Semua kejadian itu adalah awal dari hubungan kami yang masih awet hingga kini—hampir satu dekade lamanya.
Istimewa? Tentu saja. Katanya, sahabat sejati adalah mereka yang takkan tergerus oleh jarak dan waktu. Aku percaya itu, karena kami selalu mengupayakan setiap pertemuan di tengah kesibukan masing-masing.
Selama itu pula ada kalanya kami berpisah sekian lama lantaran terhalang kesibukan masing-masing. Namun tak jarang, salah satu dari kami kerap menginisiasi pertemuan. Belakangan ini memang kami jarang bertemu, apalagi sejak Arvi sibuk berlatih IELTS demi mencapai skor minimum yang diminta UCL (University College London), kampusnya kelak. Belum lagi Renatta yang pagi-siang-sore dan malam bertungkus lumus untuk mempersiapkan pembukaan outlet baru dari brand FnB yang dia kelola. Sementara, Mora dia lebih sering di kampung halamannya di Yogyakarta dan Sabrina, dia adalah wanita nomaden karena tuntutan pekerjaannya sebagai event organizer yang memaksanya tiba-tiba mendarat di suatu pulau untuk berpindah lagi ke pulau berikutnya.
Waktu itu, Arvi menginisiasi pertemuan terakhir kami karena bertepatan dengan hari ulang tahun Renatta sekaligus ingin merayakan keberhasilannya dalam seleksi substansi LPDP. Tentu saja baginya ini pencapaian yang tiada terkira. Aku tahu bagaimana dia begitu mendamba untuk bisa langsung kembali kuliah setelah lulus dan aku turut senang karena pencapaian dia itu.
Untuk itu, kami tetapkan satu tempat yang akan menangkap momen bahagia itu.
Dan, Kafe Mata di jalan Salemba adalah tempat pilihan kami.
Kafe Mata telah banyak menyimpan kenangan manis antara aku dengan teman-temanku. Kafe inilah yang telah menyaksikan tangis haru, cerita rindu, tawa bahagia bahkan tarian gembira masing-masing dari kami selama hampir sedekade belakangan ini. Jadi, tidak ada salahnya untuk kembali ke sini.
“Happy birthday, Ren!”
Di depan Renatta sudah ada seloyang kue redvelvet yang ia suka. Di atasnya lilin angka 23 menyala di tengah kafe yang temaram. Renatta duduk dalam balutan baju jaket rajut merah dengan bandana hasil rajutannya sendiri. Wajahnya jelas kegirangan, hari ini juga bertepatan dengan pemberitahuan promosinya yang baru aku saja kuketahui.
Wah, pokoknya banyak sekali kabar indah yang bertebaran pada hari itu.
Sementara kabar dariku ya, setidaknya aku masih bernapas dan mengiringi tiup lilin Renatta.
“Apa wish lo, Ren?” Tanya Arvi.
“Beli rumah, ya?” Dibalas Amora.
Renatta senyum-senyum saja sampai ia disenggol Sabrina, “gue tahu!” Katanya ceria. “Pasti lo berdoa biar bisa nikah tahun ini sama Irfan.”
“Sort of,” balasnya. “Thank you ya, guys! I appreciate it so much.”
“Happy birthday, Ren! Lo keren banget,” aku berkata kepadanya dari seberang tempatnya. “Semoga semua yang lo damba bisa tercapai diusia yang sekarang.”
Dia mesem sebelum menanggapiku, “well, thank you, Sar. Gue pun berharap tahun ini semua mimpi lo bisa terwujud, ya.”
“Udah terwujud, kok,” kataku.
“Hah?” Serempak mereka terkejut. “Lo pindah kerja???”
“Bukan,”aku menjawab dengan nada datar seperti biasa.
“Terus?”
“Ini,” aku merentangkan tanganku. “Setelah sepuluh tahun gue masih punya kalian.”
“Ahh, sweet!” Arvi yang pada dasarnya ekspresif bergeliat aneh di tempat duduknya.
Selang beberapa saat, dia mengeluarkan kamera mirrorless-nya. Ia menyengir jahil sambil mengangkat kamera itu tinggi-tinggi.
“Karena bentar lagi gue ke London, gue mau banyak-banyak ngerekam kalian biar kalau gue kangen, bisa tinggal lihat video kalian aja.”
Setelah mengucapkan ini, Arvi menutupi sebagian wajahnya dengan kamera, lalu lanjut berbisik,”sama mau gue jadiin konten. Kali aja, di sana bisa jadi 10.000 followers.”
Aku terkekeh, mereka tertawa dan kami bergembira.
Bergembira.
Sampai kemudian aku ingat, oh Tuhan, aku jauh sekali dari mereka. Saat itu saja kudengar Sabrina tengah merencanakan studi magisternya di UI untuk kemudian menjadi notaris. Sementara aku? Oke—tidak baik membandingkan diri, tapi kita mulai semuanya dari titik yang sama, kan? Aku saja bahkan sempat mempercepat lajuku agar bisa mendapatkan prestasi itu. Namun kenapa, sekarang aku justru yang tertinggal? Apalagi aku iri dengan cerita cinta Renatta dan Arvi yang mulus-mulus saja. Pasangan mereka berdua sejalan, sepemikiran dan seiman. Sementara aku? Kisahku jauh lebih terjal dan penuh ketakutan.
Saat itu aku sedih, entah karena distimia-ku atau karena aku iri, tapi bukankah seharusnya aku senang akan gempuran kabar bahagia ini?
Aku sungguh tidak ingin menjadi pengacau pesta karena depresi menahunku ini. Makanya, aku dengan cepat menginisiasi malam karaoke karena area outdoor itu ternyata sudah disewa Arvi khusus untuk merayakan semua ini.
“Mau karaoke?” Tanyaku. “Gue bisa minta orang kafenya nyiapin soundsystem buat yang nyanyi di pojok tempat live music.”
“Setuju!”
“Nanti Sabrina yang nyanyi!” Jawab Arvi.
“Request Justin Bieber, Sab!” Dibalas Amora dengan semangat.