Pendulum Waktu

Shanen Patricia Angelica
Chapter #9

Kami Bukan Maling

Perjalanan kami ke indekos Gabby tak sampai sepuluh menit karena memang sedekat itu letaknya. Makanya, Gabby selalu bisa pergi mepet jam kerja dimulai. Kadang aku pun ingin mengikuti jejak Gabby tinggal sendiri di dekat kantor. Ia tidak perlu berdesak-desakan di kereta atau menempuh perjalanan lanjutan dengan ojek daring yang kian lama semakin minim promo. Sayangnya, hatiku masih diberatkan oleh Mama yang tinggal di rumah bersama kakak pertama yang begitu adanya.

Dulu Gabby sering bercerita jika hubungannya dengan ibu dan ayahnya menjadi jauh lebih menyenangkan setelah ia merantau. Gabby pun menawarkan solusi serupa acapkali aku bercerita kepadanya tentang kepelikan rumahku. Memang kami hanya sebatas teman kantor, tapi adakalanya aku yang kerap mengeluhkan gaji yang tidak ada apa-apanya itu, tertangkap basah sedang mendumel sendiri karena urusan rumah. Kalau sudah begitu dia biasanya langsung membawa botol minumnya dan mencolek pundakku.

“Ayo, ke Terang Mart.”

Kedekatanku dengan Gabby juga bermula dari kontrak pertama yang bermasalah. Ketika itu kami masih dalam masa percobaan alias magang yang bergaji setengah dari gaji kami yang sekarang. Kami diiming-imingi posisi menjadi pegawai kontrak sebelum tiba waktunya wisuda. Sebagaimana impianku untuk bisa dapat uang lebih cepat juga impian Gabby untuk menambah pundi-pundi pendapatannya, kita berdua mengurus tetek bengek administrasi pengajuan tenaga kontrak di instansi ini.

Kami membantu atasan membuat analisis jabatan dan analisis beban kerja, lalu surat pengajuan, bolak-balik revisi analisis jabatan dan beban kerja, menulis surat lagi sampai banyak kendala lainnya. Dari situ kami mulai menyingkap sedikit demi sedikit keresahan kami, tentang aku yang butuh uang setelah ditinggal Papa, tentang dia yang harus membiayai hidupnya sendiri, tentang impiannya untuk kaya, tentang keinginanku untuk membahagiakan Mama. Ya, seperti itulah masa awal kedekatan kami.

Namun belakangan ini, cerita-cerita itu berubah menjadi luapan amarah karena kami saksikan terang-terangan bagaimana Pak Dirja memperalat sistem untuk kepentingannya sendiri. Aku tidak tahu apakah yang begini mafhum di instansi lain—memakai vendor untuk pekerjaan sehari-hari kami tanpa melibatkan kami dalam pengambilan keputusan atau memang, ini kantorku saja yang bobrok?

 Kalau sudah sebal karena pikiran begini, kami pun akan duduk berlama-lama di Terang Mart seperti dua anak kecil yang sedang merajuk.

“Apa-apa tuh harus ngikutin kepentingan dia, tapi dia sama sekali enggak pernah mikirin posisi kita.” Saat itu kami di Terang Mart. Dia memesan kopi keju dengan es sedikit, sementara aku minta es batunya digandakan. “Seenaknya aja dia ambil-ambil tugas gue di pengolahan data laporan kinerja, terus suruh gue bantuin Mas Sigit, OB yang baru buat nganterin minuman kalau dia rapat. Gila enggak, tuh? Kalau enggak ada sistem penalti sebelum kontrak selesai juga enggak bakal gue tinggal di sini lama-lama!”

“Kayaknya bentar lagi gue, Gab. Soalnya dia udah sering micromanage gue bahkan enggak jarang dia pantau PC gue dari Anydesk.”

Aku ingin jujur keberadaan Anydesk nyatanya bisa menyimpan bilah lain yang jika orang lengah, semua privasi di layar PC siapapun akan terbongkar dalam sekali pencet.

“Itu dia lagi nyari celah lo. Pasti bentar lagi lo dipanggil dia, deh,” dia menyandarkan tubuhnya di sofa, kedua kakinya ia lipat seperti sedang mencari sisi nyaman di sofa ini. “Ya, kalau enggak besok, paling lusa.”

Dan, ternyata obrolan itu dengan kejadian saat ini hanya berjarak satu hari.

“Mikir apa?” Petty memecah keheningan dan lamunanku terhadap sosok-sosok menyebalkan dalam hidupku. 

“Tolong jangan baca emosiku yang ini,” pintaku saat ini.

Petty menyeringai sampai wajahnya tampak jenaka, “noted.”

Dia berkendara begitu pelan, mungkin tenang walau sesekali ada saja motor yang menyalip bahkan kulihat ada yang tak sengaja menyenggol spionnya. Namun, alih-alih ia mengata-ngatai si pengendara dengan sumpah serapah yang kerap lontarkan saat marah, Petty hanya mendengus dan menggeleng.

“Mbak kalau mau marah jangan ditahan, loh.”

“Ya, tapi aku enggak akan ngatain orang ‘anjir’ juga, Sar,” dia melirikku masih dengan menyeringai.

Sekarang gantian aku yang menggeleng. Rupanya dia pendendam juga, “oke, maaf, latahku kasar.”

“Iya, ngerti. Kamu panik,” katanya. “Ini ke mana lagi?”

Aku lanjut mengarahkan Petty sesuai ingatanku. Mobil pun bergulir ke kiri, memasuki sebuah gang yang memang hanya muat satu mobil. Ia tampak tak mengkhawatirkan jalanan yang kian mengecil. Mungkin saat bikin SIM dulu, Petty memang jujur sampai rela mengulang dua-tiga kali demi lulus ujian praktek. Lucu juga kalau dipikir-pikir. 

Well, kita sampai,” ia pun memelankan mobilnya di depan suatu rumah yang cukup besar dan minimalis. Papan nama bertuliskan Kos Harnessia menegaskan sepertinya memang benar ini tempatnya. Ku ingat juga bila ada relief singa di gagang pagarnya dan kamar Gabby langsung bisa kulihat dari halaman depan.

“Itu dia kamarnya!” Aku meluputkan Petty saking bersemangatnya saat melihat pintu kamar Gabby yang terbuka sebagian.

Gabby ada di kamarnya!

Lantas, kubuka pintu Karimun ini untuk bergegas menyambangi kamarnya. Meongan kucing terdengar dari sisi dalam bangunan kos itu. Suara yang melengking dan terdengar tak sabaran sudah cukup sering kudengar setiap kali mampir. Memang Gabby senang merawat kucing liar di sini bahkan ada satu yang sampai dia beri nama. Kucing kembang telon yang katanya senang tebar pesona ke pejantan-pejantan tangguh sering ia panggil Cimi, Cimbrot, Cimblay, Cirambay tergantung sikon dan suasana hati si pemilik.

Tak lama, si kucing menampakkan dirinya. Pupil matanya membesar tatkala melihatku. Jalannya pun menjadi berjingkat seperti mengira aku membawa makanan seperti pemiliknya. Aku kembali teringat kemampuan Petty, bukankah—kucing juga punya emosi?

“Mbak Petty!” Aku berseru memanggilnya yang tengah kesulitan parkir mobil. “Aku butuh bantuan!”

Petty kelihatan begitu grasak-grusuk saat parkir paralel. Berkali-kali juga kulihat Karimun-nya mati-nyala sampai mesti distarter terus. Setelah melihat Petty dengan segala ketenangannya, ternyata dia masih manusia yang memiliki sekecil-kecilnya cela seperti tidak bisa parkir paralel.

“Mbaaaaaaaak!”

“Mbaaaaaaaak!”

“Meongggggg!”

Lihat selengkapnya