Pendulum Waktu

Shanen Patricia Angelica
Chapter #16

Lebur Gading Itu

Sebuah ingatan pun terlintas begitu jelas hingga membuatku getas.

Ini adalah momen pertama kami membahas perkara yang sering membuatku berlewah pikir. Andra yang mencetuskannya pertama kali ketika kami sedang jalan-jalan di kompleks rumahnya, mencari kafe yang bisa disinggahi secepatnya. Ketika itu aku menceritakan beberapa orang teman lamaku kepadanya karena dia penasaran. Tanpa praduga apapun aku menceritakan cukup detail beberapa dari mereka.

Tak kusangka, dia tertarik dengan salah satu ceritaku tentang mereka. Tepatnya cerita seorang teman yang menjalin hubungan bersekat seperti kami. Awalnya aku tak ambil pusing dan tetap mengikuti permainan tanya jawab itu sampai pembicaraan kami tiba pada puncaknya.

“Kalau kita gimana?” Tanya.

Aku mencureng, sedikit merengut sebab kupikir waktu itu Andra memotong kalimatku. “Dengerin dul—” Dia memang suka memotong kalimat—eh, mungkin bukan…mungkin kami berdua yang terlalu aktif bicara sampai terkadang kalimat kami tumpang tindih.

Namun, Setelah kucermati pernyataannya, ternyata aku mengerti maksudnya dan itu langsung membuatku urung sebal dengan dia. “Maksudnya?”

“Ya, kitakan sama kayak mereka,” jawabnya santai.

Jleb! Maksudnya mentang-mentang aku ceritakan ujung cerita mereka yang kurang baik, tiba-tiba…sekonyong-konyong orang itu tercetus untuk menanyakan hal ini. Padahal, biasanya tidak pernah.

“Ya, iya—terus?” Saat itu aku yakin hubungan kami akan kandas di tempat.

Matanya mengernyit sampai hidungnya berlekuk-lekuk, “ya…ya…bakal kayak mereka?”

Saat itu aku tidak tahu kalau dia menggunakan kalimat tanya sebab kepalaku sudah memutar segala kemungkinan terburuknya.

Aku menggeleng dan menarik tangan dia ke meja outdoor kafe rumahan yang untungnya berjarak dekat dengan kami saat itu. “Dra, duduk dulu sebentar,” kataku. “Kita omongin ini di sini.”

“Ya, okey, tapi pesan dulu,” kata Andra. Tanpa basa-basi, dia masuk ke dalam kafe dan keluar membawa pesanan kami. Sebelum dia duduk, aku sudah menariknya duluan.

“Jadi gimana?” Tanyaku.

“Ya, kamu maunya gimana?”

“Gimana apanya?”

“Ya—ya—” dia buru-buru meletakkan gelas latte-ku dan susu taronya. “Kamu maunya gimana? Kita gimana?”

Aku masih menekuri wajahnya cukup lama. “Ya, aku mau hubungan kita lama.”

“Lama doang, tapi ujungnya apa?”

“Ya, nikah?” Aku menjawab tak yakin. Pernikahan sungguh masih jauh dari rencanaku.

“Aku mau ngomongin realitasnya sama kamu,” ucapannya menjadi serius. “Bagaimana kalau nanti kita enggak bisa—”

Bahkan sebelum dia akhiri kalimatnya aku sudah mengerti.

“Karena beda agama?”

Ia mengulumkan mulutnya, “enggak cuma itu.”

Ah, damn! Aku langsung paham maksudnya saat itu. 

Tuhan telah menciptakan kami berbeda dalam segala lini. Bukan hanya agama, melainkan juga ras, gaya hidup, beberapa pilihan kami bahkan selera kami. Semua dari kami adalah bertolak belakang dan kami tidak pernah tahu mengapa bisa hubungan ini berjalan sampai sejauh ini.

Lihat selengkapnya