maryam merumpi. Lemparan sindiran seperti ini acap kali mereka lakukan saban tidak ada Pak Dirja di kantor ini. Oh tentu, bukan kali ini saja hal serupa ini terjadi. Bisa kukatakan juga jika yang serupa ini adalah makanan sehari-hariku dan Gabby.
“Kayaknya tuh dia stres karena lagi pisah sama istrinya,” Jawab Ibunda Maryam. “Jadinya kita yang ketimpahan sialnya!”
“Tuh, kan Mbak,” aku menyenggol siku Petty. “Kalau enggak ketemu setan itu, ya orang-orang ini. Enggak ada bedanya! Sama-sama nyeremin! Kan, sudah kubilang enggak usah masuk ke kantorku.”
Petty menatapku dan tak lama ia berbisik, “yang gemuk—maksudnya, yang anu—marah-marah pertama,” mulut Petty jadi berjarak seinci di telingaku. Maksudnya, tentu saja adalah Bu Riana. “Ada sesuatu yang hilang dari diri dia dan itu mengganggu kehidupan dia sepenuhnya. Kehilangan yang sangat besar sampai dia menjadi orang yang beda dari sebelumnya.”
“Kehilangan apa, sih Mbak?”
“Orang yang sayang sama dia. Mungkin juga dulu sering kasih dia validasi yang selalu mau dia dengar. Jadi, ketika orang itu pergi, dia berusaha mencari validasi di tempat umum, walaupun dengan cara yang kampungan.”
“Misalnya nyogok atasan pakai rawon?”
Petty menjentikkan jari, “betul dan tepat,” katanya. “Hati-hati juga, dia pintar bermain mimik. Jangan terlena sama dia punya muka baik. Kapan saja amarahnya bisa meledak ke kamu karena ada beberapa hal yang dia enggak suka dari kamu juga orang-orang di sekitar sini, Gabby misalnya,” jelasnya. “Namun, selayaknya semua ibu, dia masih punya sedikit sisi baik, kok. Rasa sayang dia kepada anaknya yang enggak terbendung, bikin dia selalu usahakan banyak hal atas nama anaknya.”
“Kamu beneran enggak mau jadi peramal aja, Mbak?”