“Aku yakin tempat ini ada ujungnya.” ujar Petty ketika kami berada di dalam Karimun kotaknya. “Atau mungkin…bisa juga kejadian yang kita alami di sini akan bermuara pada satu kejadian pemungkas. Titik akhir dari semuanya.”
“Misalnya apa, Mbak?” Aku menoleh kepadanya.
“Mungkin suatu saat aku bisa mengingat kisah hidupku lagi,” katanya.
“Mbak, amnesia? Kecelakaan?”
Dia menggeleng, “aku sudah mengusahakan banyak cara untuk bisa mengingat, tapi nihil, Sar. Aku sama sekali enggak ingat apa-apa tentang hidupku sendiri. Masih beruntung aku bisa mengingat nama dan profesiku, kalau enggak? Mungkin aku akan makin kacau.”
“Kamu kehilangan ingatanmu, sementara aku—kehilangan Gabby? Kita berdua kehilangan. Begitu, kah cara mainnya di sini?”
Petty mengedikkan bahu di belakang kemudinya, “ya, begitulah,” katanya. “Tapi, aku belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, karena aku langsung bertemu kamu setelah terbangun di-timeloop.”
“Terus gimana kita mau tahu ujungnya kalau kita berdua aja bingung?”
Dia diam dengan tangan tergantung di kemudi, “karena kamu masih ingat banyak hal, kenapa kita enggak cari tahu tentang kamu dulu?”
“Maksudnya cari tahu?”
“Ya, misalnya tentang Gabby, tentang pacarmu, mamamu, keluargamu…itu dulu saja. Mungkin nanti aku akan perlahan ingat tentang diriku.”
“Kita harus ngapain?”
“Hmm…aku berpikir dulu, ya.”
Saat ini kami masih parkir rapi di depan kantorku. Kanan-kiri Karimun Petty, masih mobil biasa yang tidak menunjukkan keanehan sama sekali. Hanya saja memang, orang yang kami temui di sini cukup jarang dan sekalipun ada, mereka menunjukkan gelagat aneh, tapi tetap saja, dugaan kuatku adalah saat ini aku ada di limbo.
Hanya saja aku tidak tahu bagaimana caranya untuk kembali dan apa yang membuatku terjebak di sini? Dan kalau benar aku di limbo, bagaimana dengan mamaku dan Andra?
“Mbak, tapi bukankah ini terlalu aneh kalau semua ini terjadi di dunia nyata?”
“Kamu masih percaya kalau kamu mati?”
Aku mengangguk, “karena selama ini aku ingin mati, Mbak.”
“Sudah berapa lama?” Tanya Petty.
Aku menoleh ke kursi kemudi, “lama apanya?”
“Kamu ingin mati.”
“Lah, harusnya Mbak Petty tahu dong kalau memang betul bisa baca pikiran aku?
Dia tersenyum, “tahu, sih, tapi mau dengar cerita kamu aja.”
Aku terdiam sejenak untuk mencerna ucapannya. Biasanya, tidak banyak orang yang berani menyinggung hal-hal seputar diriku apalagi tentang hidup dan mati. Untuk apa? Andra saja yang sehari-hari berkomunikasi denganku, tidak benar-benar tahu tentang semua percobaan yang pernah kulakukan saat masa-masa tergelapku.
Ironisnya lagi adalah mamaku pernah bilang kalau sebaiknya aku tidak menceritakan kesedihanku karena itu akan menular ke orang lain dan membuat hari mereka jadi kelabu.
Aku tidak ingin orang-orang terdekatku menjadi suram karena diriku dan karenanya, aku pun jadi menahan diri.
“Mamamu bilang begitu?”
Aku melirik Petty, rasanya cukup geram terus dikuliti seperti ini. “Kita bisa bikin perjanjian enggak sih, Mbak?”
“Perjanjian apa?”
“Ya, yang telah berlalu adalah privasiku dan segala pikiranku tentang hal itu, baiknya hanya kusimpan sendiri. Jadi tolong, kalau aku sedang memikirkan itu, jangan baca pikiranku atau—ya, bersikaplah masa bodoh kalau memang Mbak tahu sesuatu tentang itu,” kataku.
Kami sempat saling tatap sebentar sampai rasanya jengah sebelum dia mengulurkan tangan dan berkata, “ya, oke,” kulihat tangannya bergoyang di depanku. Minta kusambut.
“Deal,” kataku sambil menyambut tangannya. “Sebagai balasannya aku akan ceritakan tentang itu.”
“Oke,” balasnya.
“Aku lupa persisnya, tapi aku masih ingat rasanya saat aku ingin menyebrang jalan tanpa menengok kanan-kiri,” ucapku. “Dan, keinginan itu muncul saat aku SMP.”
Sejujurnya aku banyak lupa akan beberapa hal yang terjadi saat SMP dulu. Seingatku, aku bahkan banyak melupakan hal-hal yang terjadi di sana. Tidak banyak yang berkesan, tetapi aku pernah ingat—mungkin satu-satunya ingatanku tentang masa itu.
Pada suatu waktu, aku pernah menantang diriku untuk berjalan dari sekolahku sampai ke rumah. Saat itu memang sudah ada bis sekolah, hanya saja aku yang masih kerdil secara pikiran dan tubuh memilih untuk berjalan sejauh tiga kilometer alih-alih naik bus sekolah.
Sependek ingatanku, aku memang bukan anak yang riang, justru cenderung tertutup dan banyak membungkam mulut. Aku sendiri tidak tahu alasannya karena sungguh—aku lupa sebabnya. Mungkin memang sudah fitrahku dilahirkan menjadi orang yang kalau bisa diam, ya kenapa harus bicara? Daripada terlalu banyak bicara sampai lupa kapan waktunya untuk diam.
Ketika aku sudah hampir sampai di seberang gang rumahku. Pikiran intrusif mendorongku untuk menyeberang saja tanpa melihat mobil-mobil yang berlalu-lalang. Ada dorongan yang sangat kuat, yang membuatku berpikir—sepertinya mati saat ini tidak buruk-buruk amat. Maka, kakiku melangkah sembarang. Awalnya, aku memang berjalan sampai kemudian aku tiba-tiba berlari dan suara klakson terdengar membahana dari sisi kananku.
Rupanya sebuah motor berdesing melewatiku sambil oleng. Tak lama, ada klakson lagi dari mobil Panther yang memilih banting setir ke arah parkiran ruko. Lalu terakhir, ada satu motor sekuter yang benar-benar menyambarku, tapi kekuatan aneh seperti mendorongku untuk menepis moncong motor itu tanpa limbung sedikitpun.
Aku masih berdiri tegak, meskipun si pengemudi itu jatuh dan terguling.