“Yang mau aku ceritain kali ini adalah pengalaman aku nyaris mati muda, Mbak,” kataku ketika kami mulai berkendara di tol.
“Mati muda?” Petty membuka ceritaku tentang Geng Masa Bodoh selagi kami memasuki gerbang tol. “Ini percobaan bunuh diri yang keberapa?”
“Anu—”aku berpegangan sejenak sewaktu Petty terus menambah gigi sampai kecepatannya menjadi stabil. “Bukan bunuh diri, tapi—begini ceritanya.”
Sewaktu SMA kami memulai segalanya pada titik yang sama, tapi entah mengapa, aku tak bisa melaju secepat mereka.
Dahulu aku dikenal sebagai murid yang mendedikasikan hidupnya untuk belajar, belajar, baru bermain. Mereka semua tahu, sesekali mengerti, walau kadang jadinya sebal sendiri ketika aku lebih memilih mengerjakan soal matematika daripada mengobrol bersama mereka. Maklum, aku begitu takut jadi yang terbelakang karena itu akan memengaruhi kesempatanku untuk bisa masuk perguruan tinggi yang kuinginkan.
Saat itu, aku berpikir jika aku bisa diterima di kampus terbaik—setidaknya itulah yang kupikirkan dulu—kedua orang tuaku akan bangga. Papa pasti akan melihatku berbeda dari kakak-kakakku yang meninggalkan gelarnya, bahkan kakak pertamaku memilih untuk tidak skripsian karena mengejar sesuatu yang tak membawa kebahagiaan bagi siapapun.
Dan sebagai anak terakhir, aku ingin memutus rantai kesalahan itu dengan belajar segila-gilanya dan menjadi berbeda dengan anak mereka yang lain.
Sebelum mengenal teman-temanku, kemampuan bersosialisasiku bisa dikatakan terperosok ke dasar palung. Aku tidak biasa bergurau, memantik pembicaraan bahkan menatap mata orang lantaran sungkan. Aku menjadi sepayah-payahnya murid ketika berada di luar kelas, misalnya saat acara kemah masa orientasi siswa.
Ketika semua orang bersorak lantaran satu tenda dengan kawan dekatnya, aku justru tidak kenal rekan setendaku sendiri. Seingatku waktu itu, Mora dan Arvi sengaja dipasangkan olehku. Keduanya adalah orang yang aktif di kelas, sementara aku—hanya penaku saja yang aktif menggurat kertas.
Saat berkenalan pun tidak ada yang spesial karena setelahnya aku akan kembali diam. Memang diam sengaja kujadikan cara agar tak tampil rikuh bila di dekat orang. Bagiku diam tetaplah emas, asal tidak diam tahu-tahu keluar jadi tahi. Lantaran keyakinanku itu, selama seharian aku hanya mengekori mereka tanpa banyak menimbrung pembicaraan. Pada akhirnya mereka memang geregetan sendiri sampai akhirnya mau menarikku kedalam lingkaran mereka.
“Sara bawa makanan apa aja?” Mora bertanya ketika kami berada di luar tenda.
Semua murid saat itu diwajibkan untuk menyiapkan makanan sendiri selama tiga hari berkemah. Karenanya, Mama sudah menyiapkan bekal, makanan instan yang mudah dibuat bahkan sambil memejamkan mata. Ada mie instan, bihun instan, sosis instan, sereal pun bahkan ada yang instan. Intinya semua makananku saat itu sungguh tidak sehat.
Bertolak belakang denganku, Arvi bisa menyiapkan makanan dari nol dengan bahan-bahan alami yang tidak kuduga bisa dimasak ketika seperti ini.
“Kalian berdua makan pastaku aja. Kumasakin, nih sekarang,” Arvi pun mulai menyiapkan wajan, talenan dan bahan-bahan basah untuk membuat spageti aglio e olio.
“Bawa ayam enggak basi?” Pada saat itu, mataku tidak tertuju kepada Arvi, melainkan dada ayam giling yang ia keluarkan dari kotak pendinginnya.
“Kotak pendingin merek ini katanya bisa tahan dingin tiga hari,” jawabnya.
“Gue bantu apa, Vi?” Tanya Mora.
“Ambil air boleh, Mor,” jawab Arvi.
Pada saat itu, Mora yang berdiri justru menatapku cukup lama sampai aku sadar kalau dia juga mengajakku mengambil air.
“Oh, oke,” aku pun beranjak dan mulai mengikuti Mora ke arah mata air.
Area kemah kami adalah lapangan rumput yang datarannya berundak, di sekililing tidak banyak pepohonan yang menyeramkan dan dekat oleh sungai kecil yang menjadi sumber air kami saat itu.
Aku pun mengikuti jalan setapak yang dilalui Mora tanpa banyak berkata hingga tiba-tiba Mora menyeletuk, “kita sekelas, tapi enggak pernah ngobrol, ya?”
Dia berkata membelakangiku, tetapi aku tidak masalah karena ketika itu, aku mudah canggung kalau bertatapan dengan orang.
“Hmm—aku Sara—”
“Ya, enggak usah ngenalin diri lagi, Mbak!” Dia berbalik, wajahnya mendadak jadi jenaka. “Santai aja, Sar. Di sini waktunya nikmatin suasana, enggak usahlah lo pikirin buku-buku yang suka numpuk di meja lo itu.”
Hah?
Bisa-bisanya dia menyinggung kerjaanku di kelas. Padahal, aku sudah mencoba hadir sesenyap mungkin agar tak ada orang yang memedulikan eksistensiku.
“Iya, Amora—”
“Mora aja, sih,” balasnya. “Lo dari SMP mana, sih?”
Waduh, saat itu aku gelagapan. Aku tidak terbiasa bercerita tentang diriku yang sudah begini adanya. Mulutku rasanya berpasir jika harus menceritakan hidupku dari A sampai Z. Namun lebih daripada itu, ingatanku tentang masa SMP sepertinya kurang baik sampai jadi kabur sejak enam bulan pertama kelulusan.
“SMP swasta di Jakarta,” jawabku.
Mora memutar matanya, “ya, SMP swasta di Jakarta banyak, Sara,” katanya. “Yang mana?”
“Di anu—Jalan Swasembada, Tunas Karsa.”
Dia hanya mengangguk, lalu langsung turun ke sumber mata air dan melambai-lambai kepadaku.
“Sini-sini, ambil pakai tumbler lo,” dia pun menyerok air di mata air kecil itu bahkan tak segan mencoba langsung meminumnya. “Wih, segar.”
“Eh, emang enggak apa-apa?” Sontak aku menukas.
Dia menatapku, “kita dekat Gunung Gede Pangrango. Jadi, teorinya air di sini bersih karena langsung dari mata air.”
“Oh, gitu, ya,” kataku.
“Sering-sering ngobrol sama orang ya, Sar,” jawabnya.
Setelah dari mata air itu kami kembali ke tenda. Kulihat Arvi sedang mencacah ayam ditemani dua orang lain yang kemudian kutahu namanya Renatta dan Sabrina. Mereka kulihat saling bergurau, menanyakan resep sekaligus tips diet Arvi karena dia sedang menjalani masa cutting untuk mengurangi masukan kalori harian.
Oh, wow, aku bahkan baru tahu ada yang namanya intermitten fasting, diet gluten free dan infused water.
“Dada ayam itu bagus buat diet, proteinnya 32 gram sendiri. Lebih dari setengah kebutuhan harian kita,” selagi berbicara, tangan Arvi justru lihai mengaduk dan memasukkan bahan-bahan untuk spagetinya.