Aku melihat Petty sudah ancang-ancang kabur, sementara Cimi justru memanjat celanaku. Tanpa banyak berpikir, aku menaruh Cimi di tempat yang semestinya dan berlari melewati Petty.
“Sialan, aku ditinggal!” Kudengar Petty menyumpah di belakang.
Bak gemuruh dari langit, aku mendengar puluhan langkah kaki menuruni tangga indekos Gabby. Aku berlari dengan kalut dan semakin kalut lagi ketika kulihat bumper belakang Karimun Petty sudah terperosok di got. Aku yang berhenti sejenak untuk menekuri kesialan Petty, tiba-tiba disambar olehnya hingga kami lari berdua meninggalkan mobil Petty yang teronggok begitu saja.
“Woi, maling!”
“Bakar, woi! Bakar!”
Jantungku kembang kempis saat melihat kerumunan itu betulan mengejar kami. Lantaran indekos Gabby di gang, tentu saja gemuruh itu menarik kerumunan lain untuk bergabung meneriaki kami. Aku lihat juga ada beberapa ibu-ibu yang mengacungkan sapu dan pengki diiringi teriakan yang memekakkan.
“Mbak gimana, nih?!” Aku baru bisa berkata saat berada di mulut gang.
Kerumunan masih beberapa meter lagi di belakang.
Petty menoleh kian kemari, tampangnya selinglung aku yang juga baru pertama dikejar massa. “Balik ke kantor! Kalau mau pingsan enggak usah ditahan!”
BRAK!
“Hancurin mobilnya!”
Sontak Petty menghentikan langkahnya. Dia berbalik badan hanya untuk menyaksikan kerumunan itu bertindak beringas ke mobilnya. Sebagian dari mereka memilih memukuli Karimun yang tak bersalah itu, sedangkan ada beberapa yang menggunakan linggis untuk merusak kaca, pintu bahkan bumper depan Karimun itu.
Petty jatuh berlutut. Kini, kulihat air matanya mengalir deras dan ia mulai terisak. Wajahnya terbenam di tempurung lututnya, sementara seluruh tubuhnya justru bergetar cukup hebat.
Kudengar juga ia merintih, “aduh, Tuhan, sakit!”
“Bakar aja nih mobilnya!” Kerumunan di belakang kami berseru.
“Mobilku salah apa, Tuhan!” Rintih Petty masih dalam posisi berlututnya.
“Mbak Petty kenapa?” Aku berjongkok di sisinya, mencoba membuatnya bangkit kembali agar bisa kabur dari sini.
Dia mendongak sekilas, lalu kembali membenamkan wajahnya ke lutut, “pergilah, Sar! Badanku sakit!”
“Sakit kenapa?”
“Mobilku hancur…tubuhku merasakan kehancurannya.”
“Hah? Itu karena kekuatanmu?”
“Pergi dulu, Sara! Kalau bisa cepat-cepatlah pingsan!”
Saat kami berhenti dan percakapan itu terjadi, salah seorang dari kerumunan menunjuk ke arah kami. Matanya membeliak merah dengan mulut sedikit berliur. Jika pantas disamakan, orang itu tak lain dari anjing gila yang tak kenal orang. Ditambah lagi entah hanya halusinasiku atau bukan, tapi aku bersumpah bisa mendengarnya menyalak kepada kami.
“Pergi, Sara!”
“Enggak mau! Aku mau nemenin, Mbak!” Suaraku melengking, tetapi tepat pada saat itu sinar yang selalu menumbangkanku muncul kembali.
Kali ini tidak aku tahan. Kurasakan betul ketika larik itu menghunjam seluruh rongga yang ada di tubuhku. Ia bermanifestasi menjadi kehangatan tiada tara yang menyebar ke dalam aliran darahku. Degup jantungku terdengar begitu lantang seakan berada dekat dengan telingaku. Gelegak darahku turut dapat kurasakan arah alirannya. Ada yang pergi untuk bergumul di dadaku, lalu dipompa kembali hingga ke kepala sampai menyentuh ubun-ubun. Ada pula yang merambat hingga ke tulang ekorku dan sampai pada ujung-ujung jariku. Kehangatan itu memenuhi diriku, sempat pula melenakanku, tetapi sampai pada satu titik, jantungku mulai kehilangan iramanya.
Mendadak tubuhku jadi limbung. Rasa nyeri menekan seluruh ujung jemariku. Sensasi meledak yang teredam membuat tubuhku kejur. Pada saat itu kusaksikan wajah Petty mendekat. Tangannya kurasakan menempel pada belikatku, mungkin untuk menahanku agar tak tersungkur.
Suara-suara berubah jadi gema yang menyeramkan. Mereka sudah bukan lagi seperti berteriak, melainkan pula meraung dan menyalak sampai begitu melengking. Mungkin aku salah, tapi demi Tuhan! Bila neraka sungguh ada, barangkali suara-suara itulah yang akan bermunculan.
“Pergi, Sara!” Katanya pada ujung kesadaranku/
Aku pun masih berupaya untuk menjawabnya, “enggak, Mbak! Aku…aku enggak mau kehilangan teman…lagi,” kataku. “Temanku satu-satunya di kantor sudah hilang, enggak tahu akan ketemu lagi atau enggak.”
Ting…ting…ting…kembali lagi kudengar suara itu.
Pada saat itu, yang kutahu adalah wajahku akan menghantam aspal.
BRAK!
***
“Sara, mau ikut ke kantin enggak?”
Kenanganku tentang Gabby sesederhana ajakannya tiap hari untuk pergi ke kantin atau Terang Mart.
Ada suatu waktu, aku bersama Gabby hendak mengintil Geng Mbak Fanny—yang kursinya ditempati oleh sosok hantu berwujud aku. Aku berdua bersama Gabby, sementara Geng Mbak Fanny ada empat orang lainnya. Mereka berlima tersebar dari bagian Pengembangan Organisasi dan Manajemen Risiko. Raut wajah mereka semua tentu tidak sesemrawut aku dan Gabby, terlebih aku yang saat itu sedang rutin-rutinnya pergi konseling ke Puskesmas.
Kami bertujuh berjalan bersama, tetapi aku dan Gabby berada di bagian paling belakang. Meski, sesekali Mbak Fanny menghampiri kami agar kami tidak tertinggal, tapi tetap saja kami tidak bisa mengikuti arah pembicaraan mereka.
“Uang perjadin acara di Bali kemarin kapan keluar, sih?” Aku dengar seseorang bernama Nirina mencetuskan pertanyaan itu saat kami sedang menunggu lift.
“Kata keuangan sih, PP-nya udah ditanda tangan Ibu Dir,” jawab Mbak Fanny.
“Bagus, deh,” celetuk Nirina. “Soalnya, minggu depan ada acara konsinyering lagi di Pullman, Jakarta, masa masih belum dibayar yang bulan lalu.”
“Ya, Nir, kayak kagak tahu ini kantor aja, sih?” Salah satu teman Nirina, pegawai dari bagian ManRisk yang biasa dipanggil Mbak Aci mulai menyahutinya.
Kalau sudah begini, biasanya akan ada hal lanjutan seperti ketidakpuasan dari nominal yang diterima dari uang perjadin (perjalanan dinas) mereka. Lantas kemudian, akan ada ide untuk membuat perencanaan perjadin lain yang lokasinya jauh di ujung berung, untuk memaksimalkan hitungan yang berpedoman pada Standar Biaya Keluaran (SBK). Sudah pasti yang mereka pilih adalah provinsi-provinsi dengan nilai uang transport yang tinggi, seperti Yogyakarta atau Bali.
Saat itu, Mbak Aci beradu tatap dengan Gabby dan hanya perlu menunggu setidaknya tiga detik untuk mendengarkan upaya investigasi terhadap Gabby tentang bagianku. “Eh, Gab, bagian kalian itu kenapa, sih?”
“Kenapa apanya?” Balas Gabby.
“Ya,” Mbak Aci melirik semua orang yang tengah ada di depan lift, “kok, enggak pernah ada perjadin, sih?”
“Yah, Mbak, kok nanya saya?” Kata Gabby. “Kan, yang ngurusin acaranya bagian kami si Ibu Riana, bukan saya, apalagi Sara.”
Mbak Aci mendengkus seperti hendak membuka topik lain yang lebih tajam dari sekadar uang perjadin yang belum dibayar, “aduh, kasihan, ya? Mana Kabag kalian juga kalau rapat koordinasi suka marah-marah sendiri. Ih, kayak NPD, deh.”
“Hah?” Kami berdua merespon dia dengan tampang bodoh yang serupa.
“Narcisstic Personality Disorder,” kata si Mbak Aci. “Eh, hati-hati, loh. NPD itu bisa nular. Katanya NPD not only can be born, but also made.”
Aduh, mendengar ia berkata begitu, rasanya aku ingin mengetes ulang kemampuan TOEFL-ku.