Pendulum Waktu

Shanen Patricia Angelica
Chapter #14

Kembali Lagi

Kejadian selanjutnya menandakan bahwa aku tidak jadi mati muda karena lingkaran waktu telah menyelamatkanku.

 “Hadeh, ini Malih-Bolot kenapa lagi, sih?” 

Entah aku harus bersyukur atau mencela takdirku sendiri, tapi setidaknya Tuhan masih membiarkanku hidup ditengah lingkaran waktu ini. Hatiku tentu saja begitu lega selepas aku membuka mata dan kembali ke tempat ini. 

Aku tidak jadi mati ditabrak diriku sendiri.

Ya, diriku sendiri seperti hantu yang kulihat di meja Mbak Fanny.

Takdir yang mengherankan, tetapi juga menyelamatkan.

Tak bisa kubayangkan jika nyawaku habis ketika mobil itu menyambar tubuhku. Bagaimana rasa sakitnya, pilu dan nelangsanya jiwaku selepas kejadian itu, berikut mungkin—leburnya hati Mama kalau tahu aku lebih pilih ikut Papa ketimbang dia, sungguh aku tak kuasa bila kupikirkan itu.

Mataku terpejam lantaran hendak kuhaturkan rasa syukurku: Tuhan Kau Maha Baik.

“Sara, kenapa kamu ke psikolog?” suara itu lantas mengacaukan kekhidmatanku saat itu.

Aku pun membuka mata hanya untuk menyaksikan kepala orang lain—yang bukan Pak Dirja muncul di hadapanku persis. Aku menjerit bahkan menggunakan tanganku untuk mendongsok wajahnya. Ketika dia terjatuh, barulah aku keluar dari kolong mejaku. 

“Ini kenapa malah Mbak Fanny?” Tubuhku bangkit dengan limbung. Suara yang tadi kudengar persis sekali seperti suara Pak Dirja. Jadi, sangat mustahil bila seorang Mbak Fanny bisa bersuara mirip sekali Pak Dirja.

Mbak Fanny atau katakanlah sosok yang menyerupai dia melihatku cukup lama. “Jangan-jangan kamu ke psikolog karena NPD, ya?”

Aku pun mulai menampar pipiku sendiri sebab aku tak percaya pada apa yang kulihat sekarang. Kenapa tiba-tiba ada dia?

Guys! Sara nampar pipinya sendiri!” Mbak Fanny mengatakan ini dengan lantang. Dia mengawali keriuhan bagian Pengembangan Organisasi dan Manajemen Risiko di ujung ruangan kantorku.

Kudengar banyak orang bersorak kepada diriku. Mereka mengeluarkan kata-kata yang bagiku cukup memicu debar jantungku. Rasanya seperti kembali ke masa aku disoraki gagap hanya karena tak bisa menyebutkan namaku dengan baik.

“Sara, gila, guys! Dia ke psikolog!” Kudengar Mbak Aci semakin lantang ketika berada di kubikelnya.

“Bagian Sara kurang perjadin, makanua jadi NPD, guys!” Disambut Nirina.

“Kamu NPD, kan?” Dia menantangku. Dagunya mendongak angkuh yang sungguh mustahil terjadi. Aku tahu meski Mbak Fanny terkadang menyebalkan karena mulutnya hobi mencicit saking cerewetnya, tapi Mbak Fanny tidak pernah menyombongkan apapun yang ia punya. Sombong sepertinya bukanlah sifat buruknya.

“Kamu enggak nyata, Mbak!” Teriakku masih sambil sesekali menampar wajah sendiri. “Kalian enggak nyata!”

“Kalau kita semua enggak nyata, tandanya kamu gila!”

“Ya, ya—enggak mungkin! Enggak mungkin aku gila!”

“Kamu gila,” dia mengatakan hal yang sama dengan intonasi berbeda.

“Kamu ini apa, sih?”

“Sara gila,” Mbak Aci mengulangi ucapan Mbak Fanny.

“Sara gila,” disahuti oleh Nirina sampai kemudian suara mereka membentuk harmoni yang memilukan

“KAMU GILA, SARA!”

Daripada makin aneh dan aku jadi betulan gila, aku pun memutuskan keluar dari sumber nelangsaku dan berlari menuju kantor Petty.

“Dunia ini yang gila,” akhirnya kuucapkan ini sebelum keluar kantor sialan itu karena aku ingin bertemu Petty.

Hatiku mengatakan bahwa aku harus bertemu Petty. Aku sudah menamparnya cukup keras dan perbuatanku itu tentulah hina. Menyakiti orang hanya akan membuatku sama seperti mereka yang kubenci. Menurutku, lewat lisan maupun perlakuan, sekecil apapun luka yang diberikan tetap akan menjadi siksaan. 

Aku harus bersimpuh demi pengampunannya—oh, terdengar hiperbolis, tetapi melakukan kesalahan kepada orang lain sampai mereka kecewa adalah hal yang membuatku membenci diri sendiri. 

Contohnya adalah ketika aku mengecewakan Mama karena tak sengaja membentaknya atau ketika aku mencari gara-gara dengan Andra setiap kali aku pre-haid. Contoh lainnya lagi adalah ketika awal aku dan Papa mulai berkonflik. Sungguh perasaan itu menyiksaku. Aku bisa tidak nafsu makan seharian karena semua makanan yang kutelan rasanya berubah jadi kerikil yang menyayat batang kerongkonganku. Rasanya melebihi getir maupun hambar.

Dan aku tak ingin merasakannya saat ini dengan seseorang yang baru saja kukenal.

Kuhampiri Petty di ruangan mungilnya. Dari pintu masuk Biro SDM, aku hanya perlu mengikuti lorong di sebelah kanan. Aku tidak mesti ke resepsionis untuk berbasa-basi karena ruangan Petty terpisah dan aku tak ingin ambil pusing dengan pegawai SDM, yang konon merupakan musuh publik di kantor ini.

“Mbak Petty!” Aku membuka pintu kaca ruangannya.

Aroma jasmine yang sama menghambur ke hidungku. Secercah ingatan tentang tempat ini mengarahkan pandanganku kepada tangan sendiri. Oh, ternyata luka di tanganku tetap tidak ada pada kali kesekian aku terbangun dalam lingkaran waktu ini. Untungnya Petty tidak menghilang. 

Dia ada di kursinya, tertidur dengan kepala menelungkup ke meja.

Aku berusaha sesenyap mungkin melangkah sampai cukup dekat dengan dia. Lalu, kudengar ia tengah mengigau.

“Buku lagi….nilai taruh sini…. gambar di sini…ini…mau jadi kayak Ibu Raras”

“Mbak Petty, astaga!” Aku pun mengguncangkan tubuhnya. 

Entah mimpi apa yang sedang membawanya berkelana, tapi kuyakin mimpi itu bukanlah hal yang menyenangkan. Barangkali seperti mimpi ketika kamu tengah terserang demam. Mimpi aneh yang bikin pening ketika tubuh terbangun.

Lihat selengkapnya