Ucapan Petty benar dan aku takkan mengelak.
Kalau boleh kuumpamakan juga, hubunganku dengan Andra bagai gading yang retak–tak sempurna sejak dari pandangan mata. Sekat pemisah kentara hadir di tengah-tengah kami. Orang-orang pun langsung bisa menyadari ketidaksempurnaan itu hanya dalam sekali pandang. Tak jarang, mungkin akan membuat mereka menerka segala problema kami yang saat ini masih kami abaikan begitu saja.
Fantasiku memang selalu ingin hubungan ini berhasil terajut. Namun, reaitasnya kami—terlebih aku hanya menghindari hal-hal yang membuatku takut. Misalnya, penolakkan hingga melepaskan. Aku takut terhadap penolakkan yang memaksaku melepaskan sesuatu.
Melepaskan Andra.
Ah, sungguh tak bisa. Sungguh tak rela.
Pertemuanku dengan Andra terjadi dua tahun lalu, tepat setelah aku lulus kuliah dan merasakan kekosongan hidup tanpa pasangan. Waktu itu, aku mulai mencari cara untuk segera mengakhiri status jomloku, seperti kebanyakan orang dewasa muda pada umumnya. Aku mulai mencoba berbagai cara, termasuk bergabung dengan beberapa komunitas, salah satunya bulu tangkis dan pelesir kota. Sayangnya, usahaku langsung gagal karena aku sangat buruk dalam memperkenalkan diri. Barangkali aku menjadi sosok yang menjemukan sampai kehadiranku tidak lagi dianggap di komunitas itu.
Setelah aku menyerah di komunitas, aku mencari cara terhubung secara daring. Aku mulai mengikuti jejak temanku, Renata yang dulu pernah sampai berhasil dan berpacaran untuk beberapa lama. Aku pun memilih beberapa potret diri yang sedikit lebih baik untuk menjadi foto profilku. Lalu, mulai coba menyapa beberapa orang.
Satu dua ada yang membalas pesanku, tapi lebih banyak yang meninggalkan pesanku tanpa dibalas. Mungkin aku terlalu payah dan tidak menyenangkan. Mungkin juga aku tidak terlalu cantik untuk mereka yang menilai seseorang hanya dari tampang semata. Aku sempat mengalami kebingungan dan berpikir untuk berpasrah saja menunggu hadirnya tangan Tuhan untuk perkara ini.
Namun, sesaat aku ingin menghapus aplikasi kencan ini dari ponselku. Sebuah notifikasi dari seseorang yang membalas bioku muncul, namanya Andra. Kulihat profilnya sekilas dan kuputuskan untuk membalas pesannya, meskipun aku menangkap sesuatu yang jelas mengganjal di sana.
Kami berbeda. Itu sudah jelas.
Saat itu mungkin aku berpikir, setidaknya aku mencoba dulu beramah-tamah dengannya. Aku membiarkan beberapa topik yang kurasa cukup bisa kuikuti seperti film dan buku atau video-video di internet terus mengalir. Untung saja, meski tidak memiliki hobi, obrolan film, buku maupun video masih cukup familier di telingaku.
Toh, yang lebih banyak berbicara tak lain adalah dia, bukan aku.
Sebagai pendengar ulung, aku memang lebih suka menyimak sambil sesekali menimpali untuk pembicaraan yang ringan-ringan. Saat itu Andra menunjukkan respons lebih dari baik. Dia tidak tiba-tiba menghilang seperti yang lalu-lalu. Pada satu kesempatan, dia bahkan mengajakku bertemu saat cuti bersama.
Kami pun menghabiskan waktu seharian hanya untuk menemukan bahwa sepertinya kami ingin menghabiskan waktu berdua lebih banyak lagi.
“Bisa ketemu lagi?” Katanya.
“Bisa,” jawabku.
“Besok?”
Lantaran saat itu besok adalah hari Lebaran, jadi aku menolaknya dengan lembut, “kalau lusa gimana? Besok aku lebaran.”
Dia tersenyum dan untuk pertama kalinya, kurasakan desir aneh yang membuatku membalas senyumannya dengan lebih lebar. “Lusa, ya? Tapi, besok, bisa teleponan?”
Aku mengangguk, “kuusahain, ya.”
“Jadi gitu, Sar?” Petty membuyarkan adegan-adegan indah dalam benakku.
“Eh, cenayang! Siapa yang suruh baca-baca pikiranku?”
Saat ini kami di mobil Petty, masih melewati jalan tol karena perjalanan dari kantorku ke kantor Andra seperti dari hulu ke hilir, ujung bertemu ujung. Dia jauh di utara sana, sementara kantorku lebih selatan dari selatan. Kadang aku membenci fakta ini, mengapa kami seolah dipisahkan oleh dua kutub yang berbeda di dalam satu magnet yang sama?
Sebisa apapun aku mencoba menyamakan segala fakta, pada akhirnya tetap dibantah oleh realitas yang ada sebab kami telah berbeda dari segala lini.
“It’s the beauty of love, Sar,” ucapnya tiba-tiba.
“Maksudnya?”
“Kamu tahu kalau minyak dan air enggak bisa bersatu, tapi kamu tetap memilih untuk tetap mencintai dia,” balasnya selagi masih memperhatikan jalan.
“Ini Mbak ngomong apa, sih? Kok, ngomongin minyak sama air?”
“Kamu dan Andra itu minyak sama air. Mau diaduk kayak gimana juga enggak bisa nyatu—”
“Minyak sama air? Karena beda?”
Dia mengangguk tanpa menoleh kepadaku, “iya, tapi kamu tetap mencintai dia. It is so beauty, Sar.”
“Hmm—kayaknya belum tentu enggak bisa bersatu,” jawabku masih dengan keteguhanku yang tak tahu diri. “Coba aja Mbak tuangin sabun ke campuran minyak sama air. Pasti bisa nyatu kok, kalau diaduk.”
“Ya, bisa, sih tapi sulit. Itulah kenapa aku bilang cinta seperti itu indah..”
“Ya, terus beauty-nya apa kalau gitu, Mbak?”
“Untuk mencintai seseorang tanpa alasan dan tetap mencintainya, meskipun enggak ada yang tahu akan seperti apa akhirnya,” ujarnya. “Kamu bisa mencintai dia pada masa kini tanpa mengharapkan apapun. Bukankah itu indah?”
“Mbak ini enggak pernah jatuh cinta, ya?”
Mendengar aku mengucapkan itu, Petty langsung bergeming. Padahal, pedal gas masih dia tekan ketika kami di tol.
“Gini, ya Mbak. Walaupun mungkin Mbak enggak ingat kisah cinta, Mbak, tapi aku ingin kasih tahu kalau cinta yang indah itu adalah cinta yang dua arah. Saling berbalas, bertemu ditengah, sampai semua perbedaan itu mestinya lebur,” kataku. “Kalau aku? Enggak tahu deh perasaan dia sebenarnya ke aku seperti apa. Jadi, buatku ini sama sekali enggak indah. Setiap hari aku takut bom waktu diantara kami akan meledak kapan aja.”
“Kalau meledak gimana, Sar?”
Aku menggeleng, “cuma waktu yang bisa menjawab semua ini kalau kata Andra,” ujarku. “Dia enggak pernah yakin sama aku. Padahal, kalau dia seyakin aku dalam hubungan ini, aku percaya pasti kita nemuin jalan buat bersatu. Sayangnya, cuma aku aja yang yakin di sini.”
“Memangnya seyakin apa kamu sama dia? Bukannya kamu sendiri pernah takut menikah?” Tanyanya sebelum lanjut menyerocos. “Lupa kasus kakakmu? Orang tuamu? Coba tanyakan lagi ke dirimu, deh.”
Ucapan itu sungguh menamparku. Mengingat, hei! Tolonglah, aku tidak suka ditelanjangi seperti ini!
“Mbak ini gimana, sih? Kan, sebelumnya udah janji enggak baca hal-hal privasi aku,” orang memang bilang aku ini pendiam, tapi ada kalanya ketus seperti ini bisa kulakukan hanya kepada beberapa hal. Misalnya, seperti ini—ia yang mengusikku duluan. Tidak salah ‘kan kalau aku menyemprotnya begini?
Petty diam saja sebelum mengangguk setuju, “iya, aku kelewatan. Maaf, Sar.”
“Lagian ya, Mbak seyakin-yakinnya aku sama dia, kalau dianya modelan begitu yang enggak mau mikir panjang soal hubungan ini—apa bisa berakhir bahagia? Mana mau juga Tuhan mudahin semuanya buat hidupku?”
……
CIIIIIIIT!
BRAAK!